SUKABUMIUPDATE.com - Nyaris berdekatan waktunya, Uni Eropa (UE) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengeluarkan aturan terkait penggunaan bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada kemasan makanan dan minuman.
UE mengumumkan kebijakan pelarangan BPA pada Juni 2024, sedangkan BPOM mengeluarkan regulasi khusus hanya tentang pelabelan pada kemasan galon isi ulang pada April 2024.
Sebanyak 27 negara maju yang bergabung dalam UE tegas menyatakan, BPA sudah tidak boleh lagi digunakan mulai akhir tahun 2024.
“Setelah periode phase-out, bahan kimia (BPA) tersebut tidak akan lagi diizinkan digunakan dalam produk-produk (kemasan makanan dan minuman) di Uni Eropa,” demikian paparan rilis Uni Eropa bulan lalu.
Secara praktis, larangan penggunaan BPA, bahan yang digunakan di dalam makanan kaleng, botol air minum, gelas plastik, dan baki, tetapi dianggap berbahaya untuk sistem kekebalan tubuh oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), akan dimulai pada akhir tahun 2024. Perusahaan diberi waktu transisi selama 18 hingga 36 bulan untuk mematuhi larangan ini.
Baca Juga: KKI Sambut Aturan Baru Label Bahaya BPA, Desak BPOM Lakukan Sosialisasi
Tegasnya UE agak berbeda dengan BPOM yang jauh lebih lunak. Walau sebelumnya, BPOM menyebutkan galon polikarbonat paling banyak beredar di masyarakat dengan persentase 96% dari total galon air minum bermerek yang beredar.
Berdasarkan data pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi selama 2021-2022, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm meningkat berturut-turut hingga 4,58 persen. Begitu pun dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm, meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.
Pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, terdapat dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko BPA pada kemasan AMDK, yaitu 48a dan 61a.
Namun, BPOM tidak melakukan perubahan pada ambang batas migrasi BPA ke dalam air minum. BPOM juga hanya mengeluarkan regulasi yang mengatur label peringatan untuk kemasan galon isi ulang, dan tidak melarang penggunaan BPA sama sekali. Berbeda dengan UE, BPOM juga memberikan grace period yang sangat lama untuk pengusaha AMDK, yakni sampai empat (4) tahun sejak regulasi diberlakukan.
Sebagai langkah preventif, EFSA sebelumnya secara ekstrem telah memperketat syarat aman jumlah angka asupan harian yang dapat ditoleransi (total daily intake/TDI) - jumlah zat dalam makanan yang dianggap aman bagi manusia, yakni -sebesar 0,2 nanogram per kilogram (ng/kg) berat badan per hari.
Toleransi BPA yang boleh masuk ke tubuh manusia ini diperketat hingga puluhan ribu kali lipat jadi jauh lebih rendah, yaitu sekitar 20.000 kali, dari TDI sebelumnya yang direkomendasikan pada tahun 2015 sebesar 4000 nanogram atau 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Larangan BPA akan berlaku untuk bahan yang bersentuhan langsung dengan makanan dan minuman, seperti lapisan dalam kaleng logam, serta untuk barang-barang konsumen seperti peralatan dapur, piring, botol minum plastik, dan dispenser air.
Menurut EFSA, BPA yang menjadi campuran plastik kemasan atau wadah dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Sejak tahun 2011, UE sudah duluan melarang penggunaan BPA dalam botol bayi dari jenis plastik keras polikarbonat. Berlanjut pada tahun 2016, UE juga melarang penggunaan BPA dalam kertas penerimaan termal, dan pada tahun 2018 UE memberlakukan pembatasan lebih lanjut pada penggunaan BPA dalam botol dan wadah bayi dan anak-anak, cat, dan pelapis.
Sementara itu, regulasi label peringatan BPA di Indonesia dituangkan dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Salah satu pasal dalam regulasi ini berbunyi: “Air minum dalam kemasan yang menggunakan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan pada label kemasan, yaitu ‘dalam kondisi tertentu,… kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan”.
Profesor Junaidi Khotib, Ahli Farmakologi dari Department Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, menyambut gembira keluarnya regulasi terbaru BPOM tentang label peringatan BPA pada kemasan galon isi ulang tersebut.
“Peraturan ini juga menjadi media yang baik dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait produk yang digunakan. Masyarakat dituntut dapat memilih produk dengan bijak untuk kesehatannya sendiri,” katanya, sambil menegaskan bahwa ini adalah bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat sebagai pengguna produk AMDK.
Sejauh ini, merujuk Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi BPA di dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat belum direvisi, yakni masih di level 0,6 PPM.
Padahal banyak negara lain sudah bergerak lebih maju, karena batas maksimum migrasi BPA sudah direvisi menjadi lebih rendah, yakni 0,05 PPM dari semula 0,6 PPM. Maknanya, bila dibandingkan UE , tentu saja kebijakan BPOM sangat jauh lebih lunak.