SUKABUMIUPDATE.com - Fenomena krisis pangan kini tengah mengancam berbagai negara di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) bahkan mengeluarkan peringatan keras kelaparan akut akan terjadi di 20 titik panas.
Melansir Direktrorat Jenderal Tanaman Pangan, krisis pangan didefinisikan sebagai kondisi kelangkaan pangan akibat kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan lingkungan iklim, bencana alam dan lingkungan konflik sosial dan perang.
Krisis pangan menurut FAO, merupakan kondisi peningkatan bahaya pangan akut dan malnutrisi secara tajam. Ini bisa berdampak mulai dari skala nasional hingga internasional.
Baca Juga: Konflik Manusia vs Gajah, Cerita Perempuan yang Suaminya Terinjak Satwa Liar
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam rilisnya menyebut, ancaman krisis pangan terjadi akibat laju perubahan iklim yang meningkat tajam. Ini sesuai dengan laporan World Meteorological Organization di akhir tahun 2022, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara dan State di seluruh dunia.
Di tahun 2050 potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim menjadi konsekuensi menurunnya hasil panen dan gagal panen. Hal ini, kata Dwikorita, didasarkan prediksi organisasi pangan dunia, FAO.
Baca Juga: Program IFISH Ikan Sidat Kabupaten Sukabumi, FAO: Jadi Pilot Projek di Jabar
Bahkan, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Situasi ini, tambah Dwikorita, akan terjadi di berbagai negara baik skala besar, kecil, maju maupun berkembang.
"Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air," ungkap Dwikorita dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta, dikutip via bmkg.go.id, Minggu (27/8/2023).
Saat ini, seluruh negara di dunia tengah mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda. Contohnya cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lainnya.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 di Indonesia, kata Dwikorita, mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun. Peningkatan ini menjadi tanda fenomena peningkatan suhu permukaan telah terjadi secara signifikan dan merata di Indonesia.
Peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi pun ikut meningkat sebagai akibat dari pemanasan global yang memicu pergeseran pola musim dan suhu udara.
Baca Juga: Sebut Dunia Berakhir 15 April, Sekte Sesat Ini Melaparkan Diri agar Masuk Surga
Contoh nyatanya, kekeringan yang dipicu El Nino diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dapat memicu peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.
"Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian," imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyampaikan strategi pembangunan berketahanan iklim pada sektor pertanian. Dilansir dari BMKG, strategi tersebut yakni penerapan smart agriculture, pengembangan kualitas dan daya saing SDM lokal, penguatan System Rice Intensification (SRI), penerapan pertanian adaptif dan rendah karbon serta modernisasi perbenihan varietas baru yang adaptif kekeringan.
"Untuk menahan laju perubahan iklim, rasanya lebih baik situasi ini masuk dalam kurikulum pembelajaran siswa sekolah agar kesadaran akan perubahan iklim terbentuk sejak dini," pungkasnya.
Sumber: Dirjen Pangan | BMKG