SUKABUMIUPDATE.com - Kecerdasan Buatan atau biasa disebut AI (Artificial Intelligence) menjadi teknologi yang belakangan banyak diperbincangkan. Namun sebenarnya teknologi tersebut telah dikembangkan sejak lama.
Tujuan diciptakannya teknologi AI salah satunya yaitu untuk lebih memudahkan kehidupan manusia dalam menyelesaikan pekerjaan. Salah seorang yang mengembangkan teknologi ini yaitu Geoffrey Hinton, bahkan pria ini dijuluki sebagai 'Godfathers of AI'.
Melansir dari Tempo.co, Geoffrey Hinton bersama dua orang lainnya diketahui telah memenangi 'Nobel Komputasi' untuk riset terobosannya tentang jaringan saraf. Ketiganya diganjar Turing Award 2018 karena telah meletakkan dasar dari teknologi AI yang kini sedang meledak.
Baca Juga: Waspada Penipuan! Teknologi AI Tiru Suara Keluarga Pakai Modus Telepon
Tapi Hinton mengatakan kalau sebagian dari dirinya kini merasakan penyesalan. "Sulit untuk melihat bagaimana Anda dapat mencegah para aktor jahat dari menggunakannya untuk hal-hal buruk," kata pria berusia 74 tahun itu dalam wawancara dengan The New York Times.
Hinton mengaku belum lama ini berpamitan dari Google demi bisa bicara lepas tentang risiko AI tersebut. "Saya berusaha menenangkan diri dengan alasan: Kalau bukan saya, orang lain tokh akan mengerjakannya," kata Hinton yang telah bekerja untuk Google selama lebih dari satu dekade belakangan.
Masih dalam wawancara yang sama, Hinton mengungkapkan memberitahu Google untuk pengunduran dirinya pada bulan lalu, dan pada Kamis pekan lalu bicara kepada CEO Sundar Pichai secara langsung. Apa yang disampaikan ataupun komunikasi yang terjadi di antara keduanya tak diungkapkan.
Baca Juga: Keren! Universitas Teknokrat Indonesia Hadirkan Dosen AI Pertama di Indonesia
Hinton, seorang akademisi sepanjang hidup, bergabung dengan Google setelah raksasa teknologi mesin pencari ini menguasai perusahaan yang dirintisnya bersama dua dari antara muridnya. Satu dari dua muridnya itu belakangan menjadi ketua tim ilmuwan di OpenAI.
Hinton dan para muridnya telah mengembangkan sebuah jaringan saraf yang mampu mengajari dirinya sendiri untuk mengenali objek-objek umum, seperti anjing, kucing, dan jenis-jenis bunga, setelah menganalisa ribuan foto. Karya inilah yang akhirnya menuntun ke kreasi ChatGPT oleh OpenAI ataupun Google Bard.
Menurut wawancara di NYT, Hinton sebenarnya cukup nyaman dengan bagaimana Google menghela perkembangan teknologi itu sampai pada titik saat Microsoft meluncurkan Bing yang diinfus oleh OpenAI. Itu, kata Hinton, menantang bisnis inti Google dan menjadikan sebuah respons 'code red' di internal perusahaan.
Baca Juga: Mengenal ChatGPT, Teknologi AI Terkini Yang Serba Bisa
Hinton memprediksi, kompetisi yang brutal mungkin tak akan bisa dicegah. Dampaknya, akan ada begitu banyak gambar-gambar dan teks palsu (fake) atau misinformasi berseliweran yang tak seorang pun akan mampu lagi membedakan 'mana yang benar'.
Pada jangka waktu yang lebih panjang, dia mencemaskan, AI akan mengeliminasi bidang pekerjaan yang bersifat mekanis ataupun repetitif. Dan bukan tidak mungkin menggantikan kemanusiaan itu sendiri saat sudah mulai mulai menulis dan menjalankan kode-kodenya sendiri.
Ketua tim ilmuwan Google, Jeff Dean, berusaha meredam kekhawatiran itu dengan menyatakan kalau perusahaan itu tetap berkomitmen kepada pendekatan terhadap AI yang bisa dipertanggungjawabkan. "Kami terus belajar memahami risiko-risiko yang muncul sembari juga berinovasi dengan kuat," katanya.
Sumber: Tempo.co/The Verge