SUKABUMIUPDATE.com - Pantai selatan Jawa terkenal dengan ombaknya yang ganas. Akibatnya, tidak banyak kapal Eropa yang berlayar ke wilayah ini. Penemuan perairan selatan oleh orang-orang benua biru banyaknya disebabkan oleh badai atau kecelakaan yang membawa mereka terdampar di sana.
Di Kabupaten Sukabumi, keindahan lanskap laut yang berbatasan dengan Samudra Hindia, terutama kawasan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp), menyimpan sisi gelap. Selama libur Idulfitri 1444 Hijriah, lima wisatawan tewas terseret ombak di perairan ini.
Sementara di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Sukabumi selalu menggembar-gemborkan potensi pariwisata pantai sebagai magnet di tengah terbukanya akses melalui Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Tol Bocimi) Seksi 2 Cigombong-Cibadak, apalagi setelah digunakan fungsional pada Idulfitri 2023.
Lantas, apakah Kabupaten Sukabumi benar-benar siap menjadi pusat aktivitas masyarakat di selatan Jawa Barat? Khususnya di kawasan CPUGGp yang tersebar di 74 desa di delapan kecamatan Kabupaten Sukabumi: Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Waluran, Ciemas, Ciracap, dan Surade.
Baca Juga: PART I: Kecelakaan Laut dan Nasib Status UNESCO Global Geopark Ciletuh Sukabumi
Critical Thirty
Sebelum lebih jauh membahas kesiapan Kabupaten Sukabumi menjadi pusat aktivitas di pantai selatan Jawa Barat, penting diketahui seberapa besar fatalitas kecelakaan laut di perairan ini. Apakah korban masih dapat terselamatkan ketika tergulung gelombang.
Kepala Satuan Kepolisian Air dan Udara (Satpolairud) Polres Sukabumi Ajun Komisaris Polisi Tenda Sukendar mengungkapkan waktu-waktu kritis kecelakaan laut.
Definisi yang mirip dengan critical eleven dalam penerbangan pesawat ini terjadi ketika wisatawan mulai terseret ombak hingga dinyatakan hilang. Apabila seseorang terseret arus selama sekitar tiga puluh menit lalu tak kembali muncul, maka rata-rata berakhir meninggal dunia.
“Orang terseret arus kurang lebih setengah jam, dia tidak muncul lagi, ya pasti dalam kondisi meninggal. Meninggalnya ada yang ditemukan, ada yang satu hari (baru ditemukan), dua hari, empat hari. Yang ditemukan pada hari itu juga ada, tergantung arus. Kalau arusnya arus bawah, korban berada di bawah terus. Kalau arusnya narik ke atas, korban bisa mengambang atau terseret ke darat,” kata dia di kantornya, akhir Mei 2023.
Data yang diungkapkan Tenda mengisyaratkan perlunya peningkatan mitigasi risiko dalam tiga puluh menit kritis. Tenda juga membuka data kecelakaan laut kurun waktu dua tahun terakhir sejak 2021, berikut korban meninggal dunia dan yang dinyatakan hilang.
Berdasarkan kejadian, Satpolairud Polres Sukabumi mencatat pada 2021 (27 kali), 2022 (18 kali), dan 2023 hingga Mei (7 kali). Sementara untuk total korban, 2021 (68 orang), 2022 (38 orang), dan 2023 hingga Mei (20 orang).
Adapun korban meninggal yang ditemukan, 2021 (17 orang), 2022 (14 orang), dan 2023 hingga Mei (6 orang). Total 37 orang tewas terseret ombak dalam dua tahun terakhir. Data lainnya adalah korban hilang, di mana pada 2021 (2 orang), 2022 (satu orang), dan nihil untuk 2023 hingga Mei.
“Secara kejadian yang terdata di kami mulai 2021, 2022, dan 2023 berjalan, grafik menurun, baik angka kejadian maupun fatalitas jumlah korban meninggal atau hilang. Secara persentase untuk data kecelakaan jenis kelamin, didominasi laki-laki, sekitar 85 persen laki-laki. Kalau domisili, wisatawan 50 persen Sukabumi dan 50 persen luar kota seperti Bogor, Bandung, dan Jakarta,” ujar Tenda.
