SUKABUMIUPDATE.com - Sejak remaja, Yusup (45 tahun), sudah mulai melakukan penambangan emas di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Dia menjadi satu dari sekian banyak warga Pajampangan yang memutuskan menjadi gurandil.
Aktivitas tambang emas di wilayah Pajampangan memang bukan hal baru. Sudah puluhan tahun masyarakat di selatan Sukabumi itu menggantungkan hidupnya dari kegiatan yang sebenarnya tidak memiliki izin atau pertambangan tanpa izin (Peti).
Lalu, bagaimana sejarah pertambangan emas di Sukabumi?
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan gurandil merupakan istilah untuk penambang emas tradisional yang dilakukan masyarakat Sukabumi secara liar. Profesi ini diduga sudah ada sejak awal ditemukannya emas di wilayah tersebut. Emas bukanlah barang baru, di masa kerajaan bahkan jauh sebelumnya, emas sudah menjadi perhiasan. Tentu, emas saat itu masih ditambang dengan cara kuno. Konon, seribu tahun lalu banyak imigran China yang datang ke Sukabumi untuk menambang emas.
Irman mengungkapkan temuan emas di Sukabumi juga bukan tidak sengaja. Belanda yang sudah lama mengincar emas Sukabumi dari cerita-cerita kuno dan naskah kuno seperti epik Hindu Ramayana misalnya menyebutkan: "Dengan hati-hati menembus Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas." Kemudian prasasti bertahun 732 Masehi, ditemukan di Kedu juga mengatakan tentang Jawa yang "kaya akan tambang emas" (P.J. Veth).
"Bahkan konon Gunung Salak berasal dari kata Salaka yang artinya perak karena mengandung perak dan emas," kata Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" kepada sukabumiupdate.com, Kamis (9/3/2023).
Masyarakat Sukabumi telah mengenal cara mendulang emas sejak lama karena pendulangan di sungai sudah marak terjadi terutama di Jampangtengah. Warga menyebutnya emas karang yaitu emas dari pasir yang didulang menggunakan pelat kayu.
Belanda semakin tergiur untuk mendapatkan emas dan kemudian melakukan penelitian di Sukabumi selatan sejak 1888, terutama di daerah Jampang yang dicurigai kuat sumber emasnya. Ini berdasarkan laporan masyarakat yang juga sempat menambangnya secara tradisional terutama di wilayah Jampangtengah, Jampangkulon, dan Palabuhanratu.
Salah satu incaran belanda adalah Ciemas yang dari toponiminya pun berarti tempat yang ada sumber emasnya.
Baca Juga: Cerita Gurandil Ciemas Sukabumi, Bertaruh Nyawa Demi Rupiah di Tambang Emas
Irman menyebut Belanda akhirnya mulai mendapatkan titik terang dari informasi masyarakat Jampang tentang tambang kuno di wilayah Ciemas yaitu perkebunan yang masuk Onderneming Tjiemas. Masyarakat sekitar juga ditengarai memiliki kemampuan menambang emas secara tradisional menggunakan cara mistis dengan menentukan hari dan juga menunggu wangsit.
Adapun Tambang kuno tersebut ada di dalam perkebunan berupa gua kuno sepanjang 70 meter. Selain itu ditemukan pula sumber emas di Perkebunan Surangga sehingga mulailah para peneliti dikirim dalam jumlah besar untuk melakukan penelitian.
Laporan awal pada 1922 cukup menggembirakan karena terdapat kadar emas mulai 15 hingga 20 gram per ton tanah. Namun penelitian tersebut tidak berjalan mulus karena kadar emas ditengarai kurang bagus.
Dalam laporan Juli 1923, penelitian dihentikan dan dialihkan ke penelitian timah di Riau. Dalam beberapa bulan kemudian muncul banyak laporan tentang keberadaan emas di wilayah Jampang, meskipun kemudian dipertanyakan oleh Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda) dan dibantah oleh pemerintah.
"Sepertinya Belanda juga menangani setiap informasi emas ini secara rahasia dan menghindari perebutan lahan tambang." ujar Irman yang kini Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.
Pada April 1924, muncul laporan ilmiah berjudul "Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs" mengenai urat emas Jampang yang menyebutkan emas Jampang sama jenisnya dengan emas di Rejang Lebong dan Tambang Sawah. Hal ini akhirnya menimbulkan semangat baru sehingga beberapa perusahaan swasta mendaftar untuk melakukan eksplorasi.
Wacana terus berkembang di mana laporan-laporan menyebutkan pula temuan bijih perak, sulfida, seng, dan lain-lain, menguatkan kualitas emas Jampang yang layak untuk ditambang. Di lahan seluas 1 kilometer x 1,5 kilometer, selain emas, bijih dari sampel mengandung tembaga dan timbal yang bisa dilebur.
