SUKABUMIUPDATE.com - Plasenta atau ari-ari bayi termasuk organ penting terutama saat bayi berada dalam kandungan. Ari-ari berperan menjadi media penyalur nutrisi dari ibu kepada buah hatinya.
Tradisi membuang ari-ari bayi yang cukup populer di masyarakat adalah dikubur dan dibuang ke sungai. Di Sukabumi sendiri, tradisi membuang ari-ari bayi juga dilakukan dengan cara serupa.
Ada dua kepercayaan membuang ari-ari bayi yang dipegang teguh oleh masyarakat. Yakni, jika dikubur sang anak tak akan pergi jauh sementara jika dibuang ke sungai anak akan menjadi perantau ulung yang gemar berkelana.
Baca Juga: Mengenal Sindrom Asperger: Pengidap Disabilitas yang Cerdas, Termasuk Autis?
Pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah mengatakan tradisi membuang ari-ari telah berkembang di Sukabumi hampir disemua tempat, terutama di pedesaan. Ini menjadi kepercayaan masyarakat Sukabumi yang dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi.
Cara Membuang Ari-ari Bayi Jaman Dulu vs Jaman Now
Di Sukabumi pada zaman dahulu, ari-ari bayi dipotong menggunakan hinis bambu/sembilu, sementara saat ini menggunakan gunting.
Kemudian, potongan ari-ari yang sudah di tali biasanya tersisa sekitar 5 cm, akan putus dengan sendirinya (disebut: puput puser). Pada bayi laki-laki, puput puser terjadi setelah bayi berumur satu minggu, sementara bayi perempuan sekitar usia 15 hari.
"Ari-ari bayi yang sudah lepas itu biasanya disimpan di para seuneu -tempat menyimpan kayu bakar diatas tungku agar kering." kata Irman kepada sukabumiupdate.com, dikutip Minggu (11/6/2023).
Baca Juga: Misteri Saranjana: Kota Gaib di Indonesia yang Tidak Tercatat Peta, Dihuni Jin?
Nah, menurut mitos yang berkembang di masyarakat jika bayinya sakit panas atau sakit perut, maka ari-arinya dapat direndam. Kemudian air rebusan ari-ari tersebut diminum oleh bayi agar sembuh.
Akan tetapi faktanya, hal tersebut di jaman now perlu dibuktikan secara medis. Ini karena kepercayaan dan keyakinan masyarakat modern kian bertumpu pada konteks ilmiah.