SUKABUMIUPDATE.com - Budaya ketahanan pangan masyarakat adat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat kembali menarik untuk dibahas. Ini karena krisis pangan disebut bakal mengancam bangsa yang tidak memiliki kemampuan produksi pangan sendiri dimasa mendatang.
Kampung Adat Ciptagelar di Sukabumi, dengan semua budaya lokalnya tentu sudah banyak yang paham. Karena kampung adat ini menjadi salah satu destinasi wisata budaya cukup populer di Nusantara, bahkan tak sedikit kampus dan peneliti menjadikan Ciptagelar, sebagai lokasi kegiatan penyangga dunia pendidikan di Indonesia.
Mengutip dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat, Kampung Adat Ciptagelar berlokasi di Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Secara geografis, Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi terletak di pedalaman Gunung Halimun-Salak. Kampung adat Ciptagelar Sukabumi disebut sudah ada sejak 1300 tahun yang lalu.
Komunitas masyarakat kampung adat ciptagelar yang mendiami pegunungan Halimun punya kehidupan semi nomaden. Ciptagelar sendiri adalah lokasi terkini kampung adat ini setelah sebelumnya berpindah dari Ciptarasa.
Kampung Ciptagelar tergabung dalam kasepuhan Banten Kidul yang memiliki pola kehidupan sehari-hari mengikuti kebiasaan karuhun yang diwariskan turun temurun. Adat dan budaya yang diwariskan oleh leluhur Kampung Ciptagelar kental akan hubungan pengelolaan sumber daya alam dan hutan di sekitarnya.
Hubungan tersebut dilandaskan pada nilai norma keyakinan dan kebudayaan yang dianut serta dikembangkan sampai saat ini, yaitu kebudayaan sunda wiwitan.
Ketahanan Pangan Warisan Leluhur
Hal menarik yang dapat kamu temukan dari kampung adat ciptagelar adalah dari bidang pertaniannya. Diketahui, masyarakat kampung adat Ciptagelar Sukabumi menolak penggunaan bibit dari luar dan setia menggunakan bibit padi lokal yang dipercaya datang dari leluhur mereka.
Updaters harus tahu meskipun bibit yang digunakan adalah jenis lokal tapi hal tersebut memberikan dampak positif bagi kampung adat ciptagelar itu sendiri. Alasan Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi terus mempertahankan bibit lokal diantaranya:
- Alasan tradisi adat
- Alasan geografis, sehingga padi lokal lebih pas dari yang unggul bahkan dari varietas anjuran pemerintah
- Padi lokal ciptagelar punya bentuk batang panjang sehingga mudah di-etem (ani-ani)
- Bibit lokal ciptagelar juga menjadi salah satu pesan pelestarian dari leluhur.
Leuit Lambang Ketahanan Pangan
Masyarakat Adat Ciptagelar Sukabumi tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Rahasianya adalah hasil panen akan disimpan dalam lumbung padi atau biasa disebut Leuit.
Setiap keluarga di kampung adat ciptagelar Sukabumi wajib memiliki leuit di lahan masing-masing untuk menyimpan persediaan padi hasil panen. Akan tetapi, aturan adat juga menyediakan leuit komunal yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama.
Diketahui, padi yang disimpan dalam leuit mampu bertahan lama dan saat dibuka padi masih menempel di tangkainya. Padi disimpan dengan cara diikat menggunakan tali bambu (pocongan). Ikatan-ikatan pocongan digantung pada galah bambu yang ditopang batang kayu.
Ternyata, sistem penyimpanan dengan cara tersebut juga memiliki filosofi tersendiri . Sistem ini dilakukan agar kadar airnya tetap bisa dipertahankan meskipun padi mengering sehingga padi tidak rusak akibat kelembaban
Kearifan lokal kampung adat ciptagelar Sukabumi ternyata mampu membuat perkampungan di Sukabumi ini tak pernah gagal panen atau kekurangan air. Cadangan beras hingga bertahun-tahun untuk persediaan pangan.
Melansir dari Revolusi Mental.go.id, stok gabah yang dimiliki kampung adat ciptagelar ini bahkan cukup untuk pasokan hingga 6 tahun ke depan. Tradisi warga ciptagelar yang saling menghormati serta menjaga alam menjadi salah satu kunci keberhasilan ketahanan pangan tersebut.
Masyarakat ciptagelar menganggap padi sebagai simbol dari sebuah kehidupan bukan hanya komoditas pangan untuk konsumsi sehari-hari. Beras juga dipandang sebagai benda sakral oleh masyarakat Kampung adat ciptagelar Sukabumi, sebab nilai penghormatan yang masih sangat dipegang teguh.
Oleh karena itu, hasil panen dalam bentuk beras, padi maupun gabah dilarang untuk dijual. Bahkan, memasak nasi pun tak boleh menggunakan alat modern seperti ‘magic com’ atau 'magic jar'.
Writer: Nida Salma Mardiyyah (Berbagai Sumber)