SUKABUMIUPDATE.com - Kecantikan wanita Sukabumi bukan bahasan baru. Bahkan sejak dulu, keindahan paras perempuan dari daerah ini menjadi perbincangan. Tak jarang, keistimewaan tersebut juga justru memicu kontroversi, salah satunya dialami gadis Cikembar bernama Apun Gencay. Kecantikannya membutakan mata seorang ningrat yang menjabat Bupati Cianjur.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan kecantikan Apun Gencay konon menjadi pemicu terbunuhnya Raden Aria Wiratanudatar III. Kisah pembunuhan ini sebenarnya memiliki beberapa versi, salah satunya soal kisah cinta terlarang. "Yang tak banyak terungkap justru adalah sosok Apun Gencay-nya," kata Irman kepada sukabumiupdate.com beberapa waktu lalu.
Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" mengatakan tidak banyak sumber sejarah yang mencatat sosok Apun Geuncay. Menjadi wajar jika yang berkembang tentang Apuy Gencay kebanyakan fiktif dan dilebih-lebihkan. Nama Apun Gencay sendiri lebih banyak terabadikan lewat lakon drama, karya carita pondok, dan cerita lisan dari mulut ke mulut sebagai sosok legenda (bukan sejarah).
Baca Juga: Dua Wisatawan Tewas Tenggelam, Mbah Jalun dalam Sejarah Situ Gunung Sukabumi
Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare menuturkan Raden Aria Wiratanudatar III--cucu Raden Aria Wiratanudatar I-- diangkat menjadi Bupati Cianjur pada tahun 1707 (memerintah hingga 1726). Ketika itu, wilayah yang kini Sukabumi merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kadipaten Cianjur.
Nama asli Raden Aria Wiratanudatar III adalah Raden Astramanggala. Ia diangkat menjadi bupati pada 1707 saat ayahnya, Raden Aria Wiratanudatar II, meninggal dunia. Ketika Wiratanudatar III naik takhta, ibu kota Cianjur yang berada di Pamoyanan sudah mulai mundur. Maka strategi pertama Wiratanudatar III adalah memindahkan ibu kota dari Pamoyanan ke kampung Cianjur, sampai saat ini.
Raden Aria Wiratanudatar III termasuk bupati berprestasi dalam pandangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebab, ia selalu menyetor kopi yang terbesar ke VOC. Namun di Sukabumi, masa pemerintahan Wiratanudatar III diwarnai banyak pemberontakan petani, terutama di wilayah Jampang, akibat penerapan tanam paksa kapas dan kopi yang merugikan dan membuat petani tersiksa.
Baca Juga: Angan Bung Karno di Sukabumi: Sulap Palabuhanratu Jadi Las Vegas Indonesia
Irman menyebut setidaknya ada dua versi yang paling dikenal di balik kematian Raden Aria Wiratanudatar III. Pertama ia meninggal pada 1726 karena ditusuk condre (senjata kuno khas Sunda semacam belati) oleh pemberontak yang merasa menderita karena sistem tanam paksa. Salah satu pemicunya adalah kasus bayaran kopi pada VOC yang seharusnya 17,5 gulden, hanya dibayar 12,5 gulden. Sementara yang 5 gulden dipakai Raden Aria Wiratanudatar III.
"Satu versi lain soal kematian Raden Aria Wiratanudatar III adalah masalah cinta, yaitu berhubungan dengan Apun Gencay," kata Irman.
Apun Gencay dan Kematian Raden Aria Wiratanudatar III
Suatu ketika Raden Aria Wiratanudatar III mendengar di Cikembar (wilayah di Kabupaten Sukabumi), ada gadis cantik bak bidadari bernama Apun Gencay. Mendengar kabar itu, ia ingin membuktikannya sendiri. Setelah berhasil mengungkap kabar tersebut, Raden Aria Wiratanudatar III langsung jatuh cinta kepada Apun Gencay yang sebenarnya sudah memiliki kekasih yang berasal dari Citeureup, Bogor.
Dengan pengaruhnya sebagai bupati, Raden Aria Wiratanudatar III pun memaksa Apun Gencay agar bersedia menjadi istrinya. Apun Gencay dipanggil menghadap ke Pendopo. Yang tidak diketahui Raden Aria Wiratanudatar III, Apun datang bersama kekasihnya. Tak curiga, pendopo pun tidak ada siapa-siapa hanya Raden Aria Wiratanudatar III dengan saudaranya, Mas Purwa.
Baca Juga: Membaca Kembali Kisah Cibadak Sukabumi yang Hancur oleh Bom Pesawat Inggris
Semua yang ada di pendopo mengira Apun Gencay datang bersama pengiringnya, bukan sang kekasih. Ketika Apun Gencay dipanggil untuk mendekat, kekasihnya ikut mendekat dan dengan cepat menusuk Raden Aria Wiratanudatar III dengan condre sebanyak tiga kali. Bupati Cianjur itu tewas dengan isi perut berburai.
