SUKABUMIUPDATE.com - Merujuk pada data terbaru Bappenas, sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang memadai, berdampak pada kesehatan umum. Fasilitas sanitasi yang kurang memadai menyumbang pada tingginya angka kematian bayi di Indonesia, terutama akibat penyakit diare yang disebabkan oleh pembuangan limbah yang tidak benar, mencemari lingkungan sekitar.
Meskipun pemerintah menargetkan pada tahun 2030 untuk membuat sanitasi yang memadai dapat diakses oleh semua, implementasinya menghadapi berbagai tantangan. Proses pengolahan limbah domestik yang terpusat terhambat oleh biaya pembuatan dan perawatan infrastruktur Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) yang tinggi, biaya transportasi yang mahal, dan risiko kebocoran serta kontaminasi selama pemindahan limbah.
Menanggapi masalah ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional melalui Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB BRIN) menciptakan teknologi toilet pengompos. Pada Webinar BRIN Envirotalk edisi ke-19 yang digelar pada Rabu (27/09) secara daring, Peneliti Ahli Utama PRLTB BRIN Neni Sintawardani menjelaskan cara kerja dan aplikasi penggunaan teknologi toilet pengompos.
Neni menyoroti bahwa teknologi toilet pengompos memisahkan feses dan urin dari limbah cair lainnya. Feses yang kaya nutrisi dapat diolah untuk mendapatkan kembali kandungan nutrisinya, sedangkan mikro polutan yang terdapat pada urin dapat dihilangkan. Teknologi ini memungkinkan penggunaan kembali nutrisi dari limbah feses dan urin melalui proses pemulihan dan daur ulang, menciptakan kompos sebagai kondisioner tanah dan pupuk cair.
Toilet pengompos menawarkan alternatif yang hemat biaya dibandingkan IPALD, menggunakan proses aerobik tanpa perlu saluran atau pembilasan air. Bahan lignoselulosa seperti serbuk kayu, tongkol jagung, dan sekam menggantikan air dalam teknologi ini. Bahan-bahan ini memiliki porositas tinggi, menahan cukup udara dan air sambil melepaskan zat yang diperlukan untuk proses aerobik. Selain itu, bahan lignoselulosa tahan terhadap bakteri, ringan, kaya mineral, dan mengurangi bau.
Neni menyimpulkan dengan menekankan pentingnya memaksimalkan teknologi toilet pengompos sebagai solusi sanitasi lokal untuk menyediakan fasilitas yang aman dan memadai. Melihat ke depan, ia berharap untuk penerimaan luas dari pengguna dan menyarankan insentif pemerintah potensial untuk penjualan produk kompos.
" Saya berharap akan adanya akseptansi yang baik dari pengguna. Selain itu mungkin pemerintah dapat membuat kebijakan berupa insentif ekonomi dari penjualan produk kompos yang dihasilkan oleh masyarakat ", ujar Neni.
Sejalan dengan perspektif Neni, Budi Darmawan dari Fecal Sludge Management Alliance (FSMA) Indonesia menekankan perlunya teknologi untuk melengkapi sumber daya air yang terbatas. Teknologi sanitasi tidak hanya mengurangi penularan penyakit berbasis air tetapi juga menjaga air tanah dan memanfaatkan limbah feses dan urin yang sudah terolah sebagai pupuk.
" Dengan adanya teknologi sanitasi, maka air flushing yang digunakan sebagai media sanitasi akan dapat digunakan kembali sehingga mampu menghemat air bilas hingga 100%", ungkap Budi.
Sasa Sofyan Munawar, Kepala PRLTB BRIN, menegaskan pentingnya toilet pengompos dan teknologi sanitasi untuk Indonesia, menyoroti keterkaitannya dengan kebutuhan dasar masyarakat. Ia berharap para pemangku kepentingan, termasuk peneliti BRIN, akademisi, mahasiswa, dan industri, dapat saling mendapatkan manfaat dari pengetahuan dan pengalaman bersama, mendorong kerjasama.
"Dengan adanya webinar ini, saya berharap seluruh stakeholders stakeholders yang terdiri dari periset BRIN, akademisi, mahasiswa hingga industry dapat mengambil pengetahuan dan pengalaman sehingga dapat saling mendukung program satu sama lain bahkan tidak menutup kemungkinan untuk diadakannya kolaborasi," pungkas Sasa
Sumber : BRIN