Pemerintah lalu mengumumkan melakukan eksplorasi di area seluas 900 hektare di wilayah Jampangkulon. Pada 16 September 1924, pemerintah mengeluarkan keputusan Nomor 10 (Staatsblad 418) dan dijelaskan lebih lanjut pada bagian Nomor 16 dari laporan berjudul: Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs (Hasil Investigasi Geologi Pertambangan di Jampang).
Pemerintah kemudian meminta pihak yang ingin melakukan eksplorasi untuk melakukan penawaran sebelum 1 Juni 1925 di kantor Kepala Dinas Pertambangan di Departemen Perusahaan Pemerintah di Bandung. Ditetapkan pula pertambangan emas, perak, timah, seng, tembaga, besi, dan belerang akan dilakukan oleh pemerintah dengan luas 900 hektare berlokasi di Jampangkulon dan Palabuhanratu.
Baca Juga: Tersebar di Beberapa Kecamatan, Hasil Tambang Emas Pajampangan Dijual Kemana?
Menindaklanjuti keputusan ini, sekretaris gubernur mengirimkan surat edaran berikut pada hari yang sama dengan Nomor 2068a/111.8. Disebutkan bahwa tanah di divisi Soekaboemi van Landswege, eksplorasi emas, perak, timah, seng, tembaga, besi dan belerang akan dilakukan, sedangkan cadangan untuk eksplorasi dan reklamasi oleh pemerintah mengenai mineral-mineral tersebut di atas belum ditentukan kecuali untuk wilayah tersebut.
Sehubungan dengan itu, gubernur jenderal telah menginstruksikan bahwa dia juga dapat menyetujui keputusan itu dan akan melakukan tender.
"Dalam Pasal 1 dari situs yang disebutkan setelah publikasi panggilan untuk tender. Panggilan untuk tender dikeluarkan dan misi ditunjuk untuk membuka tender pencarian dan eksploitasi mineral di Jampang. Pembukaan tender berlangsung pada tanggal 2 Juni 1925," ujar Irman.
Awalnya banyak perusahaan tambang besar yang akan mengikuti tender seperti BillitonMij dan perusahaan Erdmann & Sielcken. Namun pemerintah sedikit protektif dan mengharapkan persentase yang cukup.
Pada Desember 1925, terpilihlah satu-satunya kandidat Yaitu NV. Algemeene Industrieele Mjjnbouw en Exploitatie Maatschappij (AIMEM) yang didirikan di Batavia.
Perjanjian yang akan disimpulkan dilakukan berdasarkan kontrak penerimaan yang diketahui, di mana negara dijamin dengan bagian minimal 10 persen dari hasil bersih yang dapat meningkat menjadi 20 persen jika sudah beroperasi. Kontrak ditandatangani pada 22 Februari 1926 oleh W. L, Kramers sebagai pemegang konsesi AIMEM.
Kontrak tersebut berisi mengenai eksplorasi dan pertambangan emas, perak, timah, seng, tembaga, besi, dan belerang, dalam batas yang ditentukan dalam Pasal 1 Keputusan Pemerintah tanggal 16 September 1924 Nomor 24. Lahan yang ditetapkan pemerintah untuk reklamasi bahan galian ini terletak di Kecamatan Palaboehan dan Djampang-Koelon Kabupaten Soekaboemi Kediaman Buitenzorg Provinsi Jawa Barat.
Irman mengatakan hampir 10 tahun perusahaan ini melakukan penambangan, namun hasilnya tidak memuaskan. Secara hitungan bisnis emas tersebut kadarnya tidaklah menguntungkan sehingga pada Juli 1935 izin dikembalikan ke pemerintah dan penambangan resmi dihentikan.
Dari tanggal yang disebutkan, kontrak dengan pemerintah berdasarkan Pasal 5a Undang-Undang Pertambangan India untuk eksplorasi dan pengembangan mineral-mineral di wilayah tersebut yang telah dicadangkan untuk eksplorasi dan pengembangan oleh pemerintah, akhirnya dihentikan. Tambang kemudian ditinggalkan begitu saja, sedangkan AIMEM melanjutkan proyek tambang di wilayah lain.
"Pemerintah akhirnya lebih fokus kepada tambang emas di Cikotok yang aksesnya bisa dilakukan melalui Sukabumi. Bekas tambang Ciemas sendiri kemudian menjadi lokasi penambangan tradisional yang ditambang oleh masyarakat dan disebut gurandil. Meskipun secara bisnis bagi perusahaan besar dianggap tidak menguntungkan, tetapi oleh masyarakat kecil dianggap berkah karena bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Karena diperkirakan masih banyak wilayah Sukabumi yang mempunyai kandungan emas, maka tak heran jika hingga kini masih banyak masyarakat yang menyebar dan menjadi gurandil, mengadu nasib sebagai penambang emas tradisional," kata Irman.
