SUKABUMIUPDATE.com - Rekayasa atau Modifikasi Cuaca akhir-akhir ini ramai diperbincangkan usai berita potensi cuaca ekstrem dikeluarkan oleh dua instansi Indonesia.
Modifikasi Cuaca ini menggunakan garam sebagai bahan utamanya yang ditaburkan di sejumlah daerah.
Bahkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga dikabarkan meminta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk melakukan modifikasi cuaca, buntut banjir di Semarang.
Mengutip Tempo.co, BMKG giat melakukan modifikasi cuaca menggunakan garam sebagai respon atas puncak Musim Hujan di sebagian besar wilayah.
Zona Musim atau ZOM diperkirakan terjadi pada bulan Desember 2022 dan Januari 2023 sebanyak 295 ZOM. Di beberapa wilayah bahkan disebut mengalami cuaca ekstrem. Alhasil modifikasi cuaca dipandang perlu dilakukan.
Baca Juga: BPS Sukabumi Sebut Konsumsi Garam Paling Tinggi, Lebih Bahaya Generasi Micin?
Penaburan garam ini bisa disebut sebagai Teknologi Modifikasi Cuaca atau TMC.
Mengutip National Geographic Indonesia via Tempo.co, operasi TMC disesuaikan dengan target di mana penyemaian inti kondensasi (garam) dilakukan ke awan-awan hujan yang telah terdeteksi.
Penyemaian garam dilakukan agar proses kondensasi berlangsung lebih cepat dan hujan dapat segera turun sebelum awan-awan hujan tersebut mencapai lokasi KTT G20.
Penyemaian awan menggunakan garam yang terdiri atas natrium klorida atau kalium klorida. Penyemaian awan dalam metode ilmiah yang digunakan untuk mengubah pola cuaca alami dan meningkatkan curah hujan di lokasi tertentu.
Dengan meningkatkan curah hujan pada waktu tertentu di lokasi tertentu, maka dapat secara efektif mencegah hujan turun di waktu lain dan di lokasi lain di dekatnya.
Penyemaian awan biasanya dilakukan oleh pilot yang terbang ke area lembab di atmosfer. Hal ini butuh menerbangkan pesawat kecil yang dapat dengan mudah menavigasi melalui cuaca badai, seperti Cessna atau Beechcraft King Air.
Baca Juga: Cuaca Ekstrem, CCTV Pantau 13 Titik di Kabupaten Sukabumi Saat Libur Tahun Baru
Untuk menyemai awan, pilot terbang langsung ke awan kumulonimbus, atau awan kumulus yang menjulang tinggi. Mereka menyerupai marshmallow yang tinggi dan halus dan dibentuk oleh aliran udara ke atas yang kuat dari tanah. Seiring waktu, awan ini biasanya berkembang menjadi badai petir.
Setelah pesawat terbang di dalam awan, pilot menyalakan salah satu dari lusinan suar yang dipasang di sayap pesawat dengan mekanisme penembakan di kokpit.
Suar yang ditembakkan melepaskan asap dan senyawa garam, seperti natrium klorida atau kalium klorida, ke udara, yang menarik uap air di awan untuk membentuk tetesan air. Tetesan ini menyatu menjadi tetesan yang lebih besar dan, setelah cukup berat, akhirnya bisa jatuh sebagai hujan.
Baca Juga: Liburan saat Cuaca Ekstrem? Yuk, Terapkan Tips Aman Wisata dari BMKG!
Operasi penyemaian awan menggunakan garam dapat memakan waktu tiga hingga empat jam. Selama waktu itu pilot dapat melepaskan puluhan suar. Semakin banyak garam dan asap yang disuntikkan ke udara, semakin baik peluang menghasilkan hujan.
Semakin banyak hujan yang telah tertentu di jam tertentu dan di lokasi tertentu, semakin besar peluang hujan tidak akan turun di jam lain dan lokasi lain di dekatnya.
Sebelumnya, modifikasi cuaca pernah dilakukan pada Jumat 10 Juni 2022.
Saat itu, petugas memindahkan karung berisi garam ke dalam pesawat Cassa C-212 milik Skadron IV Lanud Abdulrachman Saleh di Pangkalan Udara Sri Mulyono Herlambang (Lanud SMH) Palembang, Sumatera Selatan.
Sejak 27 Mei 2022, selama operasi TMC di Sumatera Selatan, ada 12,8 ton garam telah disemai di udara sehingga berhasil membuat hujan dan menaikkan tinggi muka air tanah di kanal-kanal produksi milik perusahaan perkebunan.
SUMBER: TEMPO.CO | NOVITA ANDRIAN