SUKABUMIUPDATE.com - Rentetan kecelakaan laut di perairan Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp) menjadi catatan serius bagi berbagai pemangku kebijakan, terutama pemerintah. Selain mengancam status UNESCO Global Geopark bagi kawasan di selatan Kabupaten Sukabumi yang telah dibahas di Part I liputan ini, deretan kejadian wisatawan terseret ombak juga menimbulkan pertanyaan apakah korban masih dapat terselamatkan ketika tergulung gelombang.
Dalam wawancara khusus dengan sukabumiupdate.com, Kepala Satuan Kepolisian Air dan Udara (Satpolairud) Polres Sukabumi AKP Tenda Sukendar mengungkapkan waktu-waktu kritis kecelakaan laut. Definisi yang mirip dengan critical eleven atau sebelas menit paling kritis di dalam pesawat ini terjadi ketika wisatawan mulai terseret ombak hingga dinyatakan hilang. Apabila seseorang terseret arus selama sekitar tiga puluh menit lalu tak kembali muncul, rata-rata berakhir meninggal dunia.
"Orang terseret arus kurang lebih setengah jam, dia tidak muncul lagi, ya pasti dalam kondisi meninggal. Meninggalnya ada yang ditemukan, ada yang satu hari (baru ditemukan), dua hari, empat hari. Yang ditemukan pada hari itu juga ada, tergantung arus. Kalau arusnya arus bawah, korban berada di bawah terus. Kalau arusnya narik ke atas, korban bisa mengambang atau terseret ke darat," kata dia di kantornya, akhir Mei 2023.
Data yang diungkapkan Tenda mengisyaratkan perlunya peningkatan mitigasi risiko dalam tiga puluh menit kritis ketika wisatawan terseret ombak. Diketahui, selama libur lebaran Idulfitri 1444 Hijriah atau April 2023 lalu, lima wisatawan tewas terseret ombak di laut CPUGGp. Angka ini belum dijumlahkan dengan data tahun-tahun sebelumnya. Dalam wawancara itu, Tenda juga membuka data kecelakaan laut kurun waktu dua tahun terakhir sejak 2021, berikut korban meninggal dunia dan hilang.
Berdasarkan kejadian, Satpolairud mencatat pada 2021 ada 27 kali, 18 kejadian pada 2022, dan 2023 hingga Mei ada 7 kecelakaan laut. Sementara korban, 2021 tercatat 68 orang, 2022 sebanyak 38 orang, dan 2023 ada 20 orang. Kemudian korban meninggal dunia yang ditemukan, 2021 menjadi tahun terbanyak dengan 17 orang, 14 orang pada 2022, dan 6 orang pada 2023 sampai Mei, artinya total 37 orang. Data terakhir adalah korban hilang, di mana pada 2021 terdapat 2 orang, 2022 satu orang, dan nihil untuk 2023.
"Secara kejadian yang terdata di kami mulai 2021, 2022, dan 2023 berjalan, grafik menurun, baik angka jumlah kejadian maupun fatalitas jumlah korban meninggal atau hilang. Secara persentase untuk data kecelakaan jenis kelamin, didominasi laki-laki, sekitar 85 persen laki-laki. Kalau domisili, wisatawan 50 persen Sukabumi dan 50 persen luar kota seperti Bogor, Bandung, dan Jakarta," ujar Tenda.
Meski secara data menurun, Tenda mengingatkan masyarakat harus tetap berhati-hati saat beraktivitas di pantai. Dia memperingatkan tiga faktor utama terjadinya kecelakaan laut. Pertama, faktor alam yakni arus ombak. Kedua, faktor manusia berupa perilaku tidak mematuhi imbauan petugas soal larangan berenang di tempat berbahaya. Ketiga, faktor manusia di mana korban tidak memiliki kemampuan berenang dan panik saat terseret ombak. Ketiga faktor ini penting dan harus diperhatikan.
Khusus terkait faktor alam, Tenda menyebut ada sebuah kondisi ombak berdebur ke daratan lalu mengendap. Namun, dengan durasi yang sangat singkat, ombak tersebut kembali ke lautan dengan gerakan zig-zag. Situasi ini membuat tarikan ombak semakin kuat dan jika wisatawan dalam posisi kuda-kuda kaki yang lemah, dapat terjatuh lalu terseret. Apabila wisatawan sudah terseret kemudian dinyakan hilang, proses pencarian akan dilakukan selama tujuh hari, sesuai standar operasional prosedur.
"Ketinggian ombak wilayah pantai selatan kalau cuaca ekstrem bisa mencapai 6 sampai 7 meter. Tapi kalau landai sekitar 2 meter. Kemarin saat libur lebaran kan kita mulai 23, 24, 25 April, seimbang dengan perkiraan BMKG, gelombang di atas 4 sampai 5, bahkan 6 meter. Pantai selatan maksimal 6 sampai 7 meter," kata dia.
