SUKABUMIUPDATE.com - Audit merek yang dilakukan organisasi lingkungan Sungai Watch di Bali pada 2022 lalu, seharusnya semakin membuka mata pemerintah dan semua pihak terkait.
Sungai Watch berhasil mengungkapkan bagaimana selama tiga tahun berturut-turut, market leader air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia menjadi produsen sampah terbesar di Pulau Bali. Audit yang sama juga dilakukan di Sungai Ciliwung Jakarta dengah hasil yang tak jauh berbeda.
Fenomena ini mengartikan bahwa aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 dengan target pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030, bakal sulit dicapai.
Baca Juga: Danone Kembali Raih Predikat Produsen Sampah Plastik AMDK Terbesar di Indonesia
Mau tidak mau, pemerintah akan berhadapan langsung dengan market leader yang merupakan perusahaan investasi asing raksasa asal Prancis. Oleh karena itu, pilihannya nanti hanya ada dua:
Pertama, bersikap tegas menerapkan aturan demi menjaga lingkungan dari sampah plastik. Atau pilihan kedua yaitu berkompromi supaya investor tidak mengancam hengkang dan pencemaran sampah plastik berlanjut.
“Harapannya, temuan kami ini bisa mendorong perusahaan dan masyarakat agar segera mengambil langkah untuk mengatasi polusi plastik,” demikian pernyataan Sungai Watch dalam laporan terbaru bertajuk 'Sungai Watch Impact Report 2022', dikutip Selasa (28/3/2023).
Tiga tahun berturut-turut, Danone dinobatkan sebagai perusahaan AMDK penyandang predikat penyampah kemasan plastik terbesar di Pulau Bali oleh Sungai Watch.
Sebelumnya, audit merek terbaru juga dilakukan oleh organisasi lingkungan berskala internasional Break Free From Plastic (BFFP), yang secara rutin juga menempatkan Danone di posisi puncak penyampah plastik terbesar di Indonesia.
Ketua Net Zero Waste Management Consortium, Ahmad Safrudin, dalam rilisnya menanggapi temuan Sungai Watch mengatakan, fakta tersebut menunjukkan Danone telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hal itu karena memicu terjadinya pencemaran lingkungan hidup (tanggung renteng pelaku dumping limbah di lingkungan-Pasal 60 dan 104 UUPPLH No 32/2009) dan tidak mematuhi ketentuan peta jalan pengurangan sampah (PermenLHK No 75/2019 yang ditetapkan bersandar pada Perpres 97/2017, Perpres 83/2018, PP 81/2012 dan UU 18/2008). Menurut Ahmad, terjadinya timbulan sampah di lingkungan adalah indikasi tidak dijalankannya program 3R (Reduce, Recycle dan Reuse).
Poin 'R' pertama, reduce (pengurangan sampah) dengan upsizing (menghentikan penggunaan kemasan plastik pada volume/bobot kecil), kemudian recycle dengan EPR (Extended Producers Responsibility, menarik kembali kemasan produknya untuk didaur-ulang). Terakhir reuse, pemanfaatan kembali kemasan plastik yang tidak berisiko pada kesehatan.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan atau Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus memberikan teguran dan menarik uang paksa untuk pembinaan, dan penegakan hukum dalam pengelolaan sampah,” kata Ahmad Safrudin.
Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030. Target pengurangan tersebut dilakukan dengan berbagai hal, diantaranya mendorong produsen AMDK mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar (Size up) hingga ke ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampahnya.
Di samping itu, produsen diharuskan untuk mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual, saat nantinya produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).
Baca Juga: Ancam 800 Spesies, Dampak Buang Sampah Sembarangan Sebabkan Manusia Konflik
Akan tetapi masalahnya, hingga kini pun upaya Size up dan EPR oleh produsen masih menjadi tantangan implementasi Permen LHK No. 75/2019.
“Permen LHK 75/2019 ini merupakan upaya pemerintah menekan volume sampah di Indonesia,” kata Rosa Vivien Ratnawati, SH., M.SC. Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), KLHK.
Lebih lanjut, Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sampah plastik menguasai 5 persen atau 3,2 juta ton dari total sampah.
Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.
Baca Juga: Banyak Sampah Plastik di Laut, Tantangan dan Potensi Minapolitan di Sukabumi
Data rilis World Economic Forum (WEF) turut menyebutkan, produksi sampah plastik di Indonesia diperkirakan berpotensi melambung menjadi 8,7 juta ton pada 2025, dari sebelumnya sebesar 6,8 juta ton pada 2017. Hal ini sekaligus menunjukkan, Peta Jalan pengurangan sampah dipastikan bakal berjalan alot.
Dampaknya adalah, suka atau tidak suka, Permen LHK 75/2019 akan memposisikan pemerintah dalam posisi berhadapan dengan Danone, salah satu investasi asing raksasa yang sangat kuat di dunia.
Meskipun demikian, pemerintah pernah punya catatan prestasi menekan PT. Freeport untuk pembangunan smelter pengolahan tembaga dan emas di Indonesia, serta penyerahan mayoritas saham ke pemerintah Indonesia. Hal yang sama bisa saja dilakukan lagi oleh pemerintah, demi mencegah kerusakan lingkungan lebih parah akibat produk market leader yang masif tak terkontrol.