SUKABUMIUPDATE.com - Sejumlah dokter meresepkan Ivermectin kepada pasien Covid-19. Para dokter ini juga mengakui menggunakan Ivermectin sebagai upaya pencegahan terinfeksi Covid-19.
Dalam webinar Ivermectin World Day yang diadakan Front Line COVID-19 Critical Care atau FLCCC pada Minggu, 25 Juli 2021, para dokter ini menceritakan bagaimana proses penanganan pasien Covid-19 dengan Ivermectin dan obat-obatan Covid-19 lainnya di rumah sakit maupun yang menjalani rawat jalan dan isolasi mandiri.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Hadianti mengatakan memberikan Ivermectin kepada pasien Covid-19. "Ada pasien yang meminta obat tersebut dan menolak beberapa obat lain," kata Hadianti yang memaparkan penggunaan Ivermectin kepada tujuh pasiennya.
Dia mencontohkan seorang pasien Covid-19 yang dia tangani pada Februari 2021. Pasien itu berjenis kelamin laki-laki, berusia 52 tahun dengan komorbid Diabetes Melitus, penyakit jantung, dan obesitas tipe tiga dengan berat badan 140 kilogram, serta sudah memakai ventilator. "Inilah pasien yang membuat saya menggunakan Ivermectin dengan yakin," katanya.
Hadianti mengatakan telah terjadi badai sitokin di paru-paru pasien tersebut. Badai sitokin adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan dalam menghalau virus. Sitokin yang merupakan protein ini memenuhi jaringan yang terinfeksi dan memicu peradangan.
Hadianti kemudian menyarankan pasien tersebut mengkonsumsi Actemra (Tocilizumab), obat Covid-19 yang direkomendasikan WHO untuk mengatasi badai sitokin. Namun pasien tersebut menolak. "Dia memilih Ivermectin," katanya. Hadianti kemudian mencari referensi penggunaan Ivermectin dengan dosis yang sesuai untuk kondisi setiap pasien.
Setelah mengkonsumsi Ivermectin selama lima hari, Hadianti mengatakan kondisi pasien tersebut membaik. Dia pun menunjukkan foto rontgen dan CT Scan pasien itu. Dari foto toraks yang membuktikan terjadi badai sitokin di paru-paru sampai normal. Pasien tersebut menjalani perawatan selama 12 hari di rumah sakit dan melanjutkan konsumsi Ivermectin selama dua pekan di rumah setelahnya atas keinginan sendiri.
Ada juga enam pasien Hadianti lainnya yang juga mengkonsumsi Ivermectin dengan komorbid, seperi hipertensi dan asma. Salah satunya sudah berusia 74 tahun dan ada pula yang menyandang autoimun Sjorgen Syndrome. Sebagian besar mengalami Interleukins atau kondisi yang secara bertahap menuju badai sitokin di paru-paru.
Di antara mereka ada juga yang mendapatkan terapi obat Covid-19, seperti Favipiravir dan Remdesivir. "Semua pasien ini sudah menyatakan persetujuan penggunaan Ivermectin, bahkan ada yang sudah lebih dulu mengkonsumsinya," kata Hadianti yang juga mengkonsumsi Ivermectin untuk mencegah infeksi Covid-19, selain juga sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Dokter Spesialis Kandungan, Firman Abdullah mengatakan menggunakan Ivermectin untuk diri sendiri dan keluarga. "Saya pelajari Ivermectin, aman meskipun itu obat untuk hewan dan ternyata sudah sepuluh tahun lalu bisa diberikan untuk manusia," katanya.
Dari berbagai referensi bacaan, Firman mengatakan Ivermectin biasanya digunakan untuk terapi penyakit Hepatitis E karena mampu menghambat replikasi virus. "Saya coba kepada diri saya dulu dan keluarga," katanya. Anak Firman yang terpapar Covid-19 juga minum Ivermectin sejak hari pertama dirawat di rumah sakit. "Hari demi hari kondisinya membaik, memperpendek masa perawatan, dan mengurangi keparahan."
Firman mengatakan pernah memberikan Ivermectin kepada rekannya, suami istri yang terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Mereka berusia 80 tahun dengan saturasi oksigen 89 dan 91. Salah satunya sudah terpasang delapan ring jantung. "Sekarang kondisinya kondisi stabil dan membaik," ucapnya.
Ivermectin, menurut Firman, terbilang obat yang murah. Anaknya mengkonsumsi Ivermectin satu tablet sehari selama lima hari. Harganya Rp 7.000 per tablet dikali lima hari, jadi Rp 35 ribu. "Bisa sembuh, walaupun memang tidak sebagai obat tunggal," katanya.
Senada dengan Hadianti dan Firman, dokter Iwan Gunawan Kusmahani yang praktik di fasilitas kesehatan tingkat pertama rawat jalan menyampaikan kesan positif terhadap Ivermectin. "Saya menggunakan Ivermectin setelah membaca berbagai literatur, baik jurnal maupun anjuran-anjuran WHO," katanya. "Saya mulai pakai Ivermectin pada Juni 2021."
Sekitar satu bulan terakhir, Iwan menangani 38 pasien Covid-19 berdasarkan hasil tes swab antigen maupun PCR. Dari semua pasien itu, ada empat orang yang tidak dia beri Ivermectin karena dua di antaranya masih anak-anak dan dua lainnya menolak.
