SUKABUMIUPDATE.com - Penyegelan madrasah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kampung Parakansalak RT 02/02 Desa Parakansalak, Kecamatan Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, Jumat, 10 Februari 2023, bukan kali pertama dialami jemaah ini dalam konteks kecaman kegiatan keagamaan.
Penyegelan dilakukan lantaran madrasah yang sedang dibangun tersebut belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada 2008, masjid JAI yang sudah berdiri sejak 1975 di kampung itu juga rusak dibakar.
Tak lama setelah penyegelan, Humas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) JAI Sukabumi, Muharram (58 tahun), mendatangi kantor JAI Parakansalak. Kedatangannya untuk bersilaturahmi sekaligus mengecek kondisi anggota pascapenyegelan madrasah yang semula akan dijadikan tempat belajar anak-anak anggota JAI tersebut.
Muharram memastikan pengurus dan anggota JAI Parakansalak saat ini dalam kondisi sehat. Namun, dia mengaku prihatin dan sedih atas adanya penyegelan itu.
"Menyikapi disegelnya ini, tentu merasa prihatin dan sedih, baik secara manusiawi maupun selaku umat beragama. Dia (tempat) yang akan dijadikan lembaga pendidikan dan kehancuran masjid yang selama ini dijadikan tempat ibadah," kata Muharram kepada sukabumiupdate.com di tempat JAI Parakansalak, Senin, 13 Februari 2023.
Baca Juga: Tanpa Izin, Pembangunan Madrasah Ahmadiyah Parakansalak di Segel Pol PP Sukabumi
Terkait belum terbitnya IMB, Muharram mengungkapkan pihaknya menerima surat teguran dari Bupati Sukabumi Marwan Hamami pada Jumat, 3 Februari 2023. Surat teguran ini singkatnya berisi arahan bagi JAI Parakansalak untuk segera menempuh perizinan IMB dalam waktu tujuh hari setelah surat tersebut diterima.
Muharram mempertanyakan tindakan penyegelan yang dilakukan pada 10 Februari 2023 atau sepekan setelah surat teguran diterima. Sebab, kata dia, proses pembuatan IMB memerlukan waktu.
"Masa hari Jumat baru dikeluarkan surat (3 Februari), Jumat depannya sudah disegel. Harusnya Sabtu dan Minggu (4 dan 5 Februari) hitungannya libur. Biasanya tidak dihitung. Kita kan perlu proses, lewat online saja tidak langsung. Kita izin aja sudah ada niat baik, sesuai arahan surat yang akan kita tempuh. Tapi kenapa malah disegel," ujar Muharram.
"Kita beli material semen sudah kena pajak, diberikan ke negara. Saat kita mau bangun, kenapa dipersulit. Bukan kita tidak menempuh izin. Kita juga tahu aturan," imbuh dia.
"Kita sudah mulai online, bagaimanapun namanya izin tidak seperti kisah sangkuriang. Kenapa diberi waktu singkat. Merasa kurang adil aja. Kita sudah menghargai sebagai warga negara untuk mengurus izin," ujar Muharram.
Muharram kemudian menyinggung pembakaran masjid tempat beribadah JAI di Parakansalak bernama Masjid Al-Furqon pada 27 April 2008.
Menurut dia, pembakaran tersebut bukan dilatarbelakangi ketidaksukaan terhadap JAI, melainkan ketidakpahaman pihak tertentu. Alhasil, sambung Muharram, bukan jalan silaturahmi yang dilakukan, namun mengarah kepada tindakan-tindakan anarkis yang berujung pada pembakaran masjid. Pemberitaan pembakaran masjid JAI ini tersebar hingga nasional bahkan dunia.
Meski polisi menetapkan beberapa tersangka atas pembakaran masjid yang hingga saat ini belum kembali direnovasi itu, tetapi Muharram menyebut para pelaku tidak ditahan.
"Bagaimana kita mengamalkan sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Sementara kita mengenal Tuhan kita itu dengan cara ibadah, dengan cara salat. Jadi kita mengenal Tuhan kita dengan salat. Salatnya itu di mesjid, sedangkan masjidnya dibakar oknum," kata dia.
Baca Juga: Warga Syiah dan Ahmadiyah Akan Diafirmasi Menteri Agama
Muharram menduga sebelum aksi pembakaran masjid terjadi, pemerintah setempat seolah membiarkan. Sikap pemerintah ini ditudingnya hanya berdasarkan asumsi terhadap kegiatan keagamaan Ahmadiyah serta tekanan dan opini masyarakat.
