SUKABUMIUPDATE.com - Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menyatakan ancaman Bisphenol A (BPA) semakin nyata.
Menurut dia, hal tersebut berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa BPA yang dipakai industri plastik untuk wadah minuman dan makanan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Dalam paparan modul presentasi soal ancaman BPA pada resiko gangguan kesehatan manusia menyebutkan, Industri yang memakai wadah makanan dan minuman plastik diolah BPA harus segera mengganti dengan wadah yang lebih aman.
Dalam hal ini, Pandu menyatakan pemerintah bersama dengan ilmuwan perlu mengedukasi dan menginformasikan tentang ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan publik yang dihasilkan dari BPA.
“Keselamatan publik itu prioritas kita semua. Jejak bisphenol A atau BPA, bahan kimia yang digunakan dalam produksi plastik, banyak terdeteksi di tubuh dan lingkungan kita, “jelas Pandu Riono saat dihubungi, Selasa, 14 Juni 2022.
“BPA kan bisa membuat plastik jernih, sayangnya wadah yang dibuat dari BPA itu akan berpindah ke makanan dan minuman. Hal itu terbukti hasil penelitian, kandungan BPA sudah ditemukan di cairan kemih manusia dan pada binatang dan itu bahaya, “jelasnya.
BPA bisa menimbulkan gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan otak. Sehingga tak sedikit negara yang menghentikan penggunaan BPA dan hal itu diperkuat dengan adanya larangan BPA.
“Diluar sana sudah ada aturan pelarangan BPA, sehingga kemasan tidak lagi menggunakan BPA, hanya plastik saja. Bahkan disana setiap plastik atau botol diberikan label Free BPA (Tanpa BPA) dan mengandung BPA, tujuannya untuk edukasi masyarakat,” ungkapnya.
Dirinya juga bertanya, kenapa di negara luar sudah dilakukan di Indonesia tidak. Dia menyatakan, BPOM sudah mengagendakan kegiatan edukasi kepada masyarakat dan memberikan label pada wadah minuman yang mengandung BPA serta yang tidak mengandung BPA. Tapi, pihak industri menolaknya dengan alasan bisa merugikan penjualan.
“Ya mereka [industri] menolak, karena berfikir akan merugikan. Padahal nggak sih, seperti rokok kan ada label soal peringatan bahaya kesehatan. Tapi masih banyak kok yang merokok dan cenderung tidak berkurang,” ujarnya.
Pandu menegaskan pemerintah sudah seharusnya menginformasikan kepada masyarakat dan perusahaan khususnya yang menggunakan galon plastik, misalnya pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) seperti perusahaan Danone.
Pandu mengatakan di negara asal perusahaan Danone yaitu Prancis sudah mengganti semua tempat minumannya dengan yang tanpa BPA. Dia pun heran kenapa negara berkembang berlaku berbeda.
“Ya harusnya sama dong Free BPA, mereka [negara luar] kan sudah melakukan itu. Kenapa ini baru wacana label saja sudah menolak. Mungkin bertahap ya, pertama label dulu, agar tidak merugikan semua pihak, tetapi intinya masyarakat juga harus dilindungi, itu point pentingnya," ujarnya.
Dia mengungkapkan, awalnya semua setuju proses itu namun tiba-tiba semua berubah.
"Tiba-tiba di sekretariat kabinet karena ada lobi dari industri minuman itu dan mereka seakan akan memperhitungkan kerugian ekonomi, takut ada yang beli, padahal itu tidak ada bukti apa-apa. Hanya alasan mereka saja, kemudian dikaitkan dengan pandemi hingga pemulihan ekonomi dan macam-macam alasannya," tegasnya.
Lebih lanjut Pandu mengatakan saat 90 persen industri dikuasai oleh Danone maka mungkin mereka bisa melobi pemerintah, karena politik plastik ini lebih rumit. Dirinya juga menuding bahwa pelaku industri selalu memainkan pemerintah dengan dana-dana besar.
Dalam hal ini, Pandu menyatakan pelaku industri tidak usah terlalu menyikapi dengan hal-hal berlebihan.
"Memberi label saja tidak usah terlalu berlebihan pihak industri bersikap," jelasnya.
Menurutnya, BPA adalah senyawa sintetis untuk pengerasan dan pembersihan plastik polikarbonat. BPA diklasifikasikan sebagai bahan kimia pengganggu endokrin mirip estrogen. Dalam dekade terakhir, perhatian telah muncul di bidang ilmiah masyarakat bahwa tidak aman menggunakan bahan kimia ini di terutama plastik polikarbonat.
Paparan BPA dimulai pada periode prenatal, yang merupakan periode kritis untuk efek toksiknya pada organ yang berbeda.
“Bahwa sains saja tidak dapat menyelesaikan konflik politik dan ekonomi yang terjadi di definisi keselamatan. Untuk mencapai keseimbangan yang berkelanjutan antara kepentingan perdagangan dan kesehatan masyarakat membutuhkan pengakuan bahwa kepentingan yang kuat akan selalu mencoba membentuk kriteria untuk mendefinisikan keselamatan, dan bahwa agenda penelitian kesehatan lingkungan harus dilindungi dari penangkapan oleh kepentingan tunggal maupun kelompok,” ujarnya.
Adapun untuk resiko BPA pada gangguan kesehatan manusia, berdasarkan studi yang dilakukan pada model Reproduksi Pria dihasilkan bahwa akibat BPA berpotensi mengidap penyakit ginjal, gangguan perkembangan penyakit saraf, gangguan pada janin, bayi dan anak-anak.
“Berdasarkan hasil penelitian soal keamanan BPA yang ditimbulkan terjadi efek seperti estrogennya bahkan pada dosis rendah, “tegasnya.