SUKABUMIUPDATE.com – Pasien penyakit ginjal kronik (PGK) umumnya tertular hepatitis C melalui hemodialisa atau cuci darah. "Meskipun sampai saat ini masih belum jelas di tahap mana terjadinya penularan," kata Dokter spesialis penyakit dalam Rino Alvani Gani dalan siaran pers, Jumat, 8 September 2017.
Rino yang menjadi Ketua Komite Ahli Hepatitis di Kementerian Kesehatan ini menjelaskan di negara maju seperti di Jepang, hanya sekitar 1-5 persen saja kasus penularan hepatitis C melalui proses hemodialisa. "Tapi, di Indonesia angkanya sangat besar mencapai 30-60 persen," ujarnya.
Menurut Rino, keparahan penyakit dan kualitas hidup pasien PGK yang tertular hepatitis C umumnya jauh lebih buruk dibandingkan mereka yang memiliki PGK saja. "Angka harapan hidup juga lebih rendah," ujarnya.
Untuk itu, Rino melanjutkan, kelompok pasien ini, harus lebih diperhatikan terutama terkait terapinya. Rino menyarankan, untuk menurunkan risiko tertular hepatitis, sebaiknya pasien PGK melakukan hemodialisa di satu tempat hemodialisa saja. "Tidak berpindah-pindah," ujarnya. Selain itu, pihak penyedia layanan hemodialisa sebaiknya mengunakan alat-alat sekali pakai (disposable).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Woworuntu menjelaskan, setidaknya 15 persen penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis C. Kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun, namun untuk kelompok usia 35-39 saat ini cenderung ada kenaikan.
"Ini adalah kelompok usia produktif, yang tentu akan membawa dampak yang lebih besar," kata Wiendra.
Wiendra menjelaskan, hepatitis C ditularkan melalui kontak darah, oleh karena itu skrining harus diprioritaskan pada kelompok yang berisiko. "Seperti pengguna narkoba suntik, pasien hemodialisa, keluarga pengidap hepatitis C, penerima transfusi darah, tenaga kesehatan, pasien cangkok organ, dan lainnya," ujarnya.
Sumber: Tempo