SUKABUMIUPDATE.com - Sukabumi menjadi lokasi perlawanan pribumi terhadap Inggris yang mengakibatkan tank legendaris Perang Dunia II hancur. Letnan Kolonel Eddie Soekardi menjadi aktor dalam kisah itu. Awal 2021, sukabumiupdate.com pernah menulis ini. Namun, tak ada salahnya kembali membaca perlawanan tersebut.
Eddie layak bangga lantaran sebagai Komandan Resimen III TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang membawahi Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, pada 1945-1946, berhasil menyusun strategi yang membuat tentara Inggris (berpengalaman di palagan Burma, Malaya, dan Singapura) kocar-kacir di sepanjang jalur Bojongkokosan, Sukabumi, Cianjur, pada Desember 1945 dan Maret 1946.
Dilansir dari Historia, peristiwa itu membuat Inggris mengalami kekalahan parah dan menyebabkan ratusan serdadunya gugur, luka-luka, hingga 150 kendaraan tempur mereka hancur (termasuk tank Sherman yang legendaris dalam Perang Dunia II).
Baca Juga: Membaca Kembali Kisah Cibadak Sukabumi yang Hancur oleh Bom Pesawat Inggris
April 2014, Eddie menuturkan taktik hit and run dan pengarahan sniper di sepanjang jalur peperangan menjadi strategi yang digunakannya dalam melawan Inggris. Bahkan dalam suatu pertempuran, salah satu pimpinan batalion Inggris berhasil ditewaskan.
Apa yang dikatakan Eddie selaras dengan catatan dalam buku "The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division" karya Kolonel AJF Doulton. Dalam buku tersebut Doulton bercerita tentang seramnya "neraka Sukabumi-Cianjur bagi militer Inggris". "Inilah Perang Jawa sesungguhnya bagi kami," tulis Doulton.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengungkapkan Eddie yang merupakan putra RH Didi Sukardi adalah lulusan Pembela Tanah Air (PETA) Bogor yang kemudian ditempatkan di Palabuhanratu.
"Sesudah proklamasi beliau menjadi Wakil Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR). Lalu menjadi ketua BKR dan terlibat dalam pengambilalihan kekuasaan di Sukabumi. Saat itu Inggris mengalihkan jalur perbekalan lewat Sukabumi karena diserang di Jalur Cikampek," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Baca Juga: Angan Bung Karno di Sukabumi: Sulap Palabuhanratu Jadi Las Vegas Indonesia
Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi TKR. Setelah mengalami beberapa kali perubahan nama, akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" mengatakan Perang Konvoi melawan Inggris tersebut sebenarnya berlangsung selama dua kali yakni pada Desember 1945 dan Maret 1946.
Salah satu penyebab terjadinya Perang Konvoi I adalah karena Inggris tidak melibatkan TKR dalam mengembalikan para tawanan dan perbekalan. Padahal sebelumnya Inggris dan Indonesia bersepakat akan melibatkan TKR dalam pengembalian tawanan dan perbekalan tersebut.
Irman mengatakan yang dimaksud para tawanan adalah orang-orang Eropa yang sebelumnya ditahan oleh Jepang.
"Saat Jepang kalah, namun sekutu belum datang, para tawanan masih di bawah pengawasan Jepang dan sebagian di bawah pengawasan pemerintah setempat. Nah dalam pengembalian tawanan itu, sayangnya Inggris tidak mematuhi kesepakatan dan main kirim-kirim saja melewati area kekuasaan TKR. Bahkan mereka sempat pula mengambil tawanan di Ubrug tanpa sepengetahuan TKR dan pemerintah setempat," kata Irman.
Sementara penyebab Perang Konvoi II adalah untuk mencegah Bandung dikuasai Inggris.
Baca Juga: Membongkar Sejarah Nayor di Cibadak, Topik Skripsi Mahasiswa Asal Sukabumi
Irman juga merinci titik yang menjadi lokasi Perang Konvoi. Ia mengatakan Perang Konvoi I terjadi di Bojongkokosan, Kampung Ongkrak Pamuruyan, Karangtengah Cibadak, Degung Kota Sukabumi, dan Sukaraja. Sementara Perang Konvoi II terjadi di Kampung Ongkrak Pamuruyan, Cikukulu, Degung Kota Sukabumi, Sukaraja, Gekbrong Cianjur, Cikaret, dan Ciranjang.
"Saat Perang Konvoi I Cibadak dibombardir pesawat Inggris," ujarnya.
Selain di Sukabumi, pasukan Inggris juga dibuat tidak berdaya di Cianjur. Soeroso disebut menjadi pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Batalion 3/3 Gurkha Rifles (kesatuan elite militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha) dari Bandung ke Sukabumi.
Bersama gerilyawan lain dari Batalion 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Pesindo, Lasykar BBRI atau Barisan Banteng Republik Indonesia cabang Cianjur-Sukabumi pimpinan Soeroso menyerang Batalion 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat tank Sherman, panser Wagon, brencarrier, dan sejumlah truk berisi pasukan.
Meskipun hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan sejumlah pucuk senjata, mereka berhasil melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet di sepanjang pusat kota Cianjur.
Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan dan mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur.
Baca Juga: Dua Wisatawan Tewas Tenggelam, Mbah Jalun dalam Sejarah Situ Gunung Sukabumi
Ketidakberdayaan salah satu satuan elite militer Inggris dalam Perang Dunia II tersebut menjadi bukti orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan. Eddie mencatat keberlangsungan perang itu dari perspektif tentara Indonesia.
Dalam Perang Konvoi Sukabumi-Cianjur 1946 tersebut, lelaki kelahiran Sukabumi pada 18 Februari 1916 ini menulis bahwa faktor paling signifikan yang menyebabkan unggulnya TKR dan lasykar adalah semangat tinggi dan bantuan rakyat.
Setelah menaklukan Inggris di Sukabumi, karier militer Eddie melejit. Selepas menjabat Kepala Staf Brigade Guntur di Tasikmalaya, dia didapuk menjadi Komandan Brigade 14 Divisi Siliwangi dan sukses memadamkan perlawanan Front Demokrasi Rakyat Partai Komunis Indonesia atau FDR PKI di Kedu, Jawa Tengah.
Namun sayang, saat kembali ke Jawa Barat pascalong march Divisi Siliwangi pada 1948, Eddie ditangkap oleh militer Belanda di Ciamis.
Penangkapan tersebut membuat heboh Divisi Siliwangi dan Markas Besar TNI di Yogyakarta. Namun menurut versi buku "Siliwangi dari Masa ke Masa", Eddie sebenarnya tidak ditangkap, tetapi secara sepihak tanpa koordinasi dengan Panglima Divisi dan pimpinan TNI melakukan gencatan senjata dengan militer Belanda di Ciamis.
Selepas perang, Eddie sempat menjadi panglima di Kalimantan. Namun dia mengakhiri kariernya sebagai tentara pada 1957 dengan pangkat kolonel. Selanjutnya dia banyak berkiprah di dunia bisnis.
Pada 5 September 2014, Eddie meninggal dunia di Bandung. Meskipun tidak banyak orang tahu mengenai perjuangannya, namun sejarah mencatat dia adalah salah satu komandan gerilyawan Indonesia yang disegani militer Inggris pada 1946.