SUKABUMIUPDATE.com - H. Moch. Nawawi bin H. Nasir Bin H. Toyib bukan sosok yang biasa. Dia memiliki jasa membangun desanya, sehingga namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan yaitu H.M.Nawawi di Kampung Pajagan, Desa Cikiray sejak tahun 1979 atas usulan cucunya bernama Sapuroh.
Tak sulit menemukan jalan tersebut karena berada di dekat arung jeram Citarik.
Cicit Nawawi, M.Ganjar menyatakan Nawawi merupakan seorang Kades Cikiray yang menjabat saat zaman belanda.
Baca Juga: Lepas Lelah dengan Pemandangan Memanjakan Mata di Pasir Salam Sukabumi
Menurut dia, sebelum Nawawi, jabatan Kades diemban oleh H. Nasir dari tahun 1898 hingga 1918 atau sekitar 20 tahun.
Setelah itu dilanjutkan oleh anaknya, Nawawi, yang menjabat dari tahun 1918 hingga 1947 atau sekitar 29 tahun. Ayah dan anak itu memberikan kontribusi yang besar dalam memajukan wilayah Desa Cikiray pada masa itu.
Ganjar mengatakan ada alasan yang membuat H. M. Nawawi dijadikan nama jalan. Semasa menjabat, ada banyak hal yang dilakukan Nawawi untuk masyarakat, seperti menyediaan tanah wakaf untuk TPU di Kampung Cibatu Desa Sampora, kemudian wakaf tanah untuk pembangunan masjid dan sarana ibadah lainnya.
Nawawi juga menolak lahan rakyat dibeli atau disewa belanda, karena apabila dibeli atau disewa bisa mutlak menjadi milik pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga: Satu Sisi Jembatan Cikereteg Penghubung Sukabumi-Bogor Ditarget Rampung 15 Juli
"Sehingga apa yang dilakukan Nawawi terasa sekarang ini, dimana Desa Cikiray lebih maju secara ekonomi karena mayoritas tanah milik pribadi atau kaum pribumi yang dpertahankan Nawawi ketika itu.
Nawawi juga membuat lumbung desa agar masyarakat Desa Cikiray tidak kekurangan pangan kendati saat musim paceklik.
Termasuk dipindahkannya kantor desa, dari Kampung Cikiray ke Kampung Pajagan adalah gagasan Nawawi.
Baca Juga: Viral Threads Instagram Error Saat Dark Mode, Begini Cara Mengatasinya
Lokasi kantor desa saat ini berada di pinggir jalan Cikidang. Jalan Cikidang merupakan ruas jalan provinsi penghubung Cibadak menuju Palabuhanratu. "Saat ini H.Nawawi memprediksi akan ramai apabila kantor desa berada di jalur provinsi dan kenyataannya sekarang menjadi ramai," ujarnya.
Lebih lanjut Ganjar berharap dengan dijadikan nama jalan, sosok Nawawi menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menghargai sejarah dan bersemangat dalam mengembangkan juga menggali potensi daerah.
Baca Juga: Kisah Misteri Batu Alam Hitam Dekat Stadion Suryakencana Sukabumi
"Semoga nilai-nilai luhur yang mereka wariskan dapat terus memberikan inspirasi dan dorongan bagi kemajuan Sukabumi di masa depan," ujarnya.
Menurut Ganjar, semasa hidupnya Nawawi menghuni sebuah rumah di Kampung Pajagan RT 02/01, Desa Cikiray, Kecamatan Cikidang. Di samping rumah tua yang menjadi peninggalan Kepala Desa Cikiray pada masa kolonial, terdapat kentongan atau dalam bahasa sunda disebut kohkol.
Baca Juga: 10 Rekomendasi Bus Sukabumi Tujuan Bandung-Palabuhanratu: Harga dan Fasilitas
"Kohkol yang ada sejak zaman H. Nawawi menjadi kepala desa tersebut, terbuat dari kayu pohon Laban yang diperoleh dari kampung Pajagan yang kini dikenal sebagai Pasir Kohkol," ungkap Ganjar.
Ia menyebut, saung kohkol ini memiliki sejarah yang menarik, karena berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat di sekitarnya, maka orang yang ditugaskan untuk membunyikan kentongan tersebut adalah seseorang yang bukan anggota keluarga, namun ditunjuk oleh Kepala Desa Cikiray saat itu.
"Jangkauan suara yang dihasilkan oleh kohkol ini konon dapat mencapai radius 5 kilometer, terdengar ke arah selatan hingga Sampora, ke utara hingga Gunung Malang, ke timur hingga Panyindangan dan ke barat hingga Gunung Paok," kata Ia.
Baca Juga: 5 Doa Agar Kehidupan Rumah Tangga Bahagia dan Diberkati Allah SWT
Pada masa lalu, kentongan tersebut dibunyikan dalam beberapa situasi yang kritis. Pertama, saat diadakan rapat desa yang sekarang telah menjadi enam desa terpisah, yaitu Cihamerang, Gunungmalang, Sampora, Mekarnangka, Cikarae, dan Thoyibah. Kohkol menjadi sinyal untuk mengumpulkan penduduk dan memanggil mereka untuk berkumpul dalam rapat penting.
Kedua, kentongan dibunyikan sebagai tanda bahaya, seperti saat ada orang yang tenggelam di sungai atau terjadi kebakaran. Bunyi kentongan akan mengabarkan kejadian tersebut kepada seluruh masyarakat, sehingga mereka dapat memberikan pertolongan atau mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.
Ketiga, kentongan juga dibunyikan pada waktu imsak dan saat berbuka puasa selama bulan Ramadan. Suara kentongan menjadi pengingat bagi umat Muslim di desa tersebut untuk memulai puasa atau berbuka pada waktu yang tepat.
Pemerintah desa dan masyarakat berharap agar nilai-nilai bersejarah ini tetap dijaga dan dilestarikan. Saung kohkol menjadi simbol penting yang mengingatkan mereka akan perjuangan nenek moyang mereka dalam membangun dan menjaga desa ini.