SUKABUMIUPDATE.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU melihat ada dugaan kartel dari masalah melejitnya harga minyak goreng. Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, menduga perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pangsa pasar minyak goreng dalam negeri mengatur kenaikan harga secara bersamaan.
“Harga minyak goreng di pasar relatif dinaikkan secara bersama-sama setelah peningkatan harga CPO (crude palm oil). Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah ini terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan,” ujar Ukay dalam konferensi pers virtual, Kamis, 20 Januari 2022.
Mengutip tempo.co, Ukay menjelaskan bahwa pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli. Dalam data concentration ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.
Selain itu dalam struktur industri, pemain besar minyak goreng diduga terintegrasi dengan kelompok usaha perkebunan kelapa sawit dan beberapa produk turunannya. Artinya masing-masing industri minyak goreng jumbo umumnya memiliki kebun sawit.
Dari kondisi itu, Ukay melihat peningkatan harga CPO semestinya tidak terlalu mempengaruhi fluktuasi harga minyak goreng di dalam negeri. “Tidak ada kenaikan ongkos produksi karena kebun milik sendiri. Jadi kalau pun CPO untuk produksi minyak tidak dinaikkan, pabrik minyak gorengnya akan tetap untung,” tutur Ukay.
Ukay menyebut KPPU masih akan mendalami penelitian mengenai dugaan adanya kartel di industri minyak goreng. Data yang ada saat ini, kata dia, akan menjadi pintu masuk bagi KPPU untuk melanjutkan proses ke arah penyelidikan.
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan komisinya telah meneliti kenaikan harga minyak goreng dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan pengamatan Komisi, rata-rata harga minyak di seluruh Indonesia melonjak hingga lebih dari Rp 20 ribu per liter.
Kenaikan ini terjadi setelah meningkatnya harga CPO secara global. “Berdasarkan analisis, kenaikan CPO disebabkan oleh tumbuhnya permintaan industri biodiesel, turunnya pajak ekspor di India, hingga naiknya permintaan dari luar negeri karena naiknya kebutuhan akan bahan bakar,” katanya.
Berdasarkan penelitian tersebut, KPPU menemukan sejumlah masalah. Di antaranya, kelompok industri lebih mengutamakan pasar ekspor karena meningkatnya keuntungan setelah harga CPO naik. Selain itu, KPPU melihat regulasi yang ada masih menghambat munculnya pelaku usaha baru di bidang pengolahan hasil perkebunan, termasuk minyak goreng.
“Seperti dalam Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2017 yang mewajibkan (industri) memenuhi 20 persen kebutuhan bahan baku dari kebun yang diusahakan sendiri,” katanya. KPPU, Mulyawan berujar, pernah mengirimkan surat saran pertimbangan kepada pemerintah untuk mencabut kewajiban 20 persen itu.
November lalu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan harga minyak goreng ikut terkerek akibat siklus komoditas minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar dunia.
Adapun Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan entitas bisnis produsen minyak goreng yang tidak terhubung dengan industri hulu mengakibatkan harga komoditas strategis itu mengikuti tren yang ada di pasar internasional.
“Produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri, yaitu KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan pasar internasional. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional,” kata Oke melalui siaran pers, 4 November 2021.