SUKABUMIUPDATE.com - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (12/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Adapun agenda sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 kali ini adalah mendengar keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon, yakni Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas, dan Ketua Prodi Sarjana Politik dan Pemerintahan FISIP UGM, Mada Sukmajati.
Hafid Abbas dalam keterangannya di persidangan mengatakan sistem pelaksanaan Pemilu 2024 secara proporsional terbuka seperti yang sudah berlangsung sebanyak empat kali sejak era reformasi menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Dengan sistem itu, banyak pihak yang mengagumi bahwa Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilunya dengan baik dan telah menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS.
“Sebaliknya, banyak pula pihak yang menolak sistem terbuka, dan berpandangan bahwa sistem proporsional tertutup adalah pilihan yang lebih sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat reformasi yang telah digulirkan sejak 1998,” kata Hafid Abbas di hadapan pimpinan sidang Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Hafid menjelaskan, pihak yang menolak sistem terbuka berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 168 UU Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan pemilu. Bahkan dinilai pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepersertaannya di pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.
“Dengan pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang. Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, idiologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat tetapi sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal,” jelas Hafid.
Dengan keadaan seperti itu, partai politik tidak lagi berdaya dalam menjalankan perannya, misalnya: menyiapkan kaderisasi terbaik bangsa; melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan seterusnya.
Sisi Gelap Pemilu Berbiaya Mahal
Belajar dari pelaksanaan empat kali pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ungkap Hafid, banyak pelajaran berharga yang patut kita petik. Sebagai ilustrasi, hasil penelitian Tempo satu dekade silam, menunjukkan bahwa biaya calon anggota DPR RI dapat mencapai Rp 6 miliar (Tempo, 22/4/2013). KPK telah mengungkapkan pula bahwa biaya yang harus dikeluarkan seseorang agar terpilih menjadi Kepala Daerah (Bupati, Walikota atau Gubernur) bervariasi antara Rp 20-100 miliar atau rata-rata Rp 60 miliar.
Dengan biaya politik sebesar itu tentu hanya akan menjaring orang-orang yang berduit untuk mendominasi perolehan kursi di legislatif atau pun di eksekutif di pusat dan daerah. Di sisi lain gaji pejabat Indonesia 2019-2024, mulai dari Bupati hingga Presiden, terlihat amat rendah. Jika seorang Bupati berpendapatan hanya dari gaji pokok dan tunjangan resminya sebesar Rp 5,88 juta sebulan (gajimu.com), maka untuk mengembalikan modalnya, ia harus bekerja sebagai Bupati selama 170-171 tahun.
Rentetan sisi gelap dari pemilu berbiaya mahal itu, dampaknya antara lain: Pertama, para wakil rakyat, dan para pejabat pusat dan daerah yang dipilih dengan sistem terbuka itu (elit politik), tentu tidak akan mengabdi untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat. Sebab, mereka sudah tersandera oleh beban untuk mengembalikan biaya politinya. Cara mudah untuk mengembalikan biaya politik itu, adalah dengan merangkul korporasi dengan memberinya hak penguasaan lahan, tambang, dan sumber-sumber daya alam (SDA) setempat, dsb.
Sehingga Hafid berharap pelaksanaan pemilu 2024 secara proporsional terbuka tidak akan diberlakukan lagi karena telah secara nyata menghasilkan wakil rakyat di pusat dan daerah yang telah membawa negeri ini semakin menjauh dari cita-cita proklamasi dan amanat reformasi 1998.
Penyederhanaan Sistem Kepartaian
Selanjutnya Ahli yang dihadirkan Pemohon adalah Mada Sukmajati menerangkan pilihan pada sebuah sistem pemilu sebenarnya tidak berada pada ruang hampa. Pilihan pada sebuah sistem pemilu juga sangat bergantung pada perkembangan konteks yang melingkupi sebuah negara. Lebih dari itu, pilihan sistem pemilu juga didasarkan pada sebuah tujuan tertentu. Ada beberapa negara yang karena konteks konflik sosialnya tinggi kemudian memilih sistem pemilu tertentu agar pemilu tidak justru memperparah konflik sosial yang ada. Beberapa negara lain telah mengganti sistem pemilunya dalam rangka mencapai tujuan yang berbeda dari sebelumnya.
Mada menjelaskan, dalam desain sistem pemilu proporsional daftar tertutup adalah sistem yang lebih sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Untuk memperkaya pengetahuan kita, perlu juga dinformasikan bahwa jenis sistem proporsional daftar tertutup merupakan jenis sistem pemilu representasi proporsional (proportional representation) yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia sejauh ini.
Sistem proporsional daftar tertutup lebih mendorong penyederhanaan sistem kepartaian karena fokus pemilih bukan lagi kepada kandidat, namun kepada partai politik. Apalagi jika hal ini dibarengi dengan angka ambang batas parlemen yang tinggi. Kedua, jika bangunan koalisi ideal yang dibayangkan adalah bangunan koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik, maka sistem tersebut juga lebih tepat dipilih. Penjelasan dari banyak ahli sebelumnya telah menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional daftar terbuka sampai sejauh ini terlihat tidak berhasil dalam mengembangkan politik programatik. Apalagi dalam konteks pemilu serentak sebagaimana terjadi di Pemilu 2019 lalu, dimana dinamika dari pileg ternyata telah tenggelam oleh dinamika dari pilpres.
Sistem proporsional daftar terbuka telah mendorong fenomena pilihan personal (personal vote) dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu karena fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik.
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
untuk selengkapnya bisa dilihat dalam risalah persidanga klik disni
sumber : mkri