SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor gula kristal putih atau gula konsumsi sebanyak 991 ribu ton. Pemerintah memutuskan mengimpor gula usai melakukan rapat terbatas atau ratas bersama kementerian dan lembaga terkait.
"Neraca komoditas sudah diputuskan 991 ribu ton kristal putih langsung ke konsumen, 3,6 liter rafinasi untuk industri, yang khusus kira-kira 50 ribu ton," tuturnya saat ditemui di Pasar Kebon Kembang, Bogor pada Jumat, 23 Desember 2022.
Mengutip tempo.co, adapun tahun ini pemerintah mengeluarkan izin impor sebanyak 500 ribu ton. Namun, kata Zulkifli, hingga saat ini realisasi impor baru mencapai 300 ribu ton. Alhasil Kementerian Perdagangan pun memberikan penalti pada importir yang belum melaksanakan mengirimkan gula konsumsi itu ke Tanah Air.
Baca Juga: Kebijakan Insentif Kendaraan Listrik Dikhawatirkan Bisa Tingkatkan Jumlah Impor, Kenapa?
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun sempat mempertanyakan urgensi dari langkah pemerintah untuk mengimpor gula konsumsi. Pasalnya, stok gula pada akhir 2021 atau awal tahun 2022 sebesar 1,1 juta ton. "Kita masih ingat pemerintah mengimpor 980.000 ton raw sugar dan 150.000 ton white sugar,” katanya saat ditemui pada Rabu, 26 Oktober 2022.
Dengan begitu, jika ditambah maka stok akhir 2021 tersebut, ada total stok gula sebesar 2,2 juta ton. Bila ditambah lagi dengan produksi nasional sebesar 2,4 juta ton, kata Soemitro, maka total stok gula nasional secara keseluruhan sebesar 4,6 juta ton. Dengan konsumsi gula nasional per tahun sebesar 3 juta ton, artinya masih ada surplus 1,6 juta ton gula.
Lebih jauh, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan impor gula kerap dilakukan meskipun kondisi konsumsi dalam negeri sedang rendah atau industri pengolahan sedang mengalami perlambatan. Bahkan dia menilai ada tren atau pola yang menunjukkan impor gula kerap terjadi menjelang Pemilu.
"Itu perlu menjadi pertanyaan," kata dia. Adapun Pemilu akan digelar pada 2024.
Menurut Bhima, gula adalah komoditas pangan yang memilki banyak pemburu rente. Indonesia sendiri merupakan adalah salah satu negara pengimpor gula tertinggi dibandingkan negara lainnya. Padahal, kata Bhima, Indonesia punya potensi perkebunan tebu sebagai bahan baku gula yang cukup besar.
Baca Juga: Serap Beras Petani Rendah, Drh Slamet Tolak Indonesia Impor 600 Ribu Ton Beras
Terlebih produksi gula juga bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda, kata dia, sudah banyak pabrik-pabrik industri gula di Indonesia. Namun permasalahannya, ada pihak yang menikmati rente dari impor gula. Sehingga, pihak tersebut lebih menginginkan status quo agar Indonesia terus bergantung pada impor.
Bhima mengungkapkan ada lobi-lobi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang pro terhadap impor pangan, salah satunya melalui Undang-undang Cipta Kerja. Menurutnya, Undang Cipta Kerja berkaitan dengan pasar impor karena posisi impor menjadi setara dengan posisi dalam negeri. Sedangkan sebelumnya impor hanya dilakukan ketika kebutuhan domestik tidak terpenuhi dari hasil produksi dalam negeri.
Kondisi itu juga berpengaruh kepada suntikan modal bagi perkebunan tebu dan industri manufaktur pengolahan gula. Hasilnya, di dalam negeri industri dan perkebunan tersebut kurang berkembang. Karena itu, ia menilai perlu ada perubahan tata niaga dari komoditas gula secara nasional.
Sumber: Tempo.co