Meski secara data menurun, Tenda mengingatkan masyarakat harus tetap berhati-hati saat beraktivitas di pantai. Dia memperingatkan tiga faktor utama terjadinya kecelakaan laut.
Pertama, faktor alam yakni arus ombak. Kedua, faktor manusia berupa perilaku tidak mematuhi imbauan petugas soal larangan berenang di tempat berbahaya. Ketiga, faktor manusia di mana korban tidak memiliki kemampuan berenang dan panik saat terseret ombak. Ketiga faktor ini penting dan harus diperhatikan.
Khusus terkait faktor alam, Tenda menyebut di pantai selatan kerap terjadi sebuah kondisi ombak berdebur ke daratan kemudian mengendap. Namun, dengan durasi yang sangat singkat, ombak tersebut kembali ke lautan dengan gerakan zig-zag.
Situasi itu membuat tarikan ombak semakin kuat dan jika wisatawan dalam posisi kuda-kuda kaki yang lemah, dapat terjatuh lalu terseret. Apabila wisatawan sudah terseret dan dinyakan hilang, proses pencarian akan dilakukan tujuh hari, sesuai standar operasional prosedur.
“Ketinggian ombak wilayah pantai selatan kalau cuaca ekstrem bisa 6 sampai 7 meter. Tapi kalau landai sekitar 2 meter. Kemarin saat libur lebaran kita mulai 23, 24, 25 April, seimbang dengan perkiraan BMKG, gelombang di atas 4 sampai 5, bahkan 6 meter. Pantai selatan maksimal 6 sampai 7 meter,” kata dia.
Baca Juga: PART II: Dua Tahun 37 Orang Tewas di Laut Sukabumi, Membongkar 30 Menit Kritis Korban
Analisis Gelombang di Laut CPUGGp
Badan Pengelola CPUGGp turut memberikan laporan hasil analisis dan penelitian para ahli geologi terkait karakter gelombang di laut CPUGGp, salah satunya dari Dr. Ir. Yun Yunus Kusumabrata, M.Sc (Dewan Pakar Komite Nasional Geopark Indonesia dan Anggota Dewan Penasihat CPUGGp).
Yunus menyatakan karakter ombak laut (wave) di pesisir selatan Pulau Jawa, mulai pesisir Blambangan di Jawa Timur hingga Ujung Kulon di Provinsi Banten, umumnya berenergi tinggi dengan ombak besar. Ini karena pantai berbatasan langsung dengan laut lepas.
Berdasarkan teori, ada tiga faktor pemicu terjadinya ombak yaitu arus pasang-surut (swell), angin pantai (local wind), dan pergeseran (turun-naik) massa batuan di dasar samudera.
Di pantai selatan Pulau Jawa, kombinasi antara gelombang pasang-surut dan angin lokal yang bertiup kencang, khususnya saat musim barat, akan menimbulkan ombak besar.
Di tempat-tempat tertentu, penggabungan (interference) antara gelombang swell dengan gelombang angin lokal — misalnya di Pantai Cimaja, Palabuhanratu, atau di Karangbolong, Surade — dapat membentuk ombak setinggi 2 hingga 3 meter.
Jenis ombak lain yang sangat berbahaya di pantai selatan adalah gelombang tsunami. Gelombang ini dipicu pergeseran naik turunnya massa batuan di dasar samudra. Interaksi ketiga pemicu ombak (swell, local wind, dan tsunami) diyakini dapat menghasilkan gelombang dahsyat yang tiba-tiba datang menyapu pantai.
Bentuk morfologi dasar laut di sejumlah lokasi pantai selatan juga sangat memungkinkan menjadi penyebab munculnya hempasan gelombang dahsyat ke pantai yang sekaligus memicu terjadinya arus seretan.
