SUKABUMIUPDATE.com - Mendengar nama Denuh, bagi warga Tegalbuleud, sudah pasti identik dengan keberadaan banjir langganan. Banjir yang setiap tahun terjadi melanda beberapa kawasan persawahan. Namun dibalik nama Denuh, terdapat misteri dan cerita mistis yang tersebar secara turun temurun dan diyakini warga sekitar.
Denuh, awalnya merupakan nama sebuah hutan belantara di Tegalbuleud. Leuweung Denuh yang sekarang lokasinya terletak di Kampung Citapen Desa Buniasih, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi.
Tokoh masyarakat Tegalbuleud, H. Hulaemi (93 tahun) mengisahkan pengalamannya kepada Sukabumiupdate.com. Menurutnya, pada tahun 1961, dimana terjadi transmigrasi dari Kuningan ke Sukabumi, yakni ke Tegalbuleud. "Saat itu kami, ikut orangtua, dan warga lainnya sebanyak 303 jiwa. Dan membuka wilayah Tegalbuleud," terangnya, Kamis (23/2/2023).
Hulaemi menyebutkan, pada pembukaan lahan pertanian saat itu, di tengah belantara Leuweng Denuh, terdapat hutan dengan dataran tinggi atau bukit, yang kemudian disebut Hunyur Laki.
Baca Juga: Misteri Mbak Ayu, Penghuni Tegal Si Awat-awat di Leuweung Hideung Cibitung Sukabumi
"tidak tahu pasti terkait cerita penamaan Leuweng Denuh dan Hunyur Laki, karena saat menginjakan kaki dilokasi tersebut sudah disebut Leuweng Denuh dan Hunyur Laki," jelasnya.
Terkait dengan penamaan Leuweung Denuh, Hulaemi menuturkan, Denuh mungkin dinisbatkan pada nama orang bernama "Den Nuh", ada juga yang menisbatkan dengan "pinuh cai" (air penuh) yang memang Leuweung Denuh merupakan kawasan hutan belantara yang penuh dengan rawa-rawa.
"saat itu jarang terjamah sama orang, selain angker, penuh dengan pohon-pohon besar, tempat bersembunyi sapi atau kerbau hutan, juga disekelilingnya dipagar sama pohon pinang, yang disebut Jambe Salawe," beber Hulaemi.
Tidak hanya itu, menurut Hulaemi tiap waktu salat, dari Leuweung Denuh sering terdengar suara yang adzan, kadang suara laki laki, kadang suara perempuan. Pada malam jumat, dan selasa terdengar pengajian, dakwah serta pada malam minggunya terdengar gamelan dan pentas wayang golek dari arah Leuweung Denuh. Itu terjadi pada pukul 23.00 WIB, hingga pukul 04.00 WIB, dan semua warga pada saat itu sudah tidak aneh lagi, karena sudah rutin mendengarnya.
Baca Juga: Misteri Goa Pojok Lawang, Saudara Ketiga Goa Kutamaneuh dan Situ Kubang Sukabumi
Pada usia 29 tahun, sambung Hulaemi, dirinya bersama kakak kandungnya pernah masuk ke Leuweng Denuh. Namun disana tidak menemukan apa-apa, hanya pohon besar dan rawa serta bukit atau yang disebut Hunyur Laki.
Kemudian, pada tahun 1965 - 1966, tambah Hulaemi terjadilah pembukaan Leuweng Denuh, yang dijadikan lahan pertanian berupa sawah, namun Hunyur Laki tidak dibuka. Pada saat pembukaan tidak ditemukan apa apa, bahkan sekawanan kerbau atau sapi yang biasa terlihat (dengan nama Si Layung, Si Reek, Si Mega, Kebodongkol), juga tidak ada.
"baru setelah pembukaan hutan, maka terjadilah hal-hal yang aneh, sering ditemukan oleh warga. Seperti warga banyak yang linglung (nyasar), ada juga ketemu pohon besar, ada yang menemukan bedug, bahkan mesin traktor milik warga rusak saat disimpan di Hunyur Laki," katanya.
Namun yang jelas, beber Hulaemi, setelah pembukaan Leuweng Denuh, maka sering terjadi banjir hingga berhari hari, saat turun hujan dan luapan dari Sungai Ciparanje.
Baca Juga: 13 Fakta Goa Kutamaneuh Sukabumi, Peristirahatan Prabu Siliwangi Sampai Johny Indo
"namun anehnya, area Hunyur Laki tidak pernah terendam, seperti mengapung. Wallahualam bish-shawab," cetusnya.
Hulaemi menceritakan, misteri Leuweng Denuh masih berhubungan dengan Leuweng Hideung, dan menurut cerita orangtua dulu, sangat erat hubungannya dengan kerajaan Pajajaran, bahkan ada cerita bahwa Tegalbuleud akan menjadi kota bungsu," pungkasnya.