SUKABUMIUPDATE.com - Bank Dunia atau World Bank telah resmi i merilis laporan Indonesia Economic Prospect Edisi Desember 2022.
Laporan dari Bank Dunia tersebut sempat menyita perhatian karena menyebut jika harga beras di Indonesia lebih mahal dari sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand, Kamoja, Myanmar, dan Vietnam.
Karena hal tersebut, sejumlah pihak memberikan tanggapan mulai dari Badan Pangan Nasional, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Pertanian. Mereka secara serentak menolak klaim tersebut. Menurut mereka, laporan tersebut harus memperhatikan waktu pengambilan data.
Baca Juga: Aturan Terbaru! Cara Beli LPG 3 Kg Pakai KTP, Cek Dulu Nama Anda di Database P3KE
Melansir dari Tempo.co, keterangan waktu pada laporan tersebut menunjukkan data diambil sepanjang Januari 2022.
Saat itu merupakan periode para petani ketika belum melakukan panen. Hal ini, menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, menyebabkan harga beras yang relatif tinggi menjadi wajar.
Meskipun begitu, laporan Bank Dunia menyebut permasalahan tingginya harga beras di Indonesia disebabkan kebijakan pemerintah sendiri.
Menurut laporan Indonesia Economic Prospect Edisi Desember 2022, ada beberapa sebab harga beras di Indonesia melambung tinggi dibandingkan negara-negara tetangga.
1. Perlindungan Produsen
Bank Dunia menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama tingginya harga beras di Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga adalah kebijakan dukungan terhadap produsen dengan menaikkan harga produk pertanian pangan.
Dari total konsumsi dalam rentang 2011–2020, tingkat efektivitas perlindungan ini mencapai 27 persen.
Menurut Bank Dunia, kebijakan yang menyebabkan harga beras terjaga relatif tetap tinggi tersebut tidak hanya merugikan konsumen.
Kebijakan tersebut juga merugikan petani. Sebab, ⅔ dari jumlah petani merupakan pembeli bersih bahan makanan. Mereka secara keseluruhan tidak mendapatkan keuntungan dari harga tinggi tersebut.
2. Hambatan Nontarif
“Hambatan nontarif berkontribusi signifikan terhadap tingginya harga pangan di Indonesia,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Hambatan nontarif tersebut meliputi kebijakan perdagangan berupa persyaratan perizinan impor, pembatasan masuk pelabuhan (port of entry restrictions), dan monopoli impor.
Bank Dunia menemukan bahwa pembatasan impor menjadi salah satu hambatan nontarif yang paling memberatkan.
Pembatasan tersebut selaras dengan kebijakan monopoli impor yang diambil untuk menjaga harga pangan tetap tinggi. Bank Dunia menyebut monopoli impor biasanya dilakukan oleh BUMN untuk komoditas utama.
3. Biaya Produksi Tinggi
Biaya produksi tinggi pada gilirannya menyebabkan harga pangan turut tinggi. Kondisi global dan dalam negeri turut mempengaruhi tingginya biaya produksi pangan. Di tingkat global, kondisi ekonomi global memburuk dan konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan.
Di dalam negeri, biaya produksi pertanian meningkat sebesar 5,7 persen pada Oktober 2022. Peningkatan terbesar terjadi pada bidang transportasi dan komunikasi (14,9 persen), serta pupuk, pestisida, obat-obatan dan pakan (8,4 persen).
Selain itu, rantai pasokan panjang dan biaya distribusi tinggi juga menjadi berkontribusi dalam menaikan harga pangan bagi konsumen. Hal ini ditengarai disebabkan oleh struktur geografis Indonesia yang kompleks.
Sumber: Tempo.co (Han Revanda Putra)