Sebagai pantai yang mengalami pengangkatan (uplifted shoreline) dengan proses abrasi cukup kuat, profil pantai selatan umumnya memiliki zona pecah gelombang (breaker zone) dekat garis pantai. Akibatnya, zona paparan (surf zone) menjadi sempit. Jika ada interferensi, maka atenuasi ombak akan terjadi sehingga membentuk gelombang besar.
Sebab daerah paparannya sempit, meski ombak akan pecah di breaker zone, hempasan masih dapat menyapu pantai dengan energi cukup kuat.
Sistem arus di pantai juga dipicu hadirnya arus di lepas pantai (coastal current) sebagai akibat sirkulasi air laut global. Dalam pergerakannya, arus lepas pantai mengalami perubahan arah (deviasi) menjadi arus sejajar pantai (longshore current) akibat adanya semenanjung dan teluk.
Kemudian arus balik (rip current) menuju laut sering muncul di teluk akibat arus sejajar pantai yang berlawanan. Kekuatan arus balik ini akan bertambah apabila dasar laut memiliki jaringan parit dasar laut (runnel atau trough). Jaringan parit merupakan saluran tempat kembalinya sejumlah besar volume air yang terakumulasi di pantai, khususnya di zona paparan dan zona pasang surut (swash) ke laut.
Arus balik tidak bergerak di permukaan karena pergerakannya terhalang hempasan ombak yang datang terus-menerus. Arus balik ini diperkirakan menjadi penyebab utama tewasnya korban yang sedang berenang di pantai. Karena selain memiliki daya seret kuat, arah gerakannya pun bersifat menyusur dasar laut menuju tempat yang lebih dalam.
Baca Juga: PART III: Dibayar Rp 650 Ribu Setahun, Lifeguard dan Rentetan Kecelakaan Laut Sukabumi
Setengah Hati Tata Keamanan Pantai
Infrastruktur pariwisata, terutama sumber daya manusia pengelola keamanan dan keselamatan di objek wisata pantai, menjadi topik penting di tengah banyaknya korban berjatuhan akibat kecelakaan laut ini.
Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi mengakui cakupan wilayah pengawasan dengan bentangan pantai sekitar 117 kilometer, tidak sebanding dengan sarana dan prasarana keselamatan maupun petugas lifeguard saat ini. Hanya ada 127 personel penjaga pantai, hasil pembentukan satuan tugas pemandu keselamatan wisata tirta oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi.
Selain soal jumlah, anggaran pengelolaan keamanan wisata pantai di Kabupaten Sukabumi juga dapat dibilang belum memadai. Pengakuan ini disampaikan langsung Ketua Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) Kabupaten Sukabumi Yanyan Nuryanto, awal Juni 2023.
Sebagai lembaga yang bertugas mengelola personel penjaga pantai, Balawista hanya mendapatkan bantuan insentif operasional untuk momen besar nasional seperti Idulfitri dan Tahun Baru. Belum ada sumber pendanaan lain untuk para lifeguard.
Bantuan insentif operasional itu diperuntukkan bagi personel yang terdaftar dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Sukabumi tentang Satuan Tugas Pemandu Keselamatan Wisata Tirta.
Secara data, terdapat 134 personel penjaga pantai di Kabupaten Sukabumi (127 lifeguard ditambah 7 nippers) yang terdaftar dalam keanggotaan Balawista. Sementara dalam SK tersebut baru 40 petugas yang terakomodir bantuan insentif ini lantaran terbatasnya anggaran. Balawista mau tidak mau harus memutar otak membagi anggaran 40 lifeguard untuk 134 orang.
“Bantuan insentif satuan tugas sebanyak 40 personel realisasinya diberikan kepada 134 orang secara proporsional (loyalitas, dedikasi, dan kehadiran selama bertugas),” kata Yanyan.
Fakta ini menunjukkan setengah hatinya pemerintah dalam memperbaiki tata kelola keamanan wisata pantai di Kabupaten Sukabumi.
