SUKABUMIUPDATE.com - Menyambut Hari Perempuan Internasional 2023 yang jatuh pada 8 Maret, Perempuan Mahardhika melakukan aksi serentak nasional. Aksi ini salah satunya di Museum Palagan Bojongkokosan, Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Minggu (5/3/2023).
Koordinator lapangan, Santi, mengatakan aksi tersebut menyuarakan perbaikan nasib atas situasi dunia kerja yang dinilai tidak manusiawi. Adapun gerakan ini, kata dia, awalnya ditandai dengan mobilisasi 15.000 buruh perempuan di New York pada 1908 untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam.
"Kita menuntut tentang buruh pabrik, upah yang layak. Kemudian kita juga menuntut hal jam kerja karena pada dasarnya kita ada target tapi tidak dihitung lembur, padahal kita kerja di luar dari delapan jam yang seharusnya. Tapi tidak dibayarkan dan dihitungkan," kata dia kepada sukabumiupdate.com.
Santi menyatakan kebijakan dan praktik fleksibilitas tenaga kerja yang ditempuh dengan penerapan sistem no work no pay (tidak kerja tidak dibayar) yang berjalan sangat masif pada sektor-sektor industri yang mayoritas pekerjanya perempuan, tidak masuk akal. Sebab buruh tidak bekerja bukan keinginan mereka.
"Sistem no work no pay, itu tidak masuk akal bagi kami karena ketika kami tidak bekerja, bukan kami yang tidak mau bekerja, perusahaan yang meliburkan. Tapi kami tidak dibayar, sedangkan kontraknya satu bulan, tapi kami dibayar harian," ujarnya.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional, Voice of Baceprot Rilis Lagu Not Public Property
Selain itu, Santi menjelaskan tindak kekerasan terhadap perempuan yang bukan hanya fisik. Namun secara verbal pun bisa menjadi tindak kekerasan. "Mungkin teman-teman ada yang belum tahu, kekerasan itu tidak hanya berupa pukulan, tapi juga kata-kata kasar, makian, dan mencaci. Itu kekerasan bentuk verbal," katanya.
Menurut Santi, pihaknya akan terus berupaya menindaklanjuti aksi yang dilakukan seperti hari ini. Tujuannya, mengimbau kaum perempuan untuk melawan terhadap tindak pelaku kekerasan sehingga kaum perempuan lebih diberdayakan dengan baik.
"Kami terus menyuarakan dan mengkampanyekan soal tindak pidana kekerasan seksual dan KDRT yang sering terjadi di pabrik. Kekerasan seksual dan pelecehan seksual yang dianggap biasa atas relasi kuasa, harus kita lawan agar perempuan tetap berdaya," kata Santi.
Lebih lanjut Santi mengungkapkan dampak yang terjadi pada korban pelecehan seksual baik secara perilaku maupun verbal.
"Dampaknya sampai tidak ada yang mau keluar rumah. Mungkin terlihat seperti sinetron, korban sudah merasa dirinya dilecehkan, kemudian lingkungannya pun mengatakan itu salah kamu. Korban jadi merasa oh ini salah saya. Jadi korban tidak mau keluar rumah takut disalahkan, takut lihat orang, padahal dia korban," ujarnya.
"Tidak hanya masalah baju, bukan suatu yang aneh di pabrik pakai kaus oblong, celana jeans, dan berkerudung. Apa yang salah, kenapa tetap dilecehkan, padahal bajunya juga biasa, bukan yang pakai baju terbuka," sambung dia.
Baca Juga: Aksi Hari Perempuan Internasional: Tolak RUU Ketahanan Keluarga
Perempuan Mahardhika menyatakan harapan ke depan yang mana sedang menggalang kekuatan bersama buruh-buruh pabrik untuk terus menyuarakan dan kampanye agar buruh-buruh pabrik bisa melawan pada penindasan dan kekerasan.
"Karena efeknya tidak hanya pada dirinya sendiri sebagai buruh pabrik, tapi juga pada keluarga dan lingkungannya. Dia di pabrik harus bekerja sebagai buruh dan di rumah dengan sistem patriarki harus mengerjakan tugas-tugas rumah," kata Santi.
Organisasi Perempuan Mahardhika sudah ada di berbagai kota salah satunya Sukabumi, di mana pusatnya ada di komite nasional, Jakarta. Sukabumi adalah salah satu cabang yang sudah berdiri selama dua tahun. Adapun jumlah anggota yang aktif sebagai pengurus lebih kurang 50 orang.