SUKABUMIUPDATE.com - Gempa yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Sukabumi dan Sekitarnya pada Senin (21/11/2022) menyebabkan kerusakan serius serta ratusan orang meninggal dunia.
Gempa berkekuatan 5.6 magnitudo berpusat di daratan yakni di kedalaman 10 km dan tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Getaran gempa juga terasa hingga ke Bandung.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melansir penyebab gempa magnitudo 5,6 Cianjur adalah sesar aktif yang belum diketahui, sesar tersebut berada di tenggara Gunung Gede Pangrango dan berjarak sembilan kilometer dari sesar Cimandiri.
“Kejadian gempa bumi ini diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif. Keberadaan sesar aktif tersebut hingga kini belum diketahui dengan baik karakteristiknya,” menurut rilis Badan Geologi.
Namun, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Dr. Irwan Meilano meyakini jika sesar Cimandiri yang menjadi pemicu gempa Cianjur tersebut.
“Menurut beberapa data yang didapatkan saat ini serta melihat gempa susulan dan kerusakan yang terjadi, penyebab gempa ini adalah Sesar Cimandiri yang membujur dari Teluk Pelabuhan Ratu sampai sekitar Padalarang. Hal ini juga senada dengan perkataan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati,” ungkap Dr. Irwan Meilano dikutip dari laman itb.ac.id.
Dr. Irwan menjelaskan jika Sesar Cimandiri tergolong sesar aktif. Sesar merupakan bidang rekahan yang disertai dengan adanya pergeseran, mengalami retakan, atau memiliki celah.
“Pada sesar ini terdapat akumulasi tegangan tektonik yang menjadi gaya penerus gempa. Jika ditilik melalui pendekatan geologi, juga menunjukkan hal yang serupa. Sesar ini termasuk sumber gempa yang independen dan tidak dipengaruhi oleh gempa-gempa sebelumnya sehingga terdapat potensi gempa yang signifikan terjadi di masa depan,” terangnya.
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB itu berharap semua pihak dapat sama-sama belajar untuk mengantisipasi hal serupa terjadi di kemudian hari.
Pelajaran dari Gempa Cianjur
Dr. Irwan mengungkapkan ini bukan kali pertama pergerakan Sesar Cimandiri menyebabkan gempa. Ia menyebutkan pernah terjadi gempa berkekuatan serupa di tahun 1970-an.
“Ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana ini. Concern utama berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa,” ungkapnya.
Pakar gempa bumi ini menambahkan penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa. Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan.
Dr. Irwan menyebut ketika bencana telah terjadi, terdapat waktu (golden time) untuk evakuasi yang hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa bumi terjadi.
Lulusan Nagoya University menyatakan harus memanfaatkan golden time tersebut untuk memberikan respon terbaik saat terjadi bencana.
“Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik. Kita harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan golden time ini. Rumah sakit darurat, pengungsian sementara, air dan sanitasi yang baik, mulai dipersiapkan sekarang,” katanya.
Ia juga menjelaskan jika hanya fokus pada yang terluka dan mengesampingkan hal-hal vital yang harus dipersiapkan, maka orang yang selamat pun dapat menjadi korban selanjutnya.
#SHOWRELATEBERITA