Yanyan juga menyatakan belum ada anggaran untuk kegiatan peningkatan kapasitas lifeguard tahun 2022–2023, termasuk sarana prasarana keselamatan. Hal ini, menurutnya, secara tidak langsung mengakibatkan masih terjadinya kecelakaan laut di Kabupaten Sukabumi.
Tata kelola wisata pada penanganan keamanan dan keselamatan wisatawan belum menjadi perhatian serius, baik pemerintah maupun pelaku usaha pariwisata.
Dalam SK Bupati Sukabumi Nomor: 556/Kep.103-Dispar/2020, bantuan insentif operasional Satuan Tugas Pemandu Keselamatan Wisata Tirta untuk tahun 2022 adalah Rp 144.400.000.
Angka itu sudah dipotong pajak penghasilan (PPh) dan diberikan untuk empat kegiatan yaitu liburan menjelang Ramadan, Idulfitri, serta Natal dan Tahun Baru. Adapun pengalokasiannya dilakukan sesuai skema atau kesepakatan seluruh personel satuan tugas yang telah didokumentasikan dalam bentuk berita acara.
Kesepakatan itu antara lain bantuan insentif operasional bagi 40 personel diatur dan diberikan kepada seluruh anggota Balawista, baik yang tergabung dalam satuan tugas maupun yang belum bergabung.
Rincian alokasinya, 60 persen untuk bantuan insentif operasional per tahun, 15 persen untuk biaya kesekretariatan Balawista (alat tulis kantor, pembayaran listrik, dan operasional kesekretariatan), 20 persen asuransi BPJS Ketenagakerjaan per tahun, dan 5 persen untuk perbaikan ringan sarana dan prasarana keselamatan.
“Bantuan insentif operasional dari 60 persen yang diterima anggota diberikan secara proporsional berdasarkan kehadiran, lama bergabung dengan asosiasi lifeguard Balawista, dan tanggung jawab selama bertugas. Rata-rata yang diterima personel lifeguard dari empat kegiatan tahunan (bukan per bulan) adalah Rp 350 ribu sampai Rp 650 ribu,” ujar Yanyan.
Selain persoalan bantuan insentif operasional, Balawista juga sangat membutuhkan peralatan. Ini tak lain karena penanganan korban tenggelam rata-rata dilakukan tanpa alat, kecuali penanganan di sekitar pos di kebun kelapa Pantai Karanghawu-Palabuhanratu. Sarana dan prasarana di pos itu pun belum memadai.
Yanyan mengungkapkan dari bentangan pantai Kabupaten Sukabumi sekitar 117 kilometer, hanya 56 kilometer yang saat ini ditangani Balawista. Sementara sisanya atau 61 kilometer, terutama yang dikelola pemerintah desa, masyarakat, dan pelaku usaha pariwisata, tidak memiliki lifeguard.
Balawista hanya menangani objek wisata pantai dan kawasan curug di delapan kecamatan CPUGGp dengan mendirikan 26 pos pelayanan dan pengawasan.
Wilayah lain di luar CPUGGp untuk sementara ini belum tertangani karena terbatasnya anggota Balawista, meski dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, kawasan objek wisata yang memiliki potensi kecelakaan tenggelam wajib memiliki jaminan keamanan dan keselamatan.
“Penempatan di luar delapan kecamatan maupun penambahan pos di lingkungan delapan kecamatan kawasan CPUGGp saat ini tidak memungkinkan, mengingat penempatan petugas lifeguard harus dibarengi kelengkapan keselamatan maupun insentif. Sementara saat ini insentif sangat terbatas dan peralatan yang ada saja kurang memenuhi standar keselamatan,” kata dia.
Idealnya, kata Yanyan, penempatan petugas dengan ketentuan tugas delapan jam sehari, diperlukan rata-rata lima orang per pos pelayanan dan pengawasan. Penempatan petugas juga mempertimbangkan kondisi area berdasarkan potensi bahaya dan risiko. Artinya, bagi lokasi yang memiliki risiko tinggi, minimal perlu delapan orang petugas.
