SUKABUMIUPDATE.com - Pada 26 Desember 2004, tepat 20 tahun lalu, terjadi bencana dahsyat di Aceh. Gempa bermagnitudo 9.1 diikuti tsunami meluluhlantakkan hampir seluruh Aceh dan merusak banyak bagian di 13 negara lain mulai Sri Lanka sampai Somalia di Afrika.
Mengutip laporan berita tempo.co, sebanyak 227 ribu lebih korban meninggal dan 45 ribu hilang. Sementara korban luka-luka mencapai 280 ribu orang. Tsunami setinggi 15 meter hingga 50 meter di kawasan Lhoknga, menimbulkan kerugian material hingga Rp51 triliun.
Lebih dari 100 ribu rumah sejauh lima kilometer dari bibir pantai di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat, hancur diterjang air bah. "Air laut naik" menerjang permukiman mereka, Minggu, 26 Desember 2004 sekira pukul 8.45 WIB.
Beberapa hari kemudian, kata tsunami baru populer di Aceh setelah relawan berdatangan ke sana, dan peristiwa itu diekspos oleh media nasional dan internasional. Masyarakat dilanda trauma dan ketakutan karena gempa masih mengguncang setiap sekitar 20 menit, yang diperparah oleh terputusnya saluran komunikasi dan aliran listrik.
Mayat-mayat bergelimpangan karena evakuasi berjalan tersendat. Mereka yang cedera harus bersabar menahan rasa sakit karena tak tertangani dengan baik akibat tidak seimbangnya paramedis dengan jumlah korban. Jalan-jalan di pesisir tertutup tumpukan puing-puing bangunan dan pohon-pohon besar yang hancur sehingga menutup akses relawan dalam mengevakuasi jasad dan mereka yang terluka.
Baca Juga: 26 Desember 2004: Dua Dekade Tsunami Aceh, Kenangan Duka yang Mendalam
Di beberapa ruas jalan, kapal-kapal nelayan terdampar di daratan karena dihempaskan air laut, termasuk PLTD Apung yang masuk sampai permukiman penduduk. Begitu juga tongkang pengangkut batu bara terseret sampai jalan raya Banda Aceh-Meulaboh.
Bantuan berdatangan dari seluruh dunia. Hanya sepekan dari bencana itu, daerah yang sebelumnya "seram" akibat konflik bersenjata, berubah hiruk pikuk oleh para pekerja kemanusiaan dari berbagai provinsi di Indonesia dan lintas negara serta militer asing yang berdatangan membantu korban tsunami di Serambi Mekah itu.
Sebelum bala bantuan internasional tiba di Banda Aceh, sejumlah gajah jinak BKSDA dikerahkan untuk menyingkirkan dan membersihkan puing-puing yang menimbun rumah-rumah penduduk. Sekitar sepekan setelah tsunami, Banda Aceh yang semula menjadi "kota mati" akibat tsunami, mendadak ramai dipenuhi tentara dan pekerja kemanusiaan nasional serta asing.
Sejumlah zona aman tsunami dipenuhi tenda-tenda darurat untuk menampung korban, termasuk mereka yang terluka. Sementara lainnya ditampung di rumah penduduk dan masjid di kawasan aman tsunami.
Minggu pagi itu tanggal 26 Desember, 20 tahun silam, masyarakat beraktivitas normal seperti biasa. Mereka berolahraga, berjalan kaki, berlari-lari kecil, sedangkan para pedagang mulai membuka usaha di sepanjang Jalan Hasan Dek Beurawe di Kota Banda Aceh.
Anak-anak bersuka cita, lari bersama orang tua mereka, termasuk yang tengah berada di Pantai Ulee Lhue. Ada yang hanya duduk santai sembari menghirup minuman kopi dan teh. Sebagian lagi berenang di pinggir laut.
Sudah menjadi tradisi di Aceh, pagi hari setelah menunaikan salat subuh, lelaki berkumpul di warung-warung kopi. Di sana ada istilah, "meski sudah disiapkan kopi oleh istri, kopi pagi belum lengkap sebelum ke warung".
Para lelaki di Aceh gemar berkumpul di warung kopi karena di sana ada beribu cerita, mulai soal politik, sosial, sampai soal ekonomi. Semuanya dengan mudah diperoleh di warung kopi, meski yang diminum hanya secangkir kopi.
Tetapi pagi itu berbeda. Gempa dahsyat merusak kenormalan. Para pria di warung kopi yang asyik bercerita tentang situasi terkini Aceh, berhamburan keluar. Suasana makin kalut, kala gelombang tsunami kemudian menerjang.
Saat itu Aceh lagi dipanaskan oleh konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang eskalasinya semakin luas.
Namun, hari itu suasananya sungguh berbeda. Polisi bersenjata lengkap berlarian bukan hendak memburu kelompok sipil bersenjata, tetapi berusaha menyelamatkan diri karena tsunami dari arah pantai, yang terjadi tak lama setelah gempa.
Truk yang biasanya berpenumpang tentara atau polisi, kini disesaki warga sipil. Bukan takut karena konflik, melainkan oleh dahsyatnya bencana alam. Perhatian Aceh yang semua diselimuti trauma konflik bersenjata, seketika beralih kepada gempa dan tsunami.