Baca Juga: PART I: Kecelakaan Laut dan Nasib Status UNESCO Global Geopark Ciletuh Sukabumi
Analisis Gelombang di Perairan CPUGGp
Badan Pengelola CPUGGp memberikan laporan hasil analisis dan penelitian para ahli geologi terkait karakter gelombang di laut CPUGGp, salah satunya Dr. Ir. Yun Yunus Kusumabrata, M.Sc (Dewan Pakar Komite Nasional Geopark Indonesia dan Anggota Dewan Penasihat CPUGGp).
Yunus menyatakan karakter ombak laut (wave) di pesisir selatan Pulau Jawa, mulai pesisir Blambangan di Jawa Timur hingga Ujung Kulon di Provinsi Banten, umumnya berenergi tinggi dengan ombak besar. Ini karena pantai berbatasan langsung dengan laut lepas.
Berdasarkan teori, ada tiga faktor pemicu terjadinya ombak yaitu arus pasang-surut (swell), angin pantai (local wind), dan pergeseran (turun-naik) massa batuan di dasar samudera. Di pantai selatan Pulau Jawa, kombinasi antara gelombang pasang surut dan angin lokal yang bertiup kencang, khususnya saat musim barat, akan menimbulkan ombak besar.
Di tempat-tempat tertentu, penggabungan (interference) antara gelombang swell dengan gelombang angin lokal--misalnya di Pantai Cimaja, Palabuhanratu, atau di Karangbolong, Surade--dapat membentuk ombak setinggi 2 hingga 3 meter.
Jenis ombak lain yang sangat berbahaya di pantai selatan adalah gelombang tsunami. Gelombang ini dipicu pergeseran naik turunnya massa batuan di dasar samudera. Interaksi antara ketiga jenis gelombang (swell, gelombang angin lokal, dan tsunami) diyakini dapat menghasilkan gelombang dahsyat yang tiba-tiba datang menyapu pantai. Bentuk morfologi dasar laut di sejumlah lokasi pantai selatan juga sangat memungkinkan terjadinya hempasan gelombang dahsyat ke pantai yang sekaligus memicu terjadinya arus seretan.
Sebagai pantai yang mengalami pengangkatan (uplifted shoreline) dengan proses abrasi cukup kuat, profil pantai selatan umumnya memiliki zone pecah gelombang (breaker zone) dekat garis pantai. Akibatnya, zone paparan (surf zone) menjadi sempit. Jika terjadi interferensi gelombang, maka atenuasi ombak akan terjadi sehingga membentuk gelombang besar. Sebab daerah paparannya sempit, meski gelombang akan pecah di zone pecah gelombang, hempasan ombaknya masih dapat menyapu pantai dengan energi cukup kuat.
Yunus mengungkapkan sistem arus di pantai dipicu hadirnya arus di lepas pantai (coastal current) sebagai akibat sirkulasi air laut global. Dalam pergerakannya, arus lepas pantai mengalami perubahan arah (deviasi) menjadi arus sejajar pantai (longshore current) akibat adanya semenanjung dan teluk.
Baca Juga: PART III: Dibayar Rp 650 Ribu Setahun, Lifeguard dan Rentetan Kecelakaan Laut Sukabumi
Kemudian arus balik (rip current) menuju laut sering muncul di teluk akibat arus sejajar pantai yang berlawanan. Kekuatan arus balik ini akan bertambah apabila dasar laut memiliki jaringan parit dasar laut (runnel atau trough). Jaringan parit merupakan saluran tempat kembalinya sejumlah besar volume air yang terakumulasi di pantai, khususnya di zone paparan dan zone pasang surut (swash) ke laut.
Arus balik tidak bergerak di permukaan karena pergerakannya terhalang hempasan ombak yang datang terus-menerus. Arus balik ini diperkirakan menjadi penyebab utama tewasnya korban yang sedang berenang di pantai. Karena selain memiliki daya seret kuat, arah gerakannya pun bersifat menyusur dasar laut menuju tempat yang lebih dalam.
Sebagai informasi, CPUGGp tersebar di 74 desa di delapan kecamatan Kabupaten Sukabumi yakni Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Waluran, Ciemas, Ciracap, dan Surade. Pada 2018, tepatnya April, kawasan ini untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark di Paris, Prancis.
Saat ini Ciletuh-Palabuhanratu masih menyandang status UNESCO Global Geopark, berdasarkan proses revalidasi pada Mei 2022. Hasil revalidasi tersebut dipresentasikan dalam sidang Global Geopark Network Council di Satun, Thailand, September 2022. Sidang itu menyatakan Ciletuh-Palabuhanratu diajukan kembali sebagai UNESCO Global Geopark ke sidang Executive Board UNESCO di Paris, Prancis.
Executive Board UNESCO sendiri telah bersidang dan pada 23 Mei 2023 dinyatakan Ciletuh-Palabuhanratu masih layak untuk menyandang status UNESCO Global Geopark.