SUKABUMIUPDATE.com - Kalau ada pertanyaan dimana letak Gunung Tangkuban Parahu, jawabannya pasti di Bandung, tepatnya di Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Tapi ternyata di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, juga ada tempat yang memiliki nama yang sama.
Tangkuban Parahu Palabuhanratu berada di wilayah keadministrasian Kelurahan Palabuhanratu. Tak sekedar nama, tempat yang merupakan Cagar Alam juga punya sejarah yang menarik untuk diulas.
Irman Firmansyah, pengamat sejarah Kesukabumian dari Yayasan Dapuran Kipahare menuturkan dalam sejarahnya Gunung Tangkuban Parahu di Palabuhanratu maupun di KBB, pernah disinggahi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-18, Abraham Van Riebeeck yang memerintah pada 18 Oktober 1653 hingga 17 November 1713.
Baca Juga: Jadwal Libur Natal 2022 dan Tahun Baru, Apakah Ada Cuti Bersama?
“Van Riebeeck bahkan pernah membuat benteng dekat Gunung Tangkuban Parahu Palabuhanratu dekat muara sungai Cimandiri, dia juga mengunjungi Gua Lalay yang disebut sebagai gua Candi pada tahun 1709 dan 1712. Setahun kemudian dia meninggal sesudah mengunjungi Tangkuban Parahu Bandung,” ujar Irman.
Menurut Irman, sesuai dengan namanya, Gunung Tangkuban Parahu Palabuhanratu memang memiliki bentuk mirip perahu terbalik, namun sekarang sedikit berubah karena eksploitasi di sisi kirinya.
“Tangkuban Parahu Palabuhanratu memang menarik bagi Van Riebeeck karena vegetasi flora dan faunanya yang beragam meskipun berada dekat pantai. Sementara Tangkuban Parahu Bandung menarik karena belerangnya yang bisa digunakan sebagai bahan mesiu,” tuturnya.
Irman menuturkan, Van Rieebeck datang ke Sukabumi pada tahun 1709 dengan mengambil rute Batavia-Cianjur-Gunungguruh dan Palabuhanratu. Konon dia membawa serta benih kopi untuk dibudidayakan. “Maka tak heran jika hingga sekarang di Gununggguruh ada bukit yang disebut Gunung Kopi,” kata dia.
Baca Juga: Cerita Lima Pendaki Sukabumi 10 Jam Taklukan Puncak Gunung Salak
“Tangkuban Parahu sendiri akhirnya menjadi perhatian mengingat tumbuhan dan pepohonan yang awalnya sangat banyak dan rimbun mulai berkurang,” sambungnya.
Lebih lanjut Irman menuturkan, pada tanggal 12 juli 1912, Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) dibentuk di Bogor dan diketuai oleh pendirinya Dr. SH. Kooders. Perkumpulan tersebut mengajukan berbagai habitat flora dan fauna untuk dilindungi.
Akhirnya, terdapat 12 lokasi yang diusulkan untuk menjadi cagar alam. Tahun 1916 pemerintah menerbitkan kebijakan terkait monumen alam dan menetapkan 43 monumen di Indonesia termasuk Taman Nasional Ujung Kulon.
Gunung Tangkuban Parahu sendiri ditetapkan sebagai suaka alam (Natuurmonumenten) melalui Keputusan Gubernur Jendral nomor 83 tanggal 11 Juli 1919 staatsblad 392. Luasannya 22 hektar, lokasinya berada antara Paal 39 dan 40, barat daya jalan, sekitar 2 KM jarak dari Pasanggrahan Palabuhanratu.
Baca Juga: Mengenal Donald Pandiangan, Atlet Panahan Indonesia yang Jadi Google Doodle Hari Ini
“Batas wilayah terdiri dari bagian hutan kayu liar yang terletak di daerah Desa Kalideres, Kecamatan Palabuhan, Divisi Soekaboemi, dibatasi oleh garis yang menghubungkan pos-pos hingga Cibulagar kemudian berbatasan sungai hingga jalan Palabuhan,” ujarnya.
Menurut Irman, selain Gunung Tangkuban Parahu juga ditetapkan dua Kawasan lagi sebagai suaka alam di Sukabumi yaitu Sukawayana dan Cimungkad. Sukawayana terletak di daerah desa Tjikakak, kecamatan Palaboehan, divisi Soekaboemi. Kawasan ini dilindungi karena terletak di tanah berpasir, berlumpur, berbatasan langsung dengan laut dan tersusun hampir seluruhnya dari pohon nyamploeng yang sangat tua (Calopliyllutn inophyllum).
“Selain itu Suaka alam Cimungkad yang terletak terletak di daerah Dessa Tjaringin, saat itu masuk kecamatan Cibadak, divisi Soekaboemi, luasnya sekitar 56 Hektar. Cimungkad terkenal karena fauna burungnya yang kaya, secara teratur dikunjungi oleh burung-burung musim dingin di Jawa,” jelasnya.
Baca Juga: 3 Tahun Terakhir Usia Laki-laki Sukabumi Lebih Pendek Dari Perempuan, Penyebabnya?
Pada zaman Jepang sekitar tahun 1943-1944, kata Irman, kayu-kayu di Gunung Tangkuban Parahu banyak ditebang untuk keperluan militer Jepang, Kebetulan tidak jauh dari sana ada lapangan terbang militer Belanda yang dikuasai Jepang dan digunakan sebagai tempat pelatihan militer. Tercatat pada bulan April 1944 sekitar 500 pohon telah ditebang oleh tentara Jepang.
“Pada masanya beragam flora dan fauna ada disini termasuk lutung sunda dan burung caladi. Kini statusnya mungkin masih sebagai suaka alam tapi kondisinya mulai terganggu dengan industri dan pemukiman di sekitarnya,” tandasnya.