SUKABUMIUPDATE.com - Menurut Child Mind Institute, gejala ADHD dapat menyebabkan tantrum, sehingga membuat anak menjadi frustasi karena bosan, sulit berkonsentrasi, atau sulit mengatur perasaannya.
Tantrum bisa menjadi perilaku normal pada anak kecil ketika ia dalam tahap perkembangan tertentu. Kondisi ini juga dapat terjadi pada anak-anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), meskipun hal tersebut bukan merupakan gejala dari kondisi tersebut.
Mari simak lebih dalam mengenai ADHD dan tantrum. Sebagaimana telah dilansir dari situs resmi medicalnewstoday apakah tantrum merupakan gejala dari ADHD?
Baca Juga: Minyak Ikan Bermanfaat Meredakan Gejala ADHD Pada Anak, Apakah Benar?
Tantrum pada anak biasanya terjadi sekitar usia 12 bulan, dan seringkali mencapai puncaknya ketika si kecil memasuki usia 2-3 tahun. Dan hal ini dapat berlanjut hingga usia lima tahun.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa tantrum merupakan perilaku normal saat anak dalam tahap perkembangan dan pertumbuhan, karena mereka belum dapat menyampaikan apa yang diinginkan melalui pembicaraan.
Namun tantrum juga bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk menilai apakah anak mengalami ADHD atau tidak.
Anak yang menderita gangguan ADHD biasanya mereka mudah kejang, kesulitan berkonsentrasi saat sekolah, sulit berkomunikasi, sulit mengelola emosi, sehingga menyebabkan rasa marah hingga stres. Dan hal ini dapat memicu anak ADHD menjadi tantrum.
Baca Juga: 6 Dampak Positif Tantrum Untuk Mental Anak, Bund Yuk Simak!
Mengapa Tantrum Bisa Terjadi?
Tantrum merupakan ledakan emosi yang dapat terjadi pada setiap anak karena:
- Kesulitan mengungkapkan perasaan dan yang mereka pikirkan
- Merasa takut, marah, atau sedih
- Kebutuhan fisik yang tidak terpenuhi, seperti kelaparan atau kelelahan (kekurangan energi)
- Penguatan sebelumnya, yang terjadi ketika pengasuh sebelumnya menyerah pada tantrum
- Bukanlah cara alternatif untuk mengelola emosi
Anak dengan ADHD juga dapat mengalami hal yang sama ketika merasa stres dan marah. Namun ada beberapa alasan lain kenapa ADHD mengalami tantrum:
Baca Juga: 5 Dampak Positif Homeschooling Untuk Anak ADHD, Yuk Kenali
- Hiperaktif :Gejala ini mungkin membuat anak penderita ADHD sulit untuk diam, atau menghindar dari kebosanan. Jika mereka tidak dapat menyalurkan energi yang dimiliki, mereka mungkin merasa tidak sabar atau kecewa, sehingga mengalami tantrum
- Impulsif : tidak mampu mengendalikan impuls dapat menyebabkan anak penderita ADHD menghadapi kesulitan di sekolah. Jika guru atau teman sekelas lainnya tidak memahami perilaku tersebut. Hal ini mungkin menyebabkan anak merasa bersalah, malu, atau merasa ada yang tidak adil.
- Kurangnya perhatian : Jika seorang anak merasa sulit berkonsentrasi, mengingat sesuatu, atau menepati jangka waktu tertentu, mereka mungkin merasa stres karena merasa tidak diperhatikan oleh orang tua maupun sahabatnya.
- Efek samping pengobatan : Stimulan adalah pengobatan umum untuk anak pengidap ADHD. Namun pada beberapa anak, hal ini bisa menyebabkan sakit kepala, sakit perut, atau sulit tidur. Tantangan tambahan ini mungkin meningkatkan anak-anak penderita ADHD untuk mengelola perasaannya.
Baca Juga: Ciri-Ciri Anak Tantrum yang Melewati Batas: Bunda Jangan Emosi!
Apakah Ada Perbedaan Pada Tantrum Biasa dengan Tantrum Karena ADHD?
Tantrum pada anak penderita ADHD tidak jauh berbeda dengan tantrum anak normal pada umumnya. Namun hal itu akan jauh lebih sering terjadi pada anak ADHD dan menyebabkan anak menjadi mudah marah, menantang, atau agresif, terutama jika anak tersebut sering berinteraksi negatif dengan orang dewasa.
Pola tantrum tertentu bisa menjadi tanda bahwa tantrum tersebut tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Hal ini termasuk:
- Tantrum yang sering terjadi lebih dari lima kali sehari.
- Amukan yang berlangsung lebih dari 15 menit.
- Anak di atas usia 5 tahun sering tantrum
- Pengaruh merasa tidak mampu untuk menjaga si kecil supaya tetap aman saat mengamuk.
- Agresif ekstrim, seperti menghancurkan barang-barang rumah tangga atau agresi fisik terhadap orang lain.
Baca Juga: 10 Cara Self Healing Untuk Mengobati Luka Batin, Yuk Lakukan Sekarang!
Apabila si kecil berperilaku seperti ini, ada baiknya berkonsultasi dengan dokter anak atau psikolog anak untuk meminta saran dan pertolongan.