Beberapa aparat keamanan hanya berjalan dan terduduk diam membisu. Sambil tetap menenteng senjata api, hati mereka terguncang oleh bencana sedahsyat itu. Semua menjadi korban, tua dan muda, tak mengenal status, dari orang biasa, tentara, polisi, sampai pejabat.
Mewaspadai Gempa Megathrust
Pusat gempa terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia. Guncangan gempa tersebut berskala 9.1 hingga 9.3 magnitudo dan IX (Hebat) dalam Skala intensitas Mercalli. Ini merupakan gempa megathrust, yakni gempa berkekuatan sangat besar yang terjadi di zona subduksi, yaitu wilayah di mana salah satu lempeng tektonik bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya.
Kedua lempeng tersebut terus bergerak saling bersinggungan namun menjadi terjebak di tempat mereka bersentuhan, sehingga membuat adanya penumpukan regangan yang melebihi gesekan antara dua lempeng.
Gempa megathrust bisa menyebabkan terjadinya tsunami karena adanya gerakan dorongan besar hingga menimbulkan pergerakan vertikal besar di dasar laut yang bergerak memindahkan sejumlah besar air dan menjauh dari gerakan bawah laut. Aktivitas ini menjadikannya sebagai tsunami.
Indonesia memiliki banyak zona subduksi itu, yang membentang dari ujung Pulau Sumatra hingga Papua. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen) pada 2017 mendapati Indonesia dikelilingi sebanyak 13 zona megathrust, terdiri dari zona megathrust segmen Selat Sunda sebagian terbentang di selatan Jawa hingga Bali, segmen Mentawai-Siberut di barat Sumatra, segmen Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, segmen utara Sulawesi dan utara Papua.
Direktur Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan bahwa dari 13 segmen zona megathrust itu, perhatian paling serius tertuju pada segmen Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Kedua segmen tersebut menyimpan potensi gempa dengan kekuatan dahsyat yang bisa mengancam keselamatan warga yang hidup di atasnya.
Banyak ahli lainnya yang mengemukakan bahwa pada kawasan itu didapati sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Seismic gap ini harus diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang terjadi sewaktu-waktu.
Untuk segmen Mentawai-Siberut di sebelah barat Sumatra, berpotensi memicu gempa berkekuatan hingga 9.0 magnitudo yang dapat menghasilkan gelombang pasang tsunami lebih dari 10 meter. Peringatan serupa pun diberikan untuk segmen Selat Sunda yang terbentang antara Pulau Jawa dan Sumatra.
Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, mengatakan setelah Gempa Aceh 2004, beberapa segmen megathrust telah mencetuskan energinya, seperti yang terjadi lewat Gempa Nias, Gempa Bengkulu, Gempa Pangandaran, dan Gempa Pacitan.
Berdasarkan estimasi gempa besar maksimum dari Pusat Studi Gempa Nasional, segmen Aceh-Andaman telah pecah pada 2004 lewat gempa bermagnitudo 9.2. Adapun segmen Nias-Simeuleu maksimal bermagnitudo (Mmax) 8.9.
Sementara potensi gempa megathrust Segmen Kepulauan Batu adalah Mmax 8.2; segmen Mentawai-Siberut Mmax 8.7; Mentawai-Pagai Mmax 8.9; dan Enggano Mmax 8.8. Berbelok ke selatan Jawa, segmen megathrust Selat Sunda-Banten memiliki Mmax 8.8; segmen Jawa Barat Mmax 8.8; segmen Jawa Tengah-Jawa Timur Mmax 8.9.
Kemudian segmen Bali Mmax 9.0; segmen Nusa Tenggara Timur Mmax 8.7; Nusa Tenggara Barat Mmax 8.9; Laut Banda Selatan Mmax 7.4. Adapun segmen Sulawesi bagian utara punya potensi Mmax 8.5; dan segmen Filipina-Maluku Mmax 8.2.
Dengan kekuatan gempa sebesar itu dan lama guncangan yang dirasakan sekitar 20 detik, menurut Rahma, bisa sampai membuat orang sulit untuk berdiri. Dari hasil pemodelan tsunami juga diketahui, ketinggian air laut berkisar 5-20 meter di pesisir seperti di daerah Lebak, Banten. "Waktu kedatangan tsunami hingga sampai ke daratan berkisar 15-20 menit."
Nuraini Rahma Hanifa menyebutkan budaya siaga bencana telah ada sejak zaman nenek moyang tinggal di wilayah Nusantara.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2024, Nuraini mengatakan hal tersebut dibuktikan oleh adanya berbagai istilah lokal dalam menamai fenomena kebencanaan tertentu, seperti lindhu di Jawa yang berarti gempa, atau oni di Mentawai, Sumatra Barat, yang berarti gelombang tsunami.
"Itu yang harus kita gunakan dan jadi kultur kita, karena ini bukan hal baru sebetulnya. Nenek moyang kita sudah ada budaya hidup dalam dinamika alam. Ada bahasa lokal untuk gempa dan tsunami," katanya.
Sumber: Tempo.co