Cerita Mudik di Sukabumi Era Belanda dan Anak Korban Perang Dibagi Baju Lebaran

Senin 17 April 2023, 10:49 WIB
Anak-anak Sukabumi saat antre dibagi baju lebaran oleh UNRRA pada September 1947. | Sumber: KITLV via Yayasan Dapuran Kipahare

Anak-anak Sukabumi saat antre dibagi baju lebaran oleh UNRRA pada September 1947. | Sumber: KITLV via Yayasan Dapuran Kipahare

SUKABUMIUPDATE.com - Dibukanya Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi alias Tol Bocimi Seksi 2 secara fungsional pada Sabtu, 15 April 2023, membuat mudik semakin menggeliat. Kegiatan pulang kampung ini sudah tidak asing bagi Sukabumi yang sejak dulu memiliki diaspora relatif banyak di luar kota, provinsi, bahkan luar negeri.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan istilah mudik berkembang sekitar 1970-1980 yang berasal dari udik alias kembali ke udik (kampung). Istilah yang sebelumnya populer adalah pulang kampung, namun ini juga berlaku bagi yang tak kembali lagi ke kota. Mudik dalam arti pulang saat lebaran, bukan hal baru.

"Kebiasaan masyarakat selalu pulang ke kampung menemui saudara, ayah, ibu, teman, dan tetangga, terjadi sejak lama," kata Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" kepada sukabumiupdate.com, Senin, 17 April 2023.

Warga Sukabumi yang bekerja atau sekolah di Batavia, selalu pulang menjelang lebaran. Tetapi, lantaran jumlahnya tak banyak, maka tidak menjadi fenomena istimewa. Hanya pulang begitu saja, baik menggunakan mobil, kereta, maupun kereta kuda. Arus urbanisasi ke Batavia pada 1920-an, baru mulai menunjukkan banyaknya masyarakat yang mudik ke banyak daerah, termasuk Sukabumi.

Baca Juga: Sejarah Mudik di Sukabumi: Terkenal Era Belanda hingga Tradisi Jelang Lebaran

Namun, kata Irman, karena sering terjadi kekurangan kendaraan saat mudik, maka pada Desember 1937 pemerintah menambah kereta api menuju Bogor dan Sukabumi berupa kereta ekspres dan kereta malam. Kereta yang melaju menuju Sukabumi mulai ditambah pada Sabtu, 4 Desember 1937, dengan jadwal pukul 14.45 dari Batavia.

Upaya tersebut ternyata belum menyelesaikan masalah mudik. Berdasarkan catatan Algemeen Handelsblad (surat kabar harian Belanda yang bermarkas di Amsterdam), banyak orang Belanda yang harus menyetir sendiri karena sopirnya pulang kampung untuk berlebaran di kampungnya. Beberapa ruas jalan, termasuk Jalan Batavia menuju Sukabumi, menjelang Idulfitri dipadati pemudik. Ratusan orang berjalan kaki, ada juga yang menggunakan gerobak atau bahkan taksi.

Uniknya, setiap taksi selalu kelebihan muatan karena yang naik biasanya cukup banyak dengan barang bawaan tak sedikit. Mereka menuju kampung untuk merayakan lebaran yang disebut Belanda Inlands Nieuwjaar (Tahun Baru Pribumi). Belanda kadang menyebut juga Inlaandsche Paasfeest (Pesta Paskah Pribumi), yang sebenarnya punya arti tidak tepat.

Irman yang kini Ketua Yayasan Dapuran Kipahare mengungkapkan kegiatan pulang kampung saat itu sudah menjadi tradisi di mana masyarakat muslim mengunjungi kerabat, teman-teman, dan orang tua, jika masih ada di kampungnya. Momen yang paling tepat bagi semua masyarakat adalah Idulfitri atau lebaran. Seiring libur bekerja atau meliburkan diri, para pedagang menyempatkan diri pulang selama beberapa hari sekalian menunjukkan kesuksesannya di Batavia kepada masayarakat di kampungnya.

Suasana lebaran saat itu digambarkan dengan sambutan awal petasan dan bedil lodong. Dalam artikel Malay Malaise, Februari 1931, suasana menjelang Idulfitri di Sukabumi diliputi petasan dan kembang api sepanjang hari hingga malam. Keriuhan juga diselingi doa dari masjid-masjid dan berhenti menjelang Subuh. Masyarakat salat Subuh kemudian bertakbir menandai fajar hari baru telah jatuh. Masyarakat lalu mendatangi masjid dan lapangan untuk beribadah yang diikuti makan minum yang selama puasa dilarang.

