SUKABUMIUPDATE.com - Ada fenomena menarik di tengah tsunami informasi yang tersebar luas di media sosial hingga media konvensional. Saat ini, nyaris semua orang dengan mudahnya bisa berbagi berita dengan men-share pesan yang hanya memuat judul (rata-rata dalam bentuk tangkapan layar atau screenshot).
Kondisi seperti itu bisa merangsang orang untuk menyimpulkan informasi dari sebuah judul saja. Tak jarang, kesalahpahaman akan suatu berita bisa muncul akibat tidak membaca hingga tuntas berita yang diterima. Meskipun ada pula orang yang memperoleh informasi secara utuh, namun tidak dibacanya hingga selesai.
Sebenarnya topik ini bukan hal baru di dunia informasi. Berdasarkan data Statista tahun 2016, 41 persen responden dunia mengaku hanya membaca daftar judul saja. Jumlah tersebut tentu cukup besar dan menarik untuk ditelusuri.
Bahkan sebelumnya, ilmuwan data di firma analisis lalu lintas Chartbeat, Josh Schwartz telah melakukan sebuah percobaan dengan salah satu media online bernama Slate ihwal kebiasaan masyarakat dalam membaca suatu informasi.
Temuan Schwartz ternyata tidak jauh berbeda dengan data Statista. Semakin panjang sebuah artikel berita yang disajikan, maka semakin mungkin berita tersebut tidak dibaca utuh alias ditinggalkan oleh pembacanya. Dalam percobaan ini Schwartz berasumsi bahwa umumnya panjang sebuah halaman website berada di sekitar angka 2.000 pixel.
Dari 2.000 pixel itu, Schwartz lalu membaginya ke dalam beberapa persen potongan. Pergerakan "scroll" pengunjung suatu halaman website menentukan pada persentase pengunjung yang berhenti dan keluar dari halaman website tersebut.
Dalam percobaan terhadap pembaca Slate, ditemukan bahwa 5 persen pengunjung tidak melakukan scroll sama sekali. Dengan kata lain, sebanyak 5 persen pengunjung Slate hanya membaca judul berita tanpa membaca isi berita secara keseluruhan.
Percobaan ini menemukan fakta lain bahwa kebanyakan pengunjung Slate hanya melakukan scroll 50 persen atas seluruh panjang halaman atau sekitar 1.000 pixel. Artinya, mayoritas pembaca Slate tidak membaca hingga tuntas artikel yang ditayangkan di media tersebut.
Selain soal dibaca secara utuh atau tidaknya sebuah artikel, Schwartz juga berasumsi bahwa pembaca yang membagikan sebuah artikel di media sosial tidaklah benar-benar membaca artikel yang dibagikannya itu.
Temuan Schwartz itu diamini Maksym Gabielkov, Arthi Ramachandran, Augustin Chaintreau, dan Arnaud Legout dalam jurnal yang berjudul "Social Clicks: What and Who Gets Read on Twitter?". Jurnal ini diterbitkan pada tahun 2016.
Dalam jurnal tersebut dikatakan, dari sekitar 2,8 juta artikel yang dibagikan di media sosial, ada 59 persen link berita yang tidak benar-benar diklik sama sekali.
Hal itu menunjukkan bahwa mayoritas artikel yang tersebar di media sosial tidak berdasar pada proses membaca artikel tersebut. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena terjadi di tengah tren berbagi informasi yang cukup tinggi, apalagi ditopang oleh pertumbuhan penggunaan media sosial.
Reuters Institute dalam sebuah laporan penelitian di 26 negara dengan lebih dari 50.000 responden yang berjudul "Digital News Report 2016", menemukan bahwa media sosial dimanfaatkan oleh setengah responden atau 51 persen sebagai tempat mendapatkan berita. Bahkan 12 persen di antaranya menjadikan media sosial sebagai tempat utama memperoleh berita.
Penggunaan media sosial sebagai sumber untuk memperoleh berita dalam laporan Reuters Institute tersebut didominasi kalangan muda, yakni usia 18 hingga 24 tahun.
Mengutip dari Tirto, temuan Reuters Institute tersebut juga mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Generasi Z di Pulau Jawa dan Bali, 35,2 persen di antaranya mengaku menggunakan media sosial sebagai tempat utama mendapatkan berita. Melebihi penggunaan media konvensional seperti televisi yang hanya memperoleh persentase sekitar 14,4 persen
Jadi gimana nih, udah mau baca informasi atau berita hingga tuntas kan?