Setiap pos pun seharusnya memiliki standar kelengkapan keselamatan yang wajib ada antara lain rescue board, rescue tube, perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) termasuk alat kedaruratan, peluit, dan bendera peringatan. Sementara kelengkapan lain yang dapat menyesuaikan adalah kendaraan patroli pantai, pengeras suara, teropong, dan alat komunikasi (handy talkie).
Adapun 26 pos saat ini hanya memiliki 3 rescue board (tidak layak pakai), 12 rescue tube (6 tidak layak pakai), dan 15 bendera peringatan (seharusnya setiap pos 4 buah atau diperlukan 104 buah).
Yanyan mengatakan tata kelola keamanan dan keselamatan perlu dilakukan supaya teridentifikasi potensi pariwisata berikut potensi bahaya dan risikonya. Namun kenyataannya, saat ini keamanan dan keselamatan wisatawan masih dianggap tidak penting, walaupun peraturan perundang-undangan sudah mengisyaratkan wajib hukumnya.
Ketika pemerintah maupun masyarakat atau pelaku usaha membuka atau membangun pengembangan objek wisata, faktor keamanan dan keselamatan wisatawan tidak pernah masuk dalam perencanaan.
Yanyan mencontohkan seperti pengembangan Pantai Karanghawu, Citepus, dan yang akan datang pembangunan Alun-alun Laut Gadobangkong Palabuhanratu, termasuk Pantai Minajaya, tidak ada dalam perencanaannya terkait keamanan dan keselamatan wisatawan saat kawasan tersebut selesai dibangun.
“Ini yang dimaksud dengan pentingnya tata kelola tersebut seperti contoh pelaku usaha membuka lokasi parkir di Citepus, mereka tidak mempersiapkan petugas lifeguard,” katanya.
Yanyan berharap Balawista Kabupaten Sukabumi ke depannya mampu menjadi organisasi yang lebih profesional, kompeten, dan sejahtera.
“Harapan dan mimpi kami Balawista profesional, kompeten, dan sejahtera. Kuncinya adalah adanya tata kelola keamanan dan keselamatan wisatawan yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan sehingga mampu menjawab pertanyaan mengapa masih ada kecelakaan tenggelam yang menelan korban meninggal,” kata dia.
Nasib Status UNESCO Global Geopark
Selain soal tata kelola keamanan dan keselamatan wisatawan, sorotan lain juga datang terhadap status UNESCO Global Geopark bagi Ciletuh-Palabuhanratu.
Rentetan kecelakaan laut di wilayah ini menjadi satu dari sekian pertanyaan apakah status taman bumi dunia UNESCO masih pantas disematkan kepada Ciletuh-Palabuhanratu. Sebab, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di kawasan geopark, salah satunya dikembangkan melalui paket pariwisata.
General Manager Badan Pengelola CPUGGp Dody A Somantri menjawab narasi-narasi meragukan itu. Dia menyatakan banyaknya kecelakaan laut tidak berdampak langsung terhadap dicabutnya status UNESCO Global Geopark. Ini lantaran penilaian status UNESCO Global Geopark dititikberatkan pada aspek edukasi, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat dari tiga unsur pembentuk utama yaitu geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya.
Meski begitu, kecelakaan-kecelakaan laut tersebut akan berdampak terhadap kepuasan pengunjung dan standar keselamatan bagi wisatawan.
“Ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan. Untuk kepentingan pariwisata, legenda Nyi Loro Kidul tetap perlu dilestarikan karena daya tarik budaya yang cukup disenangi wisatawan (domestik). Tetapi, perlu diusulkan penambahan petugas dan peralatan untuk penjaga pantai, khususnya di area rawan kecelakaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, pihak keamanan, dan sebagainya,” kata dia pada 30 Mei 2023.
Sementara langkah jangka panjang yang menurut Dody dapat dilakukan dalam mencegah kecelakaan laut di kawasan CPUGGp adalah perlu adanya studi rinci di beberapa area untuk mengidentifikasi faktor-faktor alam penyebab kecelakaan pantai secara terpadu dan multidisiplin ilmu. Misalnya, melakukan pemetaan batimetri dasar laut sekitar pantai, lengkap dengan jaringan parit bawah lautnya.
