SUKABUMIUPDATE.com - Di separuh malam itu, cahaya bulan seolah berpendar pelan, pecah jatuh perlahan, bulan tersebut seolah memiliki roda dengan semburay cahaya penuh pijar, berjalan perlahan menjauh dari peraduannya dilangit tanpa bintang.
Namun, entah ada daya magnet apa? sesaat kemudian bulan tersebut melesat cepat menukik tajam dari singgasana anggunnya di langit sana, meliuk dengan kecepatan sepersekian detik lebih cepat dari jalannya cahaya, seolah sedang diutus oleh langit agar mendarat dengan tepat waktu pada satu titik di sudut bumi. Sembilan ratus kaki dari pemukaan laut, bulan berhenti, cahayanya berpendar elok, berkedip dengan anggun, sungguh Tuhan telah membuat keajaiban yang maha indah.
"Malam itu masih pekat, tepat tengah perjalanan sebelum pagi, hingga bulan yang bergeser dari peraduannya tak sedikitpun orang tahu. Seluruh mata sedang lelap. Dengkuran kecil terdengar sesekali dari balik atap-atap rumah mungil pinggir gunung tersebut. Masjid satu-satunya yang bediri gagah dikampung itu juga tampak sunyi. Para santri tidur bergelimpangan serupa ikan pindang, lampu minyak masjid telah lama padam, sumbunya juga telah dingin tanpa api, tak tampak aktivitas apapun di masjid itu," tutur Vita Agustina saat menuliskan potret suasana malam di sebuah pesantren di Cicantayan, 125 tahun silam. (medio 1888-1900 M).
Alkisah, Seorang lelaki paruh baya sepertinya satu-satunya yang masih melakukan aktivitas di sekitar masjid. Dia baru saja menyelesaikan raka'at terakhir dari shalat malam yang istiqomah dikerjakannya sejak dulu, sesaat matanya terantuk pada sepotong bulan bercahaya indah yang melesat tiba-tiba menuju masjid tempatnya ia biasa mengajar.
Kiai dengan rambut beruban tersebut melihat dengan takjub, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, dengan mata kepalanya sendiri, dilihatnya kecepatan bulan semakin melambat saat berada dekat dikubah hijau masjid, seolah sedang mencari sasaran yang tepat dari pesan yang sedang dibawanya.
Sementara itu, kiai sepuh menatap tajam pada bulan yang berhenti diatas kubah masjid miliknya, berhitung dengan banyak kemungkinan, apa gerangan yang sedang bulan rencanakan dengan kubah masjid tersebut? Diluar dugaan, ternyata bulan menerobos masuk kedalam masjid, meninggalkan kiai yang semakin tercengang, dengan peristiwa yang dilihatnya barusan.
Apa sebenarnya yang seedang dicari rembulan dimasjidnya? Maka demi menuntaskan rasa penasarannya kiai sepuh bergegas menuju masjid yang gulita, melepas sandal dengan tergesa, sebelum akhirnya melangkah kedalam.
Bulan tak terusik, sama sekali tak terganggu dengan kiai sepuh yang membuntutinya. Bulan justru semakin melambat seakan masih konsentrasi dengan pencariannya di dalam masjid tersebut, masjid luar biasa gulita, satu-satunya cahaya yang membuat benderang berasal dari bulan yang bulat raksasa.
Kiai sepuh mengintip dari balik kusen, penasaran dengan hal yang selanjutnya akan terjadi. Bulan dengan dengan cahaya terang tersebut berhenti disalah satu santri yang tertidur, untuk akhirnya bulan tersebut masuk kedalam tubuh santri, seolah tubuh yang sedang lelap itu memiliki daya kekuatan magnet yang mampu menarik bulan bundar raksasa masuk kedalam tubuhnya.
Kiai sepuh melindungi matanya yang silau, sebab saat bulan masuk ke tubuh yang sedang tidur itu, ruangan menjadi maha terang dan menyilaukan, sebelum sepersekian detik setelahnya suasana masjid kembali gulita seperti semula, seolah tak pernah terjadi hal paling menakjubkan disana. Kiai sepuh yang mengintip dari balik pintu segera berlari, mencari-cari santri yang baru saja 'dirasuki' oleh bulan yang benderang.
Sayangnya, karena suasana yang gulita, dia tidak bisa melihat wajah santri yang tidur di masjid tersebut. Maka dia kemudian membuat tanda dengan mengikat simpul mati sarung santri misterius tersebut.
