SUKABUMIUPDATE.com - Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran terberat pada bayi. Ini dapat berupa tuli sebagian maupun total yang disebabkan oleh riwayat kehamilan dan kelahiran.
Menurut Hably Warganegara, dokter spesialis THT, bedah kepala dan leher Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, di Indonesia terdapat sekitar 5.000 bayi yang lahir dengan risiko penyakit ini setiap tahun. Sayangnya, gangguan ini tidak dapat langsung dideteksi.
Menyambut World Hearing Day pada 3 Maret mendatang, Hably menjelaskan cara sederhana bagi orang tua untuk mendeteksi gangguan ini pada bayi.
Menurutnya, hal pertama yang akan dialami anak adalah ketidakmampuannya untuk berbicara di usia lebih dari satu tahun. “Umumnya, anak usia satu tahun sudah bisa berbicara. Kalau mereka mengalami kesulitan untuk mengucap kata, misalnya 'mama' dan 'papa' saja, ada kemungkinan bahwa ia mengalami tuli kongenital,” katanya dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu, 27 Februari 2019.
Selain belum bisa berbicara, cara lainnya adalah memperhatikan refleksnya terhadap suara. Menurut dokter Hably, penderita tuli kongenital akan menunjukkan refleks moro atau kaget saat mendengar suara yang keras. “Kagetnya itu selain badannya bergetar dan kedua tangannya juga akan ikut terangkat,” katanya.
Lebih dari itu, hal lain yang dapat Anda deteksi adalah kebiasaan bayi untuk auropalpebra atau sering mengejapkan mata, grimacing atau mengerutkan wajah, berhenti menyusu, bernapas, dan ritme jantungnya menjadi lebih cepat.
Namun, untuk memastikan kebenarannya, dokter Hably pun menyarankan untuk melakukan skrining pendengaran oto accoustic emission atau OAE. “Kalau bisa, sedini mungkin untuk melakukan skrining OAE untuk mengetahui apakah memang benar anak Anda mengalami tuli kongenital atau tidak,” katanya.
Sumber: Tempo