Sejarawan Sunda Gunawan Yusuf, kata Irman, menyebut peristiwa terbunuhnya Raden Aria Wiratanudatar III menumbuhkan luka yang mendalam hingga kini di hati orang-orang Cianjur, terutama keluarga para dalem. Begitu membekasnya, hingga sesepuh Cianjur "melarang keras" turunan Wiratanudatar untuk menyentuh condre dan pantang menikahi gadis Cikembar, Kabupaten Sukabumi.
Menurut sumber yang ia peroleh, Irman mengatakan kekasih Apun Gencay kemudian dibunuh dan badannya dipotong-potong oleh Mas Purwa dan para prajuritnya. Apun yang begitu mencintai pacarnya konon memunguti satu per satu potongan tubuh sang kekasih. Dalam linangan air mata, Apun melakukannya sambil meratap.
Ratapan itulah yang mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis kidung kematian yang tedapat dalam cerita pendeknya berjudul "Apun Gencay". Tidak jelas bagaimana nasib Apun Gencay pascapembunuhan itu. Ada yang mengatakan Apun berhasil lari kembali dan menyepi sampai akhir hayatnya di Cikembar.
Keturunan Wiratanudatar dan Apun Gencay
Dari peta pertigaan pasar Pangleseran tahun 1889, terlihat rumah Raden Enoh Soeramanggala. Rumahnya digambarkan dalam bentuk kotak hitam setelah jalan masuk kecil di antara lahan yang diarsir (sebelah lahan bertuliskan P). Menurut keluarga, lokasi rumah Raden Enoh Soeramanggala ada di area Boemi Soeramanggala, yang sekarang sedikit ke tengah. Dulu, rumahnya panggung kayu.
Raden Enoh Soeramanggala merupakan keturunan Raden Soeramanggala, putra alem Tarikolot (Wiratanudatar II), yang dalam silsilah keluarga bernama Ki Mas Bansadinata. Raden Soeramanggala merupakan adik Raden Aria Wiratanudatar III.
"Raden Soeramanggala kemudian tinggal di Cikembar. Entah ditugaskan di wilayah ini atau lainnya, namun kebiasaan saat itu, Cacah Wiratanu menyebarkan keluarganya di area Sukabumi Utara untuk mengatur administrasi wilayah," kata Irman.
Di Cikembar, Raden Soeramanggala mempunyai anak bernama Wirakusumah, yang kemudian memperistri Apun Gencay.
Wirakusumah dan Apun Gencay kemudian mempunyai anak bernama Kusumah Diningrat. Dari sana, Kusumah Diningrat juga memiliki anak bernama Puspanata. Selanjutnya Puspanata mempunyai anak Raden Orsom, yang dikenal masyarakat sebagai Wedana Cikembar dan terkenal di masa Kolonial.
"Kuburannya sekarang dianggap angker," kata Irman.
Melihat runutan tersebut, maka keturunan Soeramanggala dimungkinkan memiliki jabatan tertentu, semacam Cutak/Wedana di area Cikembar dan sekitarnya. Sebab, pada masa itu jabatan tertentu masih berupa keturunan.
Baca Juga: Setahun Dibuka, Wajah Baru Lapang Merdeka Sukabumi dan Kisah Berdirinya Hotel Victoria
Sementara Raden Orsom, memiliki putra yakni Raden Enoh Soeramanggala, yang memulai kembali menggunakan trah Soeramanggala dengan menduduki jabatan sebagai Lurah Parakanlima (sebelum pemekaran Desa Parakanlima yang cukup luas melingkupi Pangleseran) dan tinggal di Pangleseran di sekitar Boemi Soeramanggala saat ini. Salah satu anaknya yaitu Raden Asep Soerawigoena (Soeramanggala I) pun menduduki jabatan lurah Parakanlima, menggantikan sang ayah.
Irman menyebut Raden Asep Soerawigoena memperoleh predikat Loerah Bentang sebagai penghargaan pemerintah atas jasanya membuat saluran irigasi. Sementara 10 anak Raden Enoh Soeramanggala yang lain berprofesi cukup beragam, ada yang menjadi petani, pengusaha, dan pegawai pemerintah.
Rumah Raden Asep Soerawigoena masih di wilayah Pangleseran ke arah timur dari rumah Raden Enoh Soeramanggala. Rumah Raden Enoh Soeramanggala kemudian menjadi warisan keluarga. "Salah satu yang tinggal di sekitar situ adalah Raden Yaya Supriyadi (Soeramanggala XI), seorang pegawai kehutanan (buyutnya Omar).
Saat ini di area tersebut dibangun Boemi Soeramanggala untuk mengenang keberadaan trah keluarga Soeramanggala. Di sana disimpan sebagian koleksi barang-barang keluarga Soeramanggala. "Hal ini dimaksudkan supaya sejarahnya masih bisa digali dan peninggalan keluarga masih bisa dilihat dan dikunjungi," kata Irman.
Irman mengatakan kisah Apun Gencay juga dicatat dalam buku Belanda berjudul "Inlandsche Verhalen Van Den Regent Van Tjiandjoer" 1857, yang dirilis tahun 1857.