SUKABUMIUPDATE.com - Depresi terjadi karena tekanan mental yang dihadapi. Namun bukan tak mungkin obat-obatan biasa berkontribusi terhadap depresi dan meningkatnya angka bunuh diri.
Dikutip New York Times, lebih dari sepertiga orang Amerika Serikat setidaknya minum obat biasa yang punya potensi efek samping depresi. Berdasarkan studi terbaru, pengguna obat-obatan seperti itu punya risiko depresi lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsinya.
Banyak pasien yang mengkonsumsi lebih dari satu obat umum, yang punya efek samping depresi. Studi tersebut menemukan bahwa risiko depresi meningkat seiring bertambahnya jumlah obat yang dikonsumsi bersamaan.
Sekitar 200 obat umum bisa menyebabkan depresi, di antaranya proton pump inhibitors untuk mengobati asam lambung, beta-blockers untuk mengobati tekanan darah tinggi, pil KB dan kontrasepsi darurat, antikonvulsan seperti gabapentin, kortikosteroid seperti prednisone, hingga ibuprofen. Sebagian obat ini dijual bebas di apotek.
Efek samping depresi diketahui pada beberapa obat, seperti beta-blockers dan interferon, tapi penulis studi tak menyangka ada banyak obat yang menyebabkan risiko depresi.
"Sungguh mengejutkan dan mengkhawatirkan karena banyak obat yang punya efek samping depresi atau gejala bunuh diri mengingat beban depresi dan tingkat bunuh diri di negara ini," kata Dima Mazen Qato, asisten profesor dan apoteker di Universitas Illinois di Chicago, yang merupakan penulis utama makalah yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association ini.
Dia mengakui masih ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Selain itu, kata dia, penelitian hanya menunjukkan korelasi, bukan hubungan sebab-akibat.
“Kami tidak membuktikan bahwa penggunaan obat-obatan ini dapat menyebabkan seseorang yang sehat menderita depresi atau punya gejala bunuh diri. Namun kami melihat pola respons dosis yang mengkhawatirkan. Makin banyak obat-obatan yang memiliki efek buruk yang Anda konsumsi secara bersamaan, makin tinggi risiko depresi,” ujar Qato.
Para peneliti menggunakan database besar yang mewakili nasional, National Health and Nutrition Examination Survey, untuk menganalisis obat-obatan yang dipakai sampel dari lebih dari 26 ribu orang Amerika dewasa pada 2005-2014. Mereka meneliti efek samping obat-obat yang dijual bebas sampai terkumpul daftar berisi lebih dari 200 obat dengan potensi efek samping depresi.
Di antara pasien yang mengkonsumsi obat berefek samping depresi tapi tidak mengkonsumsi obat antidepresi, 6,9 persen di antaranya mengalami depresi. Adapun tingkat depresi pasien yang mengkonsumsi tiga atau lebih banyak obat dengan efek samping itu adalah 15,3 persen. Sebaliknya, pasien yang tidak mengkonsumsi obat apa pun punya tingkat depresi 4,7 persen.
Para peneliti menyesuaikan faktor risiko lain yang bisa menyebabkan depresi, termasuk kemiskinan, status pernikahan, tak punya pekerjaan, dan kondisi medis tertentu, seperti sakit kronis, yang memang diasosiasikan dengan depresi.
Dr Philip R. Muskin, profesor psikiatri di Pusat Medis Universitas Columbia dan sekretaris Asosiasi Psikiater American, mengatakan praktisi kesehatan harus terus mengingatkan efek samping ini ketika meresepkan obat dan bertanya apakah pasien atau keluarganya pernah punya sejarah depresi.
Namun ia mengatakan sulit menyimpulkan peningkatan konsumsi obat dan kombinasi dengan obat dengan efek samping, termasuk depresi, punya dampak pada masyarakat.
"Ada peningkatan kasus bunuh diri yang kita tahu," ucap Muskin. "Apakah ini berhubungan dengan penggunaan obat-obat ini? Jawaban jujurnya adalah kita tidak tahu. Apakah ini punya peran? Jawaban jujurnya adalah iya, tentu berperan."
Sumber: Tempo