SUKABUMIUPDATE.com - Larung Laut, dan Larung Saji, merupakan satu tradisi warga Pajampangan, terutama yang berada dipesisir Pantai Selatan, Kabupaten Sukabumi, namun budaya turun temurun tersebut, kini hilang tergerus zaman.
Informasi dihimpun bahwa upacara Larung Saji, dan Larung Laut, dilaksanakan setiap tahun, terutama di Pantai Palabuhanratu, adapun Pantai Palangpang, Pantai Minajaya, serta Pantai Ujunggenteng, bertempat di Pantai Ujunggenteng, Kecamatan Ciracap. Upacara tersebut dilaksanakan pada hari jadi nelayan, yang terakhir dilakukan pada tahun 2008.
Acara Larung Saji, atau Larung Sajen, sesajen utama disimpan pada wadah disebut jampana, ada kepala kerbau yang dihias. Tanduk digantungan kembang sedap malam, telinganya pakai anting, kepalanya pakai mahkota, dan dibelakang jampana ada dongdang. Dongdang berisi baju kabaya, sarung (sinjang kebat), bedak Pohaci, minyak wangi, hasil bumi, serta makanan.
Baca Juga: Hari Nelayan Palabuhanratu Butuh Dukungan Anggaran, Ini Langkah DPRD Sukabumi
"Tradisi Larung Laut dan Larung Saji merupakan tradisi yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam berupa tangkapan ikan untuk nelayan selain itu juga hasil panen pertanian dan peternakan. Tak hanya sebagai wujud syukur saja, teradisi ini juga dimaksudkan untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT. Harapannya agar mereka selalu diberi keselamatan saat melaut, dan tetap diberikan hasil laut yang melimpah dan berkah," ucap Ustad M. Solehudin Pimpinan Yayasan Sri Manggala Nusantara kepada Sukabumiupdate.com. Kamis (02/03/2023).
Solehudin menerangkan bahwa dalam prosesi Larung Laut pun tidak dilakukan sembarangan, prosesi ini diawali dengan pembacaan doa juga diungkapkan pula harapan supaya mendapatkan hasil yang baik tanpa adanya halangan, wabah, dan juga musibah.
Dalam acara Larung Laut dan Larung Saji, ada ritual yang bernama Mepes Laut yang diambil dari kata “mepes” berarti meredam, yang dimaksud disini meredam ombak tinggi, agar yang hendak berangkat diselamatkan dan yang hilang atau tersesat dikembalikan dan laut sebagai unsur kehidupan adalah upaya memohon kepada Allah SWT.
Baca Juga: Lestarikan Budaya, Disbudpora Sukabumi Dukung Event Hari Nelayan Palabuhanratu
"Yang menarik dari Mepes Laut ini ialah logika mengembalikan sesuatu dengan bagian serupa, seperti gula kelapa ditabur kelapa ketika sedang dimasak air niranya meluap dan yang berlaku pada ombak tinggi dipercaya untuk menaburkan garam," ungkapnya.
Begitu juga Larung Saji, Kata Solehudin diambil dari kata "Larung" yang berarti menghanyutkan dan "Saji" yang berarti hidangan adalah ritual memberi sejumlah makanan mentah atau matang, untuk disajikan sebagai rasa syukur dan adab manusia terhadap laut yang sudah memberikan kehidupan.
"Kegiatan upacara larung laut, dan larung saji, memang sudah tidak ada, namun isi dan makna tradisi tersebut, kami terapkan dalam kehidupan sehari hari. Alhamdulilah ada teman teman yang sudi membuat film dokumenter," imbuhnya.
Baca Juga: Warga Resah! Buaya di Situ Cikalapa Surade Sukabumi Ancam Nelayan dan Wisatawan
Sementara S. Sophiyah, selaku Director Artistic mengatakan dalam film dokumenter tersebut mengambil judul "Nganteuran Sagara" atau menghantarkan laut. Karya yang berdasar dari upaya menghadirkan dan mengeksplorasi ulang narasi subtitusi pangan yang saling menyokong dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur serta permohonan keselamatan yang ada diarea laut selatan Sukabumi.
"Proses melihat relasi pangan yang kompleks terbentuk dari kesadaran masyarakat akan kondisi alam yang dinamis dan kami mencoba menghadirkannya dalam rangkaian peristiwa budaya yang dijahit ke dalam bentuk film dokumenter untuk memperlihatkan element-element akan relasi pangan, pemanfaatan ruang dan siasat mengolah lahan, tubuh, alat dan ritus dalam konteks kehidupan masyarakat Selatan Sukabumi. Kami juga melibatkan para budayawan dari Jampangkulon, Surade, salah satunya sebagai narasumber Pih Baban dari Surade," pungkasnya.