SUKABUMIUPDATE.com - Muhammad Widyanto, mahasiswa asal Sukabumi ini lulus cumlaude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,6 dari Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta. Uniknya, pemuda berusia 22 tahun itu memilih tema nayor--kendaraan tradisional khas Cibadak--sebagai bahan skripsinya.
Pria kelahiran Jakarta, 21 April 2000, tersebut sejak 2012 atau ketika lulus sekolah dasar (SD) tinggal di Kampung Kaum Kidul, RT 01/04 Nomor 18 Desa Karangtengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sudah lama Widyanto tertarik dengan dunia sejarah dan memiliki niat untuk mengangkat penelitian soal kendaraan nayor.
Pada 2022, niatan tersebut terwujud. Widyanto mengangkat topik soal nayor dalam skripsi berjudul "Sejarah Perkembangan Transportasi Nayor di Kabupaten Sukabumi dalam Upaya Pengembangan Karakter dan Ekonomi Kreatif pada Masa Orde Baru". Menurutnya topik ini penting apalagi dia sebagai warga Kecamatan Cibadak.
"Pertama karena saya memperhatikan Cibadak sebagai daerah dengan julukan Kota Nayor, namun kenyataannya nayor semakin sedikit dan terpinggirkan," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Rabu (4/1/2023).
Baca Juga: Kini Tersisa 9 Unit, Sejarah Nayor di Cibadak Sukabumi Sudah ada Sejak 1941
Alasan lain memilih nayor sebagai bahan risetnya, kata Widyanto, karena alat transportasi ini hanya ada di Kecamatan Cibadak, tak ada di wilayah lain di Indonesia. Berbeda dengan delman, keretek, dokar, dan lainnya. Dia juga mengungkap hasil penelitiannya di mana bengkel pembuatan nayor ada di sekitar Cibatu, Cibadak.
"Pembuatan nayor itu bengkelnya di daerah Cibatu, hanya ada seorang yaitu Pak Tata. Nah itu terakhir yang membuat nayor. Puncaknya tahun 80-an sampai ada 90 nayor, saking banyak dan eksisnya," ujar dia.
Namun Widyanto mengatakan nasib nayor saat ini tak sebagus dulu akibat pesatnya perkembangan teknologi transportasi. Kini, tersisa sekitar 11 nayor di Cibadak dan hanya sembilan yang masih beroperasi (tiga sampai empat nayor yang setiap hari menarik penumpang). Sembian nayor itu milik warga bernama Erah.
Baca Juga: Sisa 9, Asa Nayor di Cibadak Sukabumi di Tengah Hiruk Pikuk Transportasi Modern
Sementara dua nayor milik warga lain sudah tak beroperasi disebabkan usia yang telah tua alias pensiun dan para kusir yang memiliki sumber pendapatan lain. Sebab, Widyanto menyebut jika kusir-kusir itu mengandalkan penghasilan utama dari menarik nayor, sangat tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
"Makanya ada pekerjaan sampingan, karena tarif seikhlasnya (narik nayor). Dalam arti mereka mau bayar berapa aja, Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu, kecuali jauh," kata dia. "Tahun 2000-an masih banyak yang menggunakan, bahkan untuk anak sekolah pada masa itu nayor sudah menjadi kendaraan angkutan anak-anak," imbuh Widyanto.
Sejak 2000-an jumlah angkutan nayor mulai berkurang signifikan lantaran banyaknya angkutan perkotaan yang bermunculan di Cibadak. Puncak kondisi ini terjadi sekitar 2016 ketika pemerintah mendirikan Tugu Nayor sebagai simbol bahwa kendaraan ini pernah menjadi legenda dan hidup di tengah-tengah masyarakat Cibadak.
"Tahun 2017 produksi nayor dihentikan karena tak ada pesanan lagi," kata Widyanto.
Baca Juga: Dulu, Cibadak Kabupaten Sukabumi Dikenal Dengan Julukan Kota Nayor
Sisi lainnya, upaya yang saat ini masih terus dilakukan pemerintah desa di Kecamatan Cibadak dalam melestarikan nayor adalah rutin menggelar perlombaan khususnya momen 17 Agustus dengan menghias nayor. Tetapi, sambung Widyanto, cara ini kurang efisien karena minimnya populasi dan jam operasional nayor sekarang.
"Mulai beroperasinya pukul 10.00 sampai 14.00 WIB, karena pemilik nayor itu punya kuda, jadi ada waktunya. Jika kuda lelah tidak bisa dipaksakan. Dulu juga sama, tapi bisa gantian karena masih banyak jumlah nayor. Makanya saya koordinasi ke Pemerintah Desa Sekarwangi untuk melestarikan dan dijamin kusirnya," ujarnya.
"Sebetulnya se-Kecamatan Cibadak, dari Karangtengah sampai Segog itu ada (nayor), tapi karena yang masih tersisa di Desa Sekarwangi, akhirnya monumen nayor pada 2016 dibangun di tempat itu," lanjut Widyanto.
Lebih lanjut Widyanto menjelaskan nayor sudah ada sejak 1941. Ketika itu konsep nayor belum digunakan untuk kendaraan penumpang, namun sebagai alat angkut hasil bumi, hasil kebun, dan sebagainya, terutama kapur, karena di Cibatu banyak taman kapur. Baru mulai digunakan untuk transportasi umum tahun 1960-an.
Sementara meninjau judul skripsinya, Widyanto mengatakan untuk pengembangan karakter zaman dulu, di daerah Cibadak, transportasi sangat terbatas dan maksud ekonomi kreatif adalah konteks keberadaan nayor adalah perubahan dari suatu angkutan barang hasil bumi, dikembangkan menjadi kendaraan transportasi umum.
Kemudian bentuk aktivitas ekonomi kreatif pada masa Orde Baru adalah para pemuda dan masyarakat sangat antusias terhadap nayor dengan selalu mengikutsertakan dalam berbagai kegiatan seperti lomba 17 Agustus dengan menghiasnya atau sebagai hiburan hajatan, kelulusan sekolah, pernikahan, dan kegiatan lainnya.
Beberapa keunikan nayor, kata Widyanto, bentuknya yang tertutup karena saat itu supaya aurat penumpang tidak terlihat khususnya perempuan dan ibu-ibu yang masih menggunakan kain. Lalu ban nayor pun awalnya menggunakan ban sepeda motor Harley Davidson, namun karena mahal diganti menggunakan ban angkot.
"Nayor yang awalnya roda empat menjadi roda dua. Jadi kayak suatu ciri khas di Cibadak dan suatu perubahan besar. Hasilnya masyarakat bisa lebih mudah untuk ke mana-mana," kata dia.