SUKABUMIUPDATE.com - Di tengah keramaian Pilkada Jawa Barat atau Pilgub Jabar tahun 2024 kemarin, kelompok disabilitas khususnya di Kota Sukabumi kerap kali tersisihkan bahkan tidak tersentuh sama sekali.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat pada tahun 2022, penyandang disabilitas di Provinsi Jawa Barat mencapai 72.565 orang, sedangkan di Kota Sukabumi sendiri berjumlah 428 orang.
Mengingat data tersebut, sebagaimana UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 5 menyatakan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih.
Kesulitan itu dialami Sulaiman (49 tahun) seorang disabilitas tuna netra sekaligus koordinator Wilayah 5 Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) menceritakan perjalanan panjang untuk meraih setiap hak dalam keterbatasannya.
Sulaiman juga merupakan seorang suami dari Teti Latifah (47 tahun) yang juga seorang tuna netra. Di tengah keterbatasannya, Sulaiman bekerja sebagai terapis pijat, sedangkan sang istri memiliki keterampilan khusus membuat sapu lidi, ijuk dan anyaman lainnya. Setiap hari mereka saling membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Hal itu disampaikan Sulaiman kepada sukabumiupdate.com di rumahnya yang berada di Kampung Nangela, Rt 01/06, Kelurahan/Kecamatan Baros, Kota Sukabumi beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Punya Hak Pilih, Dinsos Kota Sukabumi Pastikan Penyandang Disabilitas Menuju Bilik Suara
Adapun kesulitan yang dimaksud, Sulaiman kesulitan dalam mengakses informasi materi debat hingga visi misi para calon. Oleh karena itu, Sulaiman berasama teman disabilitas lainnya harus berupaya mencari informasi sendiri melalui televisi hingga pembahasan Pilkada di Whatsapp Group Organisasinya.
“Di tempat lain, Bogor, Cianjur mah disabilitas itu dilibatkan ke tempat debat Pilkada kalau di Kota Sukabumi mah enggak,” ujar Sulaiman.
“Saya ikutin dari TV, setiap debat calon gubernur saya ikuti, terus saya juga kan ada di organisasi banyak dibahas di sana sama temen-temen disabilitas yang lain,“ tambah dia.
Lebih lanjut, saat pemilu berlangsung, pada 27 November 2024 lalu, Sulaiman menyebut lebih baik menghadirkan pendamping pribadi dari pada menggunakan pendamping yang disediakan di TPS.
“Saya ini kan nggak ada keluarga langsung yang tinggal di sini cuman berdua, jadi saya lebih percaya dan yakin kalau saya harus menghadirkan pendamping yang independen dan tidak menggunakan petugas yang ada di TPS,” ujarnya.
Ditengah keterbatasannya itu, Sulaiman mengaku masih berupaya menyisipkan sedikit harapan demi kehidupan yang lebih baik. “Kalau sekarang ada semangat untuk menggantungkan harapan kepada para calon, soalnya dengan adanya UU No 8 Tahun 2016 itu memang sebuah pencapaian yang membuat kami lebih yakin untuk hidup lebih baik karena sudah ada payung hukumnya,” kata dia.
Menurutnya, dengan adanya Undang-undang tersebut secara oromatis, pengajuan fasilitas pendidikan, program-program pelatihan yang dapat menunjang keterampilan bagi penyandang disabilitas menjadi lebih mudah.
“Kalau dulu kan ketika kami mengajukan di Pertuni misalnya, mereka (pemeintah) selalu beralasan bingung karena tidak ada acuannya, tidak ada landasannya. Sekarang sudah ada UU jadi kami merasa ada penguatan dengan UU itu untuk menyampaikan aspirasi kepada para calon yang maju,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Santi (39 tahun) seorang disabilitas tuna rungu sekaligus perwakilan Gerakan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Wilayah Sukabumi.
Saat proses wawancara berlangsung, sukabumiupdate.com didampingi seorang guru dari Sekolah Luar Biasa B Budi Nurani Kota Sukabumi, Ati Mulya Sukriati untuk menerjemahkan setiap bahasa yang mereka utarakan.
Dalam perbincangan, Santi hadir bersama tiga teman tuna rungu lainnya, mereka terlihat bersemangat menyampaikan harapan hingga kesulitan yang mereka alami di tengah keterbatasannya berkomunikasi.
Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui calon mana yang harus mereka pilih, mengingat sosialisasi yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya satu kali dan dianggap tidak cukup untuk dipahami.
“Waktu pilkada kemarin sudah ada sosialisasi, cuman untuk yang kemarin KPU hanya satu kali sosialisasi jadi belum paham siapa yang harus dicoblos dan tidak tahu nama-namanya,” ujar Santi menggunakan bahasa isyarat yang selanjutnya diterjemahkan oleh Ati.
“Dia ketika pemilihan Gubernur karena memang sosialisasinya baru satu kali jadi dia belum paham, biasanya kalu dia sudah paham dia kasih tahu ke teman-temannya yang lain. Tapi karena dia belum paham jadi dia tidak memberi tahu ke temannya yang lain,” lanjut Ati menjelaskan.
Tak putus di situ, kesulitan juga mereka alami pada saat masa pencoblosan berlangsung, oleh petugas pemungutan suara, para penyandang disabilitas tuna rungu sering kali dianggap sama atau tidak diketahui mengingat penampilan secara fisik yang terlihat normal.
“Jadi mereka ini perlu pemandu di TPS, tapi katanya karena mereka ini terlihat normal jadi perugas tidak mendampingi, jadi pelayanannya sama kaya orang pada umumnya,“ ungkap Ati menjelaskan omongan yang disampaikan Sangi.
Isu disabilitas selalu muncul dalam janji manis para calon kepala daerah.
Dalam setiap perhelatan Pilkada berlangsung, isu disabilitas kerap kali dijadian bahan jualan oleh para calon kepala daerah untuk meraih sebanyak-banyaknya suara. Hal itu juga disampaikan oleh Ahmad Syaikhu sebagai Calon Gubernur Jawa Barat nomor urut 03.
Dalam hal ini, Syaikhu menyampaikan bahwa kesejahteraan harus mencakup semua lapisan di Jabar yang tertuang dalam visi misinya saat itu bersama Ilham Habibie saat bersilaturahmi dengan komunitas Diaabilitas dan Aliansi Perempuan Disabilitas dan Lansia (APDL) di Kota Bandung pada Rabu (20/11/2024) lalu.
“Karena itu, dalam visi saya bersama Ilham Habibie, kami ingin menguatkan prinsip Jawa Barat, yaitu silih asah, silih asih, silih asuh,” ujar Syaikhu.
“Prinsip ini menjadi landasan kita untuk saling mendukung dan berkontribusi dalam pembangunan, sehingga semua pihak dapat berperan sesuai kemampuan dan keahliannya,” tambah dia.
Menurutnya, dengan begitu anak muda Jabar sekaligus para penyandang disabilitas dapat dengan mudah mendapatkan kesempatan bagi kelompok disabilitas untuk berperan di tengah masyarakat.
“Dengan begitu, mereka dapat memberikan kontribusi nyata dan berperan aktif dalam masyarakat. Para penyandang disabilitas juga harus diberi kesempatan untuk berperan, bukan malah merasa tersingkir. Karena itu, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menciptakan inklusivitas bagi mereka,” ucapnya.