SUKABUBUMIUPDATE.com - Serikat Petani Indonesia atau SPI memberikan 3 catatan penting usai debat publik II pilkada Kabupaten Sukabumi, yang berlangsung di Kabupaten Bandung Jumat 22 November 2024. Untuk debat publik terakhir ini, KPU memilih tema Sinergitas Pembangunan Daerah, Provinsi dan Nasional untuk Mewujudkan Pemerintahan Kabupaten Sukabumi yang berwawasan Kebangsaan.
Sub tema yang disorot SPI tentang alih fungsi lahan program strategis nasional dan potensi konflik agraria. Disini SPI menilai kedua paslon belum menunjukkan langkah progresif dalam menangani masalah agraria yang banyak menimbulkan masalah sosial dan pelanggaran HAM.
Ada tiga catatan yang diberikan SPI setelah melihat pemaparan paslon 01 Iyos - Zainul dan paslon 02 Asep Japar - Andreas tentang masalah agraria. Seperti disampaikan Rojak Daud, aktivis SPI Sukabumi secara tertulis kepada sukabumiupdate.com, Sabtu (23/11/2024).
Baca Juga: Bantu Ekosistem PPMI, Kementerian BUMN Dukung Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Pertama: Paslon belum menempatkan reforma agraria sebagai landasan pembangunan bidang agraria dan pedesaan. Padahal, cita-cita keadilan dan kedaulatan agraria mewujud di dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Kedua: Seharusnya untuk kedaulatan petani dan Nelayan reforma agraria dijadikan landasan road map penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan hak atas sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan umumnya untuk masyarakat sukabumi.
“Paradigma tentang kesejahteraan petani nelayan hanya untuk menjawab kebutuhan teknis berkaitan aksesnya saja atau alat produksi, sebatas pendayagunaan dan ketahanan keluarga petani nelayan untuk bisa bertahan hidup, belum sampai pada politik agraria adalah hak rakyat atas tanah yang berdaulat sebagai hak konstitusional dijamin sepenuhnya oleh negara,” jelas Rojak.
Ketiga, Pembahasan reforma agraria dalam debat tidak konsekuen dan konsisten dan kontradiktif. reforma agraria hanya seperti pemanis atau tempelan program untuk menarik pemilih dari kelompok petani. Karena disisi lain akan menyiapkan lahan pertanian baru, tetapi juga mau menyisihkan 20 persen.
Menurut Rojak, kalau pemerintah menyiapkan lahan itu adalah menghidupkan kembali domain vaklaring zaman penjajah, negara memiliki tanah dan rakyat menjadi manfaatnya, pemahaman dasarnya seperti itu, tetapi tidak tau skemanya nanti seperti apa yang dimaksud.
“Menyisihkan 20% dari HGU itu juga perlu pendalaman lagi, apakah sekedar normatif seperti selama ini, berlaku di lahan-lahan konflik dan disana ada gerakan sosial masyarakat baru disisihkan, sedangkan yang tidak diadvokasi oleh organisasi tani tidak ada penyisihan untuk petani,” bebernya.
Baca Juga: Lagi! Truk Sampah Pemkab Sukabumi Terguling, Picu Macet di Jalur Cibadak
20 persen itu lanjut Rojak, apakah itu untuk HGU yang mau diperpanjang, semenatara untuk pembaharuan HGU, upaya dan keberpihakan ke petani seperti apa? Langkah untuk memberikan sanksi kepada pemegang HGU yang menelantarkan tanah, begitu juga yang HGU nya sudah habis puluhan tahun bagaimana?.
“Itulah persoalan mendasar yang harus dipahami oleh paslon, untuk menjadikan reforma agraria sebagai peta jalan menuju masyarakat yang berdaulat sehingga titik akhirnya adalah sejahtera dan mandiri,” tegasnya.
“Sehingga konsepnya adalah Petani bisa berdaulat secara pangan, yaitu memiliki jaminan secara konstitusi Hak atas tanah dan didayagunakan, bukan sekedar ketahanan pangan yang mana petani bisa bertani, bisa menggarap yang penting ada penghasilan,” pungkas Rojak Daud.