Menurut dia, sebagian besar pasien sudah tahu kalau obat ini kontroversial. Sebab itu Iwan menjelaskan dulu apa itu Ivermectin yang dikenal sebagai obat parasit dan membuat surat pernyataan bahwa pasien setuju menggunakan Ivermectin sebagai terapi obat. "Saya cuma meresepkan dua obat, yakni Ivermectin dan vitamin D3," ucapnya.
Selebihnya simtomatis atau penanganan sesuai gejala. "Kalau demam minum parasetamol, batuk minum obat batuk apa saja yang terjangkau," ucapnya. Tak lupa imbauan untuk menerapkan gaya hidup sehat, makan makanan bergizi, berhenti merokok bagi perokok, dan berjemur sinar matahari 15 menit setiap pagi.
Iwan mengatakan ada satu kasus pasien Covid-19 menarik yang dia tangani. Pasien itu adalah laki-laki berusia 64 tahun, tidak ada riwayat komorbid, tapi perokok aktif selama 30 tahun, dan berhenti lima tahun terakhir. Saat berobat, saturasi oksigen pasien ini menujukkan angka 88. Beberapa hari sebelumnya bahkan sampai 82. Sudah hilang kemampuan penciuman dan mual.
Hasil swab PCR pasien tersebut pada 14 Juli 2021 menunjukkan positif Covid-19 dengan CT 23, yang artinya infeksius. Status sosial ekonomi menengah ke bawah dan tinggal di wilayah zona merah di Jakarta Timur. Di lingkungannya juga banyak pasien Covid-19, baik yang satu RT maupun beda RT.
"Saya bilang, bapak harus ke UGD. Tetapi pasien menolak," kata Iwan. Pasien itu menyimak pemberitaan tentang kondisi di rumah sakit yang kolaps. "Enggak dok, saya enggak mau ke UGD. Nanti saya enggak diapa-apain, malah cepat mati," kata Iwan menirukan ucapan pasien tersebut.
Kemudian Iwan meminta pasien tersebut menandatangani pernyataan menolak dirujuk ke rumah sakit. "Dia mau," katanya. Iwan lantas mengedukasi pasien tersebut untuk menjalani isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Dia hanya meresepkan Ivermectin dan vitamin D3 untuk meningkatkan imunitas.
Pasien itu tanda tangan lagi pada surat pertanyaan persetujuan penggunaan Ivermectin sebagai terapi obat dan sudah mendapatkan informasi dari dokter dengan jelas dan detail. Ivermectin dikonsumsi sehari sekali pada pagi hari setelah makan dan vitamin D3 dua kali sehari pada pagi dan sore. "Saya beri Ivermectin untuk lima hari," katanya.
Iwan minta nomor telepon pasien tersebut supaya bisa memantaunya dari jauh. Menurut Iwan, satu hari setelah mengkonsumsi Ivermectin, saturasi oksigen pasien tersebut naik menjadi 92. Hari ketiga, tubuhnya sudah kembali bugar, hanya penciuman belum pulih betul. Pada hari kelima saat obat sudah habis, saturasi oksigen 99.
Dari 38 pasien yang dia tangani, sebanyak 20 pasien melapor telah menjalani tes Covid-19 pada hari kedelapan hingga kesepuluh setelah menggunakan Ivermectin, dan hasilnya negatif Covid-19. Perlu diingat, menurut Iwan, tidak semua pasien menjalani tes Covid-19 setelah isolasi mandiri karena kendala finansial.
Iwan melanjutkan, untuk pasien bergejala ringan, dia mencoba memberikan penanganan dengan Ivermectin sesuai persetujuan pasien dan disertai edukasi. "Saya berusaha mencegah banyak rujukan ke rumah sakit," katanya. Namun kalau kondisinya sedang sampai berat, tentu akan dirujuk ke rumah sakit.
Untuk pasien Covid-19 dengan status ekonomi menengah ke bawah, menurut Iwan, penggunaan Ivermectin dengan vitamin D3 tidak terlalu memberatkan. Dia mengecek di apotek, harga Ivermectin untuk lima hari dan vitamin D3 untuk sepuluh hari tak sampai Rp 200 ribu. "Semua penyakit ada obatnya, kecuali dua: tua dan maut," ucapnya.
Penggunaan Ivermectin sebagai obat Covid-19 memang masih menjadi kontroversi. Seperti diketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM belum mengeluarkan persetujuan izin edar Ivermectin untuk penanganan pasien Covid-19. Musababnya, Ivermectin adalah obat keras dan baru mendapat persetujuan Expanded Access Program, bukan persetujuan izin edar.
"Maka ditekankan kepada industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan pihak manapun untuk tidak mempromosikan obat tersebut, baik kepada petugas kesehatan maupun kepada masyarakat," demikian pernyataan resmi BPOM pada Rabu, 21 Juli 2021.
Saat ini, Badan Pengkajian Kebijakan Kesehatan Kementerian Kesehatan sedang melakukan uji klinik terhadap Ivermectin untuk memperoleh data kegunaan dan keamanan dalam menyembuhkan Covid-19.
SUMBER: TEMPO.CO