SUKABUMIUPDATE.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap transaksi mencurigakan yang dilakukan calon legislatif yang masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Sepanjang tahun 2022-2023, total transaksi yang mencurigakan itu mencapai Rp 51,47 triliun dan melibatkan 100 caleg.
“Laporan mencurigakan sendiri terhadap 100 DCT, ini kita ambil 100 terbesarnya ya terhadap 100 DCT itu nilainya Rp 51.475.886.106.483. Dan penarikan kita lihat juga ada 100 DCT yang menarik uang Rp 34.016.767.980.872,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam agenda Refleksi Kerja PPATK Tahun 2023 di Jakarta Pusat, Rabu, 10 Januari 2024.
Menurut Ivan, mengutip tempo.co, PPATK melihat fokus laporan pada transaksi yang dinilai janggal itu, sebagaimana pihak pelapor mencurigai dugaan dengan tindak pidana tertentu, seperti korupsi.
“Misalnya orang yang terindikasi korupsi melakukan transaksi yang diketahui dengan profil berbeda, seperti transaksi kecil ratusan ribu menjadi ratusan juta ya, sebaliknya, ratusan juta menjadi miliaran dilaporkan ke PPATK,” ujarnya.
Baca Juga: PPATK Sebut Transaksi Mencurigakan Caleg Pemilu 2024 Capai Rp 51 Triliun
Berikut fakta-fakta aliran dana kampanye janggal yang ditemukan PPATK.
Transaksi ke Bendahara Partai Politik
Menjelang Pemilu 2024, PPATK menemukan transaksi mencurigakan dari luar negeri mengalir ke rekening bendahara 21 partai politik. Transaksi itu meningkat dari total 8.270 transaksi pada 2022 menjadi 9.164 transaksi di 2023.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana tidak memerinci detail bendahara partai apa saja terlibat. Namun menurut Ivan, bendahara partai politik yang dimaksud itu termasuk bendahara partai di berbagai daerah “Ini bendahara di wilayah-wilayah segala macam,” ucap Ivan.
PPATK turut mencatat jumlah dana yang diterima partai-partai politik dari luar negeri, totalnya mencapai Rp 195 miliar pada tahun 2023. “Di 2022 penerimaan dananya hanya Rp 83 miliar, di 2023 meningkat menjadi Rp 195 miliar,” katanya.
Ihwal temuan transaksi mencurigakan yang dilakukan calon anggota legislatif, PPATK mengaku telah melakukan pelaporan ke Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan Aparat Penegak Hukum (APH) selama 2023 lalu.
“Pada 2023 saja, PPATK sudah menyampaikan dua informasi kepada KPK, soal dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak terdaftar di dalam daftar calon tetap (DCT),” ucap Ivan.
Selain itu, PPATK juga melaporkan dua hasil analisis dan satu hasil pemeriksaan Polri. Ada juga satu informasi yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ada juga tiga informasi disampaikan kepada BIN. Tiga informasi disampaikan kepada Bawaslu,” ujarnya.
Modus Penerimaan Dana Kampanye dari Luar Negeri
Ivan mengungkapkan ada berbagai macam modus yang digunakan dalam penerimaan dana kampanye janggal yang ditemukan oleh PPATK. Salah satunya adalah penerima setoran dalam jumlah signifikan oleh pihak yang bertindak untuk kepentingan penerima manfaatnya.
“Ada juga menerima sumber dana dari luar negeri kepada rekening anggota partai politik dan calon legislatif, memanfaatkan rekening lain, bukan rekening khusus dana kampanye untuk kepentingan pendanaan kampanye di 2024,” tutur Ivan.
Ivan juga mengatakan bahwa PPATK menemukan adanya penukaran valuta asing ke money changer sebagai sumber pendanaan kampanye dalam kontestasi Pemilu 2024.
Penyalahgunaan APBD dan BPR
PPATK juga menemukan adanya penyaluran hibah yang bersumber dari Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah atau APBD. Dana ini diduga dikendalikan oleh anggota partai politik.
“Penyaluran hibah yang bersumber dari APBD ke rekening unit usaha fiktif, dan ini sudah kami sampaikan juga kepada pihak berwenang yang diduga dikendalikan oleh anggota partai politik,” ujarnya.
“Berikutnya penyalahgunaan dana kredit yang mengalir kepada simpatisan yang diduga untuk kepentingan partai politik tertentu,” kata Ivan melanjutkan.
Lebih dari 30 Persen Dana PSN Masuk Kantong Pribadi
Selain aliran dana untuk kampanye, PPATK juga menemukan sebanyak 36,67 persen anggaran untuk proyek strategis nasional alias PSN ditilap oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) dan politikus. Artinya, sepertiga lebih dana pembangunan pemerintah itu masuk kantong pribadi para pejabatnya.
“Sebanyak 36,67 persen diduga digunakan untuk pembangunan yang tidak digunakan untuk pembangunan proyek tersebut. Artinya ini digunakan untuk kepentingan pribadi,” kata Ivan.
Temuan PPATK itu berdasarkan 1.847 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan atau LTKM sepanjang Januari-November 2023. Total ada 1.178 Laporan Hasil Analisis atau LHA terkait dengan data tersebut. Ivan mengatakan, berdasarkan hasil identifikasi dan pemeriksaan mendalam, dana itu mengalir ke pihak-pihak yang memiliki profil ASN hingga politikus.
“Teridentifikasi mengalir ke pihak-pihak yang memiliki profil ASN, politikus, serta dibelikan aset, dan investasi oleh para pelaku,” ungkap Ivan.
Dugaan Aliran Dana ke Koperasi Garudayaksa Nusantara
Sebelumnya, PPATK juga telah menemukan aliran dana kampanye yang terindikasi berasal dari kegiatan ilegal. Salah satunya adalah dari tambang ilegal dan penyalahgunaan fasilitas pinjaman Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di salah satu daerah di Jawa Tengah.
Berdasarkan catatan Tempo, BPR yang diduga disalahgunakan untuk dana kampanye adalah BPR Jepara Artha. Bank itu mencairkan kredit kepada 27 debitur yang diduga fiktif dan masuk ke rekening seorang simpatisan partai politik peserta pemilu berinisial MIA. Total dana yang masuk ke rekening MIA mencapai Rp 94 miliar.
Dari rekening MIA, dana-dana itu kemudian dipindahkan kembali ke beberapa perusahaan seperti PT BMG, PT PHN, PT BMG, PT NBM, beberapa individu, serta diduga ada yang mengalir ke Koperasi Garudayaksa Nusantara yang didirikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sekretaris Umum Koperasi Garudayaksa Nusantara, Sudaryono, menampik informasi tersebut. “Itu adalah fitnah yang sangat serius jika dikatakan Koperasi Garudayaksa Nusantara dan PT Boga Halal Nusantara serta PT Panganjaya Halal Nusantara menerima aliran dana dari BPR Jepara Artha,” ujarnya.
Dia juga mengaku tak mengenal 27 debitur yang melakukan pinjaman di BPR Bank Jepara Artha. “Bahkan saya tidak tahu kantornya di mana. Jadi koperasi kami tidak menerima aliran dana dari BPR Jepara Artha,” kata Sudaryono.
Sumber: Tempo.co