Di luar sana alam kembali tenang, dedaunan gemerisik, sedang air dari tetes embun mulai jatuh perlahan karena daun saling bergoyang terkena angin sepertiga malam yang luar biasa tersebut. Santri masih terlelap, dengkur kecil terdengar di beberapa sudut. Kiai sepuh memilih untuk duduk di tempat imam, menunggu subuh, sampai sumbu lampu dinyalakan oleh santri yang bangun pertama kali.
Dini hari itu shalat malam ditegakkan seperti biasa. menjelang subuh, aktivitas disekitar masjid sudah mulai terlihat, sumbu lampu sudah dinyalakan dan santri mulai mengambil air wudu di pancuran. Mereka sama sekali abai dengan dingin yang menusuk hingga tulang, mereka sama sekali tak menyadari jika telah terjadi peristiwa luar biasa di masjid tersebut. Satu-satunya orang yang tahu tentang hal menakjubkan hanya kiai sepuh yang duduk tepekur di mihrab imam.
Kiai sepuh menahan rasa penasaran yang membuncah dengan bersikap setenang mungkin, menjadi imam shalat malam dan subuh seperti biasa. Ia bertahan hingga cahaya matahari pertama menyirat di ufuk timur, sedang para santri telah bersiap untuk memulai poengajian subuh, dan saat itulah kiai sepuh mengeluarkan dawuh-nya.
Pagi itu, kiai sepuh tidak segera memulai pengajian kitabnya, tapi dengan seksama memperhatikan satu persatu wajah santri yang sudah bersamanya itu. Ia menimbang apakah ada wajah yang luput dari perhatiannya, satu sosok yang lewat dari pengawasannya sebagai seorang guru serta satu pribadi agung yang mungkin telah dia abaikan selama ini.
Lagi-lagi kiai sepuh menghela napas, dimatanya mereka tetaplah anak sepuluh tahun dengan tatapan polos yang haus ilmu, sama sekali tak ada yang terlewat. Kiai sepuh bahkan telah mengenal pribadi masing-masing dari mereka. Jika kemudian ada keajaiban yang terjadi di masjid pagi itu, tentu hal tersebut adalah sebuah pertanda alam yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
"Assalamu'alaikum, anak-anak", seperti biasa kiyai sepuh memulai dengan beruluksalam, yang dijawab dengan serentak oleh para santri. Nada mereka berirama jernih di pagi itu.
"Sebelum kita memulai pengajian subuh ini, ada hal yang ingin abah tanyakan pada kalian", kiyai sepuh membuat jeda, membuat wajah-wajah didepannya menggusar, karena tidak biasa sang guru membuat penasaran seperti itu.
"Apakah ada diantara kalian, saat bangun tidur tadi sarungnya terikat antara ujung kanan dan ujung kiri?" Kiai sepuh bertanya.
Santri saling toleh tak mengerti, apakah kiai sepuh sudah usil saat mereka tidur semalam, mengikat sarung salah satu santri yang ada.
"Jika ada diantara kalian yang merasa sarungnya terikat, maka abah minta untuk maju ke depan," lanjut kiai sepuh.
Tak disangka, seorang santri dibaris tengah mengacungkan tangan-membuat seluruh santri menoleh-ternyata dugaan mereka tentang kiai sudah usil mengikat sarung salah satu diantara mereka adalah benar.
Sebelum bisik-bisik keheranan semakin ramai, santri yang tadi mengacungkan tangan maju perlahan ke depan, duduk tepat dihadapan sang kiai.
Kiai sepuh sontak melafalkan tahmid takjub, sebelum akhirnya memeluk erat anak itu.
Sementara seluruh masjid menjadi riuh, karena kiai sepuh terlihat meneteskan air mata. Tak Pernah ada yang tahu tentang insiden bulan dan ikatan sarung yang dibuat kiai sepuh malam tadi, yang mereka tahu kiai sepuh tampak begitu takjub pagi itu.
Yang seluruh santri tahu adalah, kiai sepuh yang kemudian dikenal dengan Mama Abdurrahim tersebut sedang memeluk anak kandung lelakinya, yang ternyata adalah santri yang sarungnya dia ikat semalam tadi.
"Anak tersebut adalah Ahmad Sanusi," ujar Vita Agustina diujung ceritanya.
Sumber : Novel Sang Penjelajah Ilmu, Sebuah Biografi KH Ahmad Sanusi oleh Vita Agustina.