SUKABUMIUPDATE.com - Sebanyak 12 partai politik menandatangani piagam dukungan untuk mengusung Ridwan Kamil dan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suswono sebagai bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilgub Jakarta 2024. Hal ini menutup peluang mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan maju di Pilkada 2024.
Mengutip tempo.co, Ridwan Kamil-Suswono bahkan kemungkinan dapat maju sebagai calon tunggal melawan kotak kosong setelah calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana tersandung kasus pencatutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) secara sepihak untuk digunakan sebagai pemenuhan syarat dukungan bakal calon pasangan independen.
Dalam laporan Majalah Tempo, modus memborong partai dengan tujuan melahirkan calon tunggal untuk melawan kotak kosong terus meningkat dari pilkada ke pilkada. Pada 2020, sebanyak 25 pasangan berkontestasi melawan kotak kosong dan menyapu kemenangan. Pada pilkada tahun ini jumlahnya naik. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat jika kesepakatan politik yang sudah diumumkan tidak berubah, ada 34 pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR: Putusan MK Berlaku Jika RUU Pilkada Tak Disahkan Sampai Pendaftaran
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari Ganjar Herdiansyah menyebut semakin meningkatnya calon tunggal pada pilkada kali ini dipengaruhi faktor beban pengeluaran Pemilu 2024 yang membuat modal logistik dari banyak elite dan partai politik menipis.
“Meski fenomena calon tunggal disebabkan oleh berbagai faktor, tapi belakangan ini yang paling kentara adalah beban pengeluaran Pemilu 2024. Banyak elite dan partai yang sudah kehabisan logistik. Karena itu mereka memilihi bertindak rasional saja dengan mendukung paslon terkuat baik dari aspek politik maupun logistik,” kata Ari pada 19 Agustus 2024.
Menurut Ari, hal ini dapat memberikan sejumlah dampak buruk. Pilkada, disebutnya bisa menjadi ajang setting-an elite-elite pusat dan barter politik yang mengabaikan aspirasi masyarakat di daerah. “Artinya demokrasi tidak lagi partisipatif dan aspiratif, melainkan elitis. Demokrasi langsung telah dibajak para elite meski tanpa merusak aspek prosedural,” ujar Ari.
Membendung dinamika ini, jelas Ari, merupakan tantangan besar karena yang paham isu tersebut dominan di kelas menengah terdidik. Dia menyebut mayoritas masyarakat cenderung menganggap iklim politik Tanah Air saat ini baik-baik saja, termasuk soal nepotisme.
Ari menilai harapan ada di para aktivis, kalangan intelektual, profesional, dan kalangan pekerja untuk mengartikulasikan tuntutan mereka sebagai tuntutan yang populis. Menurutnya, masyarakat harus terus dibuat melek politik agar menyadari bahwa rusaknya kehidupan demokrasi telah berdampak buruk bagi berbagai kepentingan publik.
“Program yang asal-asalan, korupsi, pajak serta pungutan semakin memberatkan, kualitas pendidikan, mahalnya kuliah, kualitas trasportasi publik, hingga lingkungan yang hancur semua itu tidak terlepas dari pragmatisme politik yang terlalu berporos pada kepentingan elite,” katanya.
Sumber: Tempo.co