Semua orang berpakaian yang bagus dan indah dari hasil jerih payahnya. Sebagian ada juga yang membeli pakaian dan perhiasan dari hasil menggadaikan barangnya di pegadaian. Namun, sejak November 1939, beberapa masyarakat Sukabumi ada yang memaksakan diri menabung atas prakarsa Bupati Sukabumi melalui pendirian Bank Tabungan Desa.

Pada 1939, pabrik tenun di Sukabumi pernah mengalami pemogokan menjelang lebaran. Lima puluh pekerja berhenti bekerja dan hanya tujuh orang yang bertahan sehingga pabrik tenun tutup. Ini lantaran manajemen pabrik menolak memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawan yang saat itu berupa uang muka gaji.

"Setelah salat (Idulfitri), masyarakat berbondong-bondong saling mengunjungi kerabat, tetangga, dan teman di sekitarnya untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan dalam setahun terakhir. Saat itu banyak orang Eropa yang sulit mengendarai mobil karena sepanjang jalan banyak dipenuhi umat Islam yang berjalan kaki saling berkunjung," ujar Irman.

Semua orang terlihat berbahagia dan tidak peduli dengan urusan lalu lintas. Tak hanya warga pribumi, ternyata orang Eropa juga banyak yang mengunjungi saudaranya di Sukabumi saat lebaran, namun kebanyakan mereka tinggal di hotel karena tak mempunyai rumah lagi.

Hotel di Sukabumi seperti Hotel Victoria (dekat Lapang Merdeka) saat lebaran biasanya dipenuhi orang Batavia. Hal bagus bagi pemilik hotel. Tetapi yang menjadi persoalan adalah layanan kurang maksimal karena sebagian besar pekerja libur. Hanya ada sebagian kecil pekerja hotel yang bertahan bekerja di hari lebaran dengan iming-iming bayaran lumayan.

Pada akhirnya, orang Eropa harus menerima kenyataan karena lebaran adalah kegembiraan kaum pribumi sehingga dalam suasana lebaran mereka hanya bisa menerima pelayanan seadanya.

Banyak para pemilik perkebunan juga beristirahat di Sukabumi selama lebaran, karena itu beberapa hiburan diadakan sesudah lebaran, misalnya pertunjukan Paduan Suara Cossact di Capitol pada Februari 1931. Hiburan ini cukup menarik minat banyak orang Eropa sehingga meja-meja terisi penuh.

Cerita lebaran kemudian berubah ketika zaman pendudukan Belanda pasca-proklamasi. Mudik di Sukabumi tak semeriah sebelumnya karena suasana perang. Akibat agresi militer Belanda Juli 1947 banyak masyarakat yang susah karena setiap hari nyawanya terancam. Banyak pula yang harta bendanya disita baik oleh Belanda maupun pejuang.

Laporan UNRRA (United Nations Relief and Rehabilitation Administration) menyebutkan masyarakat Sukabumi banyak yang sakit dan kekurangan gizi. Pakaian mereka compang-camping dan tidak layak. Oleh karena itu, UNRRA melalui pasukan Belanda membagikan pakaian kepada masyarakat beberapa hari sebelum lebaran tiba.

"Pada September 1947, masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua banyak yang berbaris mengantre pembagian baju. Situasi ini kemudian berakhir pada 1950 di mana tentara Belanda ditarik semua dari Indonesia," kata Irman.

Baju Lebaran Era Belanda

Irman mengatakan pada abad 15 dan 16, dua kekuatan kerajaan pasca-Padjadjaran berebut pengaruh di Sukabumi melalui klaim penguasaan yang disebut presentasi, tak terkecuali pemerintahnya. Para pendakwah dari Banten dan Mataram juga banyak yang memasuki wilayah Sukabumi, bahkan menetap hingga akhir hayat. Ini terbukti dengan banyaknya makam-makam pendakwah Islam di Sukabumi yang berasal dari Banten dan Mataram.

