SUKABUMIUPDATE.com - Ganja sedang ramai diperbincangkan setelah pegawai negeri sipil (PNS) di Sanggau, Kalimantan Barat, Fidelis Ari Sudarwoto ditangkap BNNK Sangau. Dia ditangkap karena diduga menanam dan memiliki ganja.
Fidelis mengaku menanam ganja untuk obat istrinya yang menderita sakit Syringomyelia atau munculnya kista di sumsum tulang belakang. Istrinya pun meninggal setelah Fidelis ditangkap karena diduga tak mendapatkan asupan ganja.
Ganja adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal sebagai obat psikotropika karena adanya kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia atau rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab. Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuana.
Lalu, benarkah ganja dapat menjadi pengobatan? Dokter Yoland, Kepala Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, mengatakan zaman dahulu di Cina dan negara lain, memang dikabarkan ganja dipakai untuk menghilangkan rasa sakit. "Beberapa penelitian pada hewan juga menunjukan itu," kata Yoland, kepada Tempo, Senin, 3/4.
Yoland menjelaskan, penelitian pada hewan itu menyatakan ganja dapat menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu. "Tapi, kenyataannya ganja sangat berbahaya untuk kesehatan terutama kesehatan otak," ujarnya.
Karena alasan itu, beberapa negara termasuk Indonesia melarang penggunaan ganja untuk pengobatan. "Jadi, di Indonesia tidak menggunakan ganja untuk pengobatan. Kalau ada, itu berarti ilegal," kata Yoland.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Ari Fahrial Syam mengatakan canabis atau ganja memang bisa digunakan untuk obat. "Tapi, dengan cara dimakan bukan dihisap," kata Ari.
Menurut Ari, penggunaan ganja sebagai obat adalah obat herbal. "Tidak bisa diukur (penggunaannya) karena itu kan hrebal. Secara kepustakaan memang bisa digunakan obat," ujarnya.
Penggunaannya seperti daun jambu yang dipercaya untuk mengobati sakit mencret. "Kalau sudah ada ekstraknya berarti sudah terbukti, saya engga tahu ada tidak ganja ekstraknya yang dijual dan boleh dikonsumsi," kata dia.
Â
Sumber: Tempo