SUKABUMIUPDATE.com - Sidang pengujian mengenai sistem Pemilu dalam Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/05/2023). Agenda sidang ke-16 untuk perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini yakni mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pihak Terkait Partai Garuda (Abdul Chair Ramadhan) dan Partai Nasdem (I Gusti Putu Artha).
Abdul Chair Ramadhan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah mengatakan, di dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat vital. Dikatakan demikian, oleh karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan Pemilu yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
"Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) seyogianya diselenggarakan secara beriringan. Demikian itu menunjukkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisahkan sebagai perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa," terangnya ke hadapan sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.
Menurut Abdul Chair, sistem proporsional terbuka sejalan dengan kebenaran dan sekaligus keadilan. Kebenaran dan keadilan menurut Sisworo merupakan dwitunggal, satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi.
Kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Dalam kaitan ini, penerapan Sistem Proporsional Terbuka dimaksudkan guna menghindari kerugian dan mendahulukan kebaikan.
Abdul Chair lebih lanjut menjelaskan, kewajiban untuk memilih calon yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka demikian itu membutuhkan Sistem Proporsional Terbuka. Ketiadaan Sistem Proporsional Terbuka akan menyebabkan kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan. Tanpa adanya Sistem Proporsional Terbuka, kewajiban sebagaimana dimaksudkan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan kaidah fikih, “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî fa huwa wâjib”, maka Sistem Proporsional Terbuka bersifat wajib.
Dalam kaitannya dengan permohonan proporsional tertutup, maka apabila didalilkan secara kebalikannya (mafhüm mukhâlafah/argumentum a contrario), maka Sistem Proporsional Tertutup adalah Haram. Dikatakan demikian oleh karena umat Islam selaku konstituen tidak dapat memilih calon secara langsung sebagaimana yang dimaksudkan pada poin 4 Fatwa MUI, yakni: memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Kriteria tersebut hanya dapat dilakukan dengan memilih calon legislatif secara langsung dan itu ada pada sistem proporsional terbuka. Pada sistem proporsional tertutup tidak dapat memenuhi syarat pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Fatwa MUI.
Sehingga, ia menegaskan, sistem proporsional terbuka identik dengan prinsip suara mayoritas. Prinsip suara mayoritas merupakan konsekuensi dari adanya prinsip kebebasan dan kesamaan sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Dengan demikian, UUD 1945 yang menganut dua prinsip esensial demokrasi, maka secara linear UUD 1945 juga menganut prinsip suara terbanyak sebagai cara mewujudkan dua prinsip itu.
Sama-sama Konstitusional
Pada kesempatan yang sama, ahli yang dihadirkan Wibi Andrino (Partai Nasdem) I Gusti Putu Artha mengatakan, sistem proporsional terbuka suara terbanyak ingin memposisikan partai politik secara konsititusional sesuai amanat UUD. “Saya tidak membantah bahwa peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabapaten/Kota adalah partai politik. Namun mesti juga dicatat bahwa pasal 1 UUD (pasal paling utama dan awal) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,” tegasnya.
Menurut Putu, UU Nomor 7 Tahun 2017 seakan memberi penegasan bahwa dalam konteks Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan Kabupaten, partai politik diberi amanat menyeleksi dan menjaring calon-calon terbaik di tiap dapil lalu dengan kendaraan partai politik diantarkan ke KPU di semua tingkatan.
Siapa yang dikehendaki rakyat, menurut pasal 1 UUD, diserahkan penuh kedaulatan rakyat. Di parlemen, wakil rakyat berhimpun dalam fraksi parpol masing-masing untuk mengagregasikan kepentingan rakyat yang dijaring oleh para anggota DPR dan partai politik masing-masing di tiap dapil.
Menurut Putu Artha, baik sistem proporsional terbuka dan tertutup sejatinya sama-sama konstitusional menurut UUD. Hanya saja, derajat konstitusionalitasnya yang berbeda. Dalam konteks ini, ranah pengambilan keputusan atas pilihan sistem itu menurut UUD ada di tangan DPR dan Presiden selaku pembuat UU. Mahkamah mempertegas konsistensi implementasi subsistemnya agar selaras dengan sistem proporsional terbuka yang menjadi pilihan pembuat UU.
“Sistem proporsional terbuka dan tertutup sama-sama konsitusional namun sistem proporsional terbuka memiliki bobot yang lebih tinggi. Secara teknis penyelenggaraan, perubahan sistem pemilu yang harus diadopsi pada Pemilu 2024 saat ini potensial akan memunculkan gejolak politik di internal partai politik dan gangguan teknis verifikasi administrasi pencalonan dan pengadaan logistik oleh KPU,” terangnya.
sumber : mkri.id