Sementara sekarang tindakan serupa yakni dalam hal aktivitas keagamaan, berlanjut kepada penyegelan madrasah. Padahal secara undang-undang, kata Muharram, warga negara Indonesia khususnya anak-anak, berhak mendapatkan pendidikan layak, salah satunya lewat adanya madrasah.
"Sekarang berlanjut ke madrasah. Secara undang-undang, warga negara Indonesia atau anak-anak Indonesia, seharusnya diberikan pendidikan layak. Sementara untuk mendapatkan pendidikan layak, harus didukung sarana pendidikan yang bagus," ujarnya.
"Kita tidak meminta bantuan pemerintah. Ini asli udunan (urunan) dari Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Kita tidak biasa menerima bantuan itu," imbuh Muharram.
Ditanya berapa jumlah anggota JAI di Parakansalak saat ini, Muharram hanya menjawab jumlah banyak tanpa menyebutkan angka spesifik. Ini karena dia khawair jemaahnya didatangi.
"Saya tidak berani nyebut jumlah, tapi ada banyak. Sekolah ini (madrasah) dibangun biaya sendiri. Saat kita diminta mengurus izin, bukan berati kita mengabaikan. Kita orang Ahmadiyah se-dunia atau se-Indonesia itu taat aturan. Tapi ketika kita urus-urus izin, pada akhirnya tidak dibantu," katanya.
Ketua JAI Parakansalak, Asep Saepudin (74 tahun), mengatakan pihaknya taat kepada aparat dan peraturan pemerintah soal penyegelan itu. Namun, ketika penyegelan madrasah dilakukan, kata Asep, pihak-pihak yang menyegel tidak menjelaskan tindakan tersebut.
"Malah datangnya seperti mengulur (waktu). Kami tidak tahu maksud kedatangan mereka. Kami tidak tahu karena tidak ada konfirmasi atau pemberitahuan terlebih dahulu. Tujuannya kalau ada pemberitahuan, masyarakat perlu diamankan. Itu datang menyegel begitu saja tanpa ada pemberitahuan. Kalau bagi kami, mau lisan atau tulisan, dianggap benar yang penting yang memberi tahu aparat, bukan warga biasa," ujar Asep.
Baca Juga: PBNU Minta Menteri Agama Klarifikasi Soal akan Afirmasi Syiah dan Ahmadiyah
Jika penyegelan madrasah bermasalah pada IMB, Asep menyebut itu peluang bagi JAI untuk mengetahui lebih detail soal izin tersebut. Sebab, kata dia, tidak ada sosialisasi terkait IMB di Parakansalak yang dilakukan, bahkan oleh pemerintah setempat.
Asep tetap menghargai tindakan penyegelan meski masih banyak bertanya lantaran tidak sesuai surat teguran yang disampaikan Bupati Sukabumi dalam hal durasi waktu untuk menempuh perizinan IMB yakni selama tujuh hari, terhitung sejak 3 Februari 2023.
"Terhitung tujuh hari kerja atau tujuh hari kalender. Perwakilan kecamatan yang mengantarkan surat. Saat saya tanya tentang itu, tidak bisa menjelaskan. Seharusnya ada penjelasan karena ada kalimat yang belum paham," kata Asep.
Menurut Asep, pihaknya menerima surat teguran pada Jumat, 3 Februari 2023 sekira pukul 16.00 WIB, dititipkan kepada pihak kecamatan. Surat tersebut berisi tentang penghentian pembangunan, baik itu sarana ibadah maupun kegiatan keagaamaan JAI Parakansalak.
"Kronologi awal, 26 Februari. Sebetulnya dari pihak kecamatan mengimbau untuk menghentikan kegiatan kami. Dasarnya dari MUI, Pergub, kepala desa, dan PWNU Parakannsalak. Semuanya menolak pembangunan ini. Padahal kita sudah menghentikan pembangunan karena dianggap selesai. Tahunya, seminggu kemudian berlanjut dengan adanya kirim surat dari bupati. Dikira sudah selesai. Setelah kami hentikan pembangunan, tidak tahunya ada masalah lagi," ujarnya.
Asep menduga ada yang mendesak Bupati Sukabumi untuk membawa persoalan pendirian madrasah JAI ini ke rapat unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang berujung pada keputusan penyegelan. Padahal isi surat bupati hanya peringatan untuk menghentikan kegiatan, baik pembangunan tempat ibadah maupun sarana keagamaan.