Salah satu pengaruh Islam yang menjadi budaya adalah perayaan Idulfitri (lebaran) dengan cara membeli baju baru. Seperti di Banten dan Mataram, budaya itu juga terjadi di Sukabumi. Masyarakat berbondong-bondong membeli baju lebaran. Sementara yang kurang berada, menjahit sendiri. Ini karena sejak dulu masyarakat Sunda, terutama perempuan, bisa melakukan banyak hal termasuk menjahit.

Budaya ini terus berlangsung hingga ketika Sukabumi dikuasai Belanda. Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), orang Belanda keliru menyebut Idulfitri sebagai Mohammedans Nieuw Jaar (Tahun Baru Kaum Muhammad/Islam) karena keramaiannya mirip tahun baru di Eropa. Selain di Islam, tradisi membeli baju baru juga dilakukan penganut agama lain saat itu seperti saat Natal dan Imlek, seolah kebiasaan tersebut umum saat perayaan keagamaan maupun perayaan nasional.

"Orang Belanda lambat laun bisa membedakan Idulfitri dan tahun baru, sehingga penyebutannya lebaran seperti yang biasa diucapkan masyarakat," kata Irman.

Christiaan Snouck Hurgronje yang pernah mengunjungi Sukabumi pada 16 Juli 1889, dalam suratnya untuk Direktur Pemerintahan Dalam Negeri menyebutkan perayaan lebaran pasti disertai hidangan khusus, saling mengunjungi, hiburan yang menggembirakan, dan membeli pakaian baru.

Baca Juga: Angan Bung Karno di Sukabumi: Sulap Palabuhanratu Jadi Las Vegas Indonesia

Adapun soal baju ini merupakan kebiasaan lokal yang juga direkam kawan karib Hurgronje yaitu Moehamad Moesa dalam kisah rakyat yang ditulisnya berupa buku berjudul Dongeng Pientengen, "ari maneh make badjoe ges boeroek, lamoen tatjan nepi ka oesoem lebaran dei, mowal wara dipangnjijenken dei badjoe-takwa! (Kamu memakai baju jelek, jika belum sampai ke lebaran lagi maka tidak akan dibuatkan baju takwa)."

Selain Musa, pada 1933, penulis Belanda bernama J Kats juga menyebutkan hal yang hampir sama dalam Spraakkunst en Taaleigen van het Soendaasch: "Dina waktoe lebaran biasa pisan baroedak mah sok pagin.din-ginding, paaloe-aloes badjoe atawa samping".

Bahkan Franciscus Maria Gescher dalam Indie: Schetsen over onze kolonien in Oost-Indie menyebut istilah baju baru yang disiapkan untuk lebaran (Voor lebaran om schoone sarongs, nieuwe badjoes, een kabajaspeld en nog veel meer te koopen).

Kebiasaan membeli baju lebaran juga pada akhirnya menjadikan masyarakat melakukan persiapan. Bagi para petani tentunya hasil penjualan pertanian disimpan sebagian untuk membeli baju lebaran atau membeli bahan dan dijahitnya sendiri. Sementara bagi para karyawan, biasanya meminta uang muka gaji agar bisa membeli keperluan, termasuk baju baru menjelang Idulfitri.

Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka karyawan ada yang memilih mogok bekerja, salah satunya pemogokan di pabrik tenun di Sukabumi. Itu diberitakan Bataviaasch Nieuwsblaad yang menceritakan 50 penenun mogok kerja karena uang muka gaji menjelang lebaran ditolak dibayarkan oleh pemilik perusahaan.

"Kebiasaan memakai baju lebaran juga tetap menjadi perhatian khusus, meski pada zaman peperangan masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan," kata Irman.

UNRRA berada di Sukabumi sekitar lebaran September 1947. Mereka membagikan pakaian baru untuk menarik simpati karena melihat pakaian orang-orang terutama anak-anak yang compang-camping akibat perang.

Kebiasaan membeli baju lebaran terus berlangsung di masa kemerdekaan, apalagi sejak diaturnya tunjangan hari raya bagi pegawai negeri pada 1964 dan untuk swasta lima tahun kemudian. Maka membeli baju lebaran seolah menjadi tradisi wajib yang disisihkan dari tunjangan hari raya maupun sisa usaha.