“Informasi itu selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya wisatawan, melalui media komunikasi tertulis (leaflet) maupun media elektronik,” ujar dia.
Dody memastikan saat ini Ciletuh-Palabuhanratu masih menyandang status UNESCO Global Geopark, berdasarkan proses revalidasi pada Mei 2022. Hasil revalidasi tersebut dipresentasikan dalam sidang Global Geopark Network Council di Satun, Thailand, September 2022.
Sidang itu menyatakan Ciletuh-Palabuhanratu diajukan kembali sebagai UNESCO Global Geopark ke sidang Executive Board UNESCO di Paris, Prancis.
“Executive Board UNESCO sendiri telah bersidang dan pada 23 Mei 2023 dinyatakan Ciletuh-Palabuhanratu masih layak untuk menyandang status UNESCO Global Geopark. Masa berlaku akan disampaikan melalui surat resmi dari UNESCO yang sampai saat ini sekretariat CPUGGp belum menerima surat tersebut,” kata Dody.
Pada 2018, tepatnya April, kawasan ini untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark di Paris, Prancis.
Komitmen Pemerintah Daerah
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi Sigit Widarmadi ikut bersuara terkait banyaknya kecelakaan laut ini. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan disebut Sigit menjadi bentuk komitmen Kabupaten Sukabumi siap menjadi pusat aktivitas baru di pantai selatan Jawa Barat.
Upaya optimalisasi keamaan dan keselamatan wisatawan terus dilakukan dengan melibatkan stakeholder pariwisata lainnya.
Namun, Sigit mengakui infrastruktur pariwisata, terutama sumber daya manusia pengelola keamaan dan keselamatan wisatawan di objek wisata pantai masih kurang memadai.
Cakupan wilayah pengawasan keselamatan, di mana Kabupaten Sukabumi memiliki bentangan pantai sekitar 117 kilometer, tidak sebanding dengan sarana dan prasarana keselamatan maupun petugas lifeguard saat ini.
“Daya tampung di masing-masing objek wisata pantai saat ini masih relatif memadai. Hanya saja sarana prasarana keselamatan dan sumber daya manusianya belum memadai dengan jumlah kunjungan datang. Termasuk objek wisata pantai yang dikelola pelaku usaha maupun masyarakat belum menerapkan faktor risiko dan bahaya rip current (K3 atau Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pariwisata) di area tempat usaha mereka sehingga usahanya tidak mempersiapkan infrastruktur maupun sumber daya manusia yang menangani keselamatan wisatawan,” kata Sigit.
Sigit menyebut beragam upaya terus dilakukan pemerintah daerah dalam memberikan jaminan keamanan dan keselamatan terhadap wisatawan.
Salah satu yang dilakukan adalah kolaborasi dengan berbagai pihak seperti Polres Sukabumi, TNI AL, Basarnas, Pramuka, dan komunitas pariwisata lain di Kabupaten Sukabumi. Imbauan pun dilakukan Dinas Pariwisata kepada para pelaku usaha pariwisata supaya menyiapkan petugas penjaga pantai di tempat usahanya.
“Prinsipnya, Pemerintah Kabupaten Sukabumi berusaha optimal agar selalu zero accident dalam hal kecelakaan laut. Perlu dipahami bersama, menyediakan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan, tidak hanya kewajiban pemerintah, tetapi semua pihak, termasuk wisatawan. Infrastruktur di Kabupaten Sukabumi secara bertahap juga sedang berkembang, baik sektor sarana dan prasarana hingga sektor peningkatan kapasitas sumber daya manusia,” ujarnya.
Secara keseluruhan, Sigit mengatakan daya tarik wisata pantai di Kabupaten Sukabumi dapat menampung ribuan wisatawan per hari. Alhasil, salah satu faktor terjadinya kecelakaan laut diduga memang karena kunjungan yang berlebih.