Kemudian poin lain dari surat tersebut adalah soal arahan untuk menempuh perizinan dalam membangun madrasah dengan waktu tujuh hari.
"Isi suratnya itu peringatan, lalu poin kedua dari surat itu harus menempuh izin. Bila tidak dilaksanakan, dalam jangka waktu dekat yaitu tujuh hari, surat tersebut menegaskan akan melaksanakan tindakan. Padahal kami sudah menghentikan kegiatan, baik pembangunan dan yang lainnya," kata Asep.
Baca Juga: Menteri Agama Jelaskan Soal Perlindungan Terhadap Ahmadiyah dan Syiah
Asep mengaku pihaknya sudah meminta toleransi supaya instruksi penghentian pembangunan ditunda satu hari karena pihak JAI Parakansalak sudah membeli bahan material bangunan untuk mengecor madrasah tersebut.
"Hari Jumat ada surat, nah Minggu atau dua hari ke depan kita sudah berencana mau ngecor. Alat dan bahan sudah beli, jadi mau kita percepat besoknya. Tapi tidak ada persetujuan sehingga tetap dihentikan. Malah sampai dibahas di Forkopimda," ujarnya.
Asep menegaskan JAI memiliki hak asasi manusia yang sama sehingga merasa terintimidasi. "Jadi akan ada langkah hukum yang tengah diupayakan. Kita lagi konsultasi ke pemerintah pusat. Kita sebagai warga negara ada langkah-langkah, terutama lebih ke mengedukasi," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, penyegelan madrasah milik JAI dilakukan berdasarkan hasil rapat Forkopimda Kabupaten Sukabumi pada Rabu, 1 Februari 2023.
Rapat di Pendopo Sukabumi itu dihadiri Muspida Kabupaten Sukabumi. Ketua Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem) dan Kejaksaan Negeri (Kajari) mengusulkan bangunan tersebut untuk disegel dan seluruh peserta rapat menyetujuinya.
Kepala Satpol PP Kabupaten Sukabumi Dodi Rukman Meidianto mengatakan madrasah tersebut dibangun tanpa adanya izin sesuai aturan yang berlaku sehingga bangunan sarana keagamaan aliran JAI Parakansalak disegel pada Jumat, 10 Februari 2023 sekira pukul 10.00 WIB.
"Pada saat proses penyegelan berjalan lancar, hanya berjalan sekitar setengah jam. Kami masih toleran, karena harusnya bangunan dihancurkan, tapi kami hanya menyegel bangunan saja, terlebih jika masih ada kegiatan JAI di area tersebut, kami akan melakukan tindakan yang lebih tegas," kata Dodi ketika itu.
Dodi menjelaskan saat di lokasi, penyidik melaksanakan koordinasi pra-giat dan selanjutnya pada waktu yang telah ditentukan menghadirkan pengurus lingkungan, unsur Forkopimcam, dan disaksikan oleh kerumunan orang di area serta dapat dipastikan adalah dari komunitas JAI.
"Banyak unsur yang menyaksikan, adapun yang melaksanakan penyegelan yaitu Satpol PP Kabupaten, menggunakan Pol PP line. Kemudian selain melalui hasil rapat, aksi penyegelan ini adalah satu bentuk tindak lanjut atas keresahan masyarakat terhadap kegiatan keagaaman JAI," ungkapnya.
Menurut Dodi, sebelumnya mereka telah mengajukan izin untuk mendirikan bangunan tersebut, namun izinnya tidak kunjung keluar dari pemerintah daerah. "Jika izinnya keluar pada Jumat kemarin, maka Pol PP line akan kami cabut kembali. Jadi bangunan itu tanpa izin, seharunya kan izin dulu baru nge-bangun" katanya.
Ahmadiyah di Indonesia
Ada beberapa ketentuan yang mengatur keberadaaan Ahmadiyah di Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2025 yang sudah mengeluarkan fatwa soal Ahmadiyah. Fatwa bernomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah ini memutuskan beberapa hal.
Pertama, menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Kedua, bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Ketiga, Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Baca Juga: Jemaah Ahmadiyah di Parakansalak Sukabumi Lapor ke Komnas HAM
Kemudian ada pula Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
SKB yang ditetapkan di Jakarta pada 9 Juni 2008 tersebut juga menetapkan beberapa hal.
KESATU: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
KEDUA: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
KETIGA: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
KEEMPAT: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
KELIMA: Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEENAM: Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
KETUJUH: Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.