Follow Berita Sukabumi Update di Google News
Simak breaking news Sukabumi dan sekitarnya langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita SukabumiUpdate.com WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaXv5ii0LKZ6hTzB9V2W. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Berita Terkait
Berita Terkini
Sukabumi18 Januari 2025, 14:13 WIB

Pulihkan Ekosistem Pasca Bencana, Penanaman Pohon di DAS Sungai Cikaso Sukabumi

Kegiatan ini untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
Penanaman pohon di DAS Cikaso, Desa Cibadak dan Desa Pabuaran, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi. | Foto: Istimewa
Food & Travel18 Januari 2025, 14:00 WIB

Menikmati Deburan Ombak di Pantai Karang Tawulan, Wisata Eksotis Mirip Tanah Lot di Tasikmalaya

Tersembunyi di wilayah selatan kabupaten, pantai Karang Tawulan menawarkan keindahan alam yang masih asri dan jauh dari hiruk pikuk kota.
Pantai Karang Tawulan adalah sebuah destinasi wisata pantai yang menarik di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Sumber : Instagram/@riskardr/@dadanwardana99).
Bola18 Januari 2025, 12:00 WIB

Prediksi PSM Makassar vs PSBS Biak di Liga 1: H2H, Susunan Pemain dan Skor

PSM Makassar vs PSBS Biak akan tersaji sore ini dalam lanjutan Liga 1 2024/2025.
PSM Makassar vs PSBS Biak akan tersaji sore ini dalam lanjutan Liga 1 2024/2025. (Sumber : Instagram/@psbsofficial/X/@psm_makassar).
Sukabumi18 Januari 2025, 11:57 WIB

Satpam Asal Sukabumi Tewas di Rumah Mewah Bogor, Keluarga Temukan Banyak Luka Serius

Korban sempat menghubungi istrinya melalui pesan singkat.
Rumah duka Septian (37 tahun) di Kampung Cibarengkok RW 01, Desa Citarik, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. | Foto: SU/Ilyas Supendi
Sukabumi18 Januari 2025, 11:36 WIB

Daftar SKPD dengan Aduan Terbanyak pada 2024, Menurut Data Diskominfo Kota Sukabumi

Pemerintah Kota Sukabumi menerima 106 aduan masyarakat sepanjang 2024.
Apel di Lapang Setda Balai Kota Sukabumi pada Senin (15/7/2024). | Foto: Dokpim Kota Sukabumi
Sukabumi18 Januari 2025, 11:20 WIB

Tahun 2025, Dishub Kota Sukabumi Bakal Perketat Pengawasan Kendaraan Pariwisata

UPTD PKB Dishub akan melakukan upaya untuk mendukung pemerintah pusat.
Kepala UPTD PKB Dishub Kota Sukabumi, Endro. | Foto: Website Kota Sukabumi
Aplikasi18 Januari 2025, 11:15 WIB

Raksasa Mesin Pencari Google Mulai Ditinggalkan, Ternyata Teknologi Ini Penggantinya!

Google perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh pengguna, terutama para generasi muda.
Google perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh pengguna, terutama para generasi muda. (Sumber : Pixabay.com/@Simon).
Sukabumi18 Januari 2025, 11:06 WIB

Diskominfo Rilis Laporan 2024: SP4N-Lapor Kota Sukabumi Terima 106 Aduan Masyarakat

Mei menjadi bulan tertinggi dengan 15 aduan.
(Foto Ilustrasi) Diskominfo Kota Sukabumi merilis data yang masuk ke SP4N Lapor sepanjang 2024. | Foto: Istimewa
Food & Travel18 Januari 2025, 10:47 WIB

Kembalikan Ikon Wisata Lokal, Pemdes dan Warga Bersihkan Curug Caweni di Cidolog Sukabumi

Sejak pandemi Covid-19, jumlah wisatawan Curug Caweni mengalami penurunan.
Kondisi Curug Caweni di Kampung Cilutung, Desa/Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi. | Foto: Istimewa
Sukabumi18 Januari 2025, 10:12 WIB

Akses Kendaraan Lumpuh! Longsor Kembali Tutup Jalan Nasional di Simpenan Sukabumi

Akses kendaraan untuk roda empat atau mobil lumpuh total.
Material longsor menutup Jalan Nasional Bagbagan-Kiara Dua, tepatnya di Kampung Cimapag, Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Sabtu (18/1/2025). | Foto: Istimewa