Namun, Sigit menilai kejadian kecelakaan juga sering disebabkan perilaku wisatawan yang tidak mengikuti imbauan peringatan yang sudah disediakan pihak-pihak terkait dengan jumlah yang sebenarnya terbatas.
Laut Sukabumi dalam Sejarah
Seperti pembahasan awal, pantai selatan Jawa terkenal dengan ombaknya yang ganas. Kasus-kasus kecelakaan laut pun sudah banyak terjadi, setidaknya tercatat, sejak zaman penjajahan Belanda.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan seperti pada 4 Maret 1692, kapal Lek milik East Indies Company (EIC) mencoba berlayar dari Selat Sunda ke selatan. Sayangnya, 58 kru tewas dan 90 orang lainnya menderita luka karena gagal berlabuh dan terkena badai.
Diperkirakan kecelakaan akibat laut pantai selatan sering terjadi namun jarang terekspose. Ketika banyak kunjungan wisata ke Palabuhanratu, mulailah banyak orang yang tenggelam karena tergulung ombak.
Misal pada Oktober 1931, Wylen den Schmidhamer yang berenang di pantai Paabuhanratu tenggelam. Dia merupakan salah satu rombongan pria dan wanita yang datang ke Palabuhanratu naik bus dan menginap di Desa Cidahon perkebunan Ganessa di rumah Luissa Van Motman.
Mereka kemudian menuju pantai dan berenang. Schmidhamer berenang sekitar 25 meter dari pantai. Tetapi saat agak ke tegah, tiba-tiba menghilang ditelan ombak dan mayatnya tidak pernah ditemukan.
Pantai Palabuhanratu juga memakan korban musisi orkestra Hungaria yang tampil di Hotel der Nederlanden Batavia bernama Szusich. Dia tenggelam di depan teman-temannya tanpa ada yang mampu menyelamatkannya, Maret 1938.
Szuchsich ditelan ombak sekitar 100 meter dari bibir pantai. Jasadnya kemudian ditemukan mengambang dan ditarik ke pantai. Akibat kematiannya, orkestra di Hotel der Nederlanden Batavia sempat terhenti.
Selanjutnya Maret 1940. Laut Palabuhanratu kemabli memakan korban. Kali ini beberapa orang Eropa yaitu suami istri Kuhr, E.A Janse, dan Th. A. Ruys. Semuanya berasal dari Bandung dan mereka tenggelam akibat pusaran. Mayatnya ditemukan dalam beberapa waktu.
Mayat pertama ditemukan nelayan dan dilaporkan ke Wedana. Beberapa jam kemudian ditemukan mayat Janse, Ny. Kühr-Ploem, dan suaminya. Sementara jenazah Ruys tidak pernah ditemukan
Pada Maret 1955, arus bawah laut yang berbahaya di Palabuhanratu juga menelan korban. Nona Rita Horsting dari Kiaracondong, jatuh ke pusaran air saat berenang di Palabuhanratu dan tenggelam di depan anggota rombongan pikniknya. Mayatnya tidak ditemukan.
Irman yang sudah menulis beberapa buku tentang Sukabumi, salah satunya “Soekaboemi the Untold Story”, mengungkapkan keganasan ombak laut selatan hingga kini masih terkenal banyak memakan korban para wisatawan dan tak jarang menghubungkannya dengan mitos Nyi Roro Kidul.
Salah satu pejabat luar negeri yang sempat tewas tenggelam karena ombak ganas Palabuhanratu adalah duta besar Bulgaria tahun 1965. Ketika itu beliau tewas karena menggunakan kaus berwarna hijau sebuah simbol warna Nyi Roro Kidul.
“Karena warna ini pula dipercayai ada kaitannya dengan nama Nabi Khidir yang berasal dari kata Khadra yang berarti hijau. Konon, Nyai selalu berpakaian hijau dengan tujuh kudanya, berusaha menarik orang yang berpakaian hijau. Wallahualam bissawab,” kata Irman.