Cerita Gurandil di Ciemas Sukabumi
Melanjutkan catatan di awal tulisan ini, salah satu lokasi yang hingga kini mayoritas warganya sebagai gurandil adalah Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas. Selama ini mereka melakukan penambangan di atas lahan pribadi, perkebunan, bahkan di lahan milik Perhutani. Penduduk Desa Mekarjaya sudah turun-temurun melakukan aktivitas tambang emas tersebut, salah satunya Yusup (45 tahun).
Pada Rabu, 1 Maret 2023, reporter sukabumiupdate.com menemui Yusup di lokasi tambang di Kampung Pamoyanan, Desa Mekarjaya. Dia mengungkapkan kegiatan tambang emas di desanya sudah ada sejak dulu, bahkan Yusup telah mulai melakukan penambangan ketika remaja. "Kegiatan atau aktivitas penambangan ini sudah sejak dulu. Waktu saya masih remaja sudah mulai melakukan penambangan," kata dia.
Hampir 80 persen, kata Yusup, warga Desa Mekarjaya menggantungkan hidupya pada hasil tambang meski harus bertaruh nyawa, selain bertani. Dia menyebut ada ribuan lubang tambang emas yang saat ini tersebar di wilayah Desa Mekarjaya. Sebagian besar dari lubang-lubang itu digarap di atas lahan milik pribadi dan diproduksi di tempat, tetapi ada pula yang diproduksi di rumah. Sementara lubang tambang yang lain, sebagian digarap di lahan Perhutani yang sudah tidak produktif. Lahan ini dimanfaatkan oleh warga dengan skala kecil.
"Lahan-lahan yang ditambang kebanyakan milik pribadi, tapi ada juga milik perkebunan dan Perhutani yang sudah tidak produktif, dimanfaatkan oleh warga dan hanya skala kecil. Para gurandil atau penambang mengakui selama ini mereka tidak mengantongi izin tambang, namun kegiatan tersebut menjadi tumpuan hidup mereka, dan apa pun risikonya tidak akan berhenti melakukan kegiatan," ujar Yusup.
Tambang rakyat di Desa Mekarya sudah lama berjalan. Awalnya, para gurandil melakukan penambangan secara manual dengan membuat lubang dan turun langsung ke lubang tersebut untuk mengambil bahan emas, begitu juga pengolahannya. Walaupun cara ini dinilai kurang aman dan mengancam keselamatan.
Yusup mengatakan pada sekitar 1980, pengolahan emas masih menggunakan bahan kimia raksa atau merkuri (Hg) dengan sistem gulundung (bahas emas berupa bebatuan digiling sampai jadi lumpur). "Kalau bicara lama atau tidak lama, saya belum lahir juga sudah ada yang namanya gurandil. Baru pada 2012, menggunakan bahan kimia sianida (CN) dan karbon untuk pembakaran dengan sistem pengolahan direndam," kata dia.
Setiap lubang tambang emas yang dibuat masyarakat memiliki diameter satu meter dengan kedalaman mencapai kurang lebih 50 meter. Di dalam lubang tersebut terpasang lampu penerangan dan blower. Sementara di atas permukaan lubang diberi pasangan kayu dan bambu untuk menjaga keamanan.
"Di dalam (lubang) itu seperti terowongan. Awalnya dibuatkan lubang atau disebut sumuran. Setelah sumuran pertama sekitar 15 hingga 20 meter, lalu dibuatkan terowongan ke kiri dan ke kanan, lalu sumuran lagi, dan dibuatkan terowongan lagi. Di dalam itu ada dua sumuran. Jadi jumlahnya tiga sumuran dengan yang di permukaan tanah. Bisa memuat 13 atau 15 penambang," ujar Yusup.
Setiap satu lubang galian tambang bisa mempekerjakan 50 orang (satu shift) mulai penambang yang masuk ke lubang dan bagian pengolahan hingga menjadi bijih emas yang siap dijual.
Sementara jam kerja di dalam lubang dibagi menjadi dua waktu, di mana shift siang pukul 08.00 hingga 14.00 atau 15.00 WIB, dan dilanjutkan shift malam. Artinya, untuk satu lubang bisa mempekerjakan 100 orang (dua shift). Kondisi ini diakui atau tidak, bisa dibilang cukup memberikan penghasilan bagi warga yang tidak bekerja.