SUKABUMIUPDATE.com - Sedikit kita harus mengerutkan dahi saat mendengar kabar soal adanya aksi demonstrasi berujung kerusuhan yang dilakukan oleh massa pendukung Donald Trump di Gedung Kongres, Capitol Hill pada Rabu, 6 Januari 2021. Massa aksi yang menolak hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat ini terlibat bentrokan dengan aparat setempat dan menyebabkan sedikitnya empat orang tewas. Lalu pertanyaan baru muncul, apakah ini wajah baru demokrasi di negeri Paman Sam?
Bahkan dalam peristiwa ini, seorang perempuan tewas setelah mendapat tembakan di bagian dada saat ia berada di halaman Gedung Kongres, Capitol Hill.
Hingga artikel ini ditayangkan, belum diketahui ihwal identitas perempuan tersebut dan bagaimana kronologi penembakan itu terjadi. Namun dari video yang beredar, memang terdengar adanya suara tembakan yang menyelimuti situasi kerumunan di Capitol Hill.
Kepolisian Washington DC Amerika Serikat kemudian mengkonfirmasi adanya korban tewas lain dalam peristiwa tersebut. "Satu wanita dewasa dan dua pria dewasa tampak menderita situasi medis darurat secara terpisah yang mengakibatkan mereka meninggal," kata Kepala Kepolisian Washington DC, Robert Contee.
Kerusuhan ini bermula ketika Wakil Presiden Mike Pence yang disebut setia mendukung Trump selama empat tahun kepresidenan, memimpin pembukaan kongres untuk secara resmi mengesahkan kemenangan Joe Biden di pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November 2020 lalu.
Joe Biden sendiri memenangkan pemilihan tersebut dengan selisih 306-232 suara di Electoral College negara bagian dan dengan lebih dari 7 juta suara dalam pemilihan umum nasional itu. Tetapi Trump terus mengklaim tanpa bukti bahwa dalam pemilihan presiden tersebut ada penipuan yang meluas.
Donald Trump kemudian menulis narasi yang menyebut Mike Pence tidak memiliki keberanian untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan dalam melindungi negara dan konstitusi. Termasuk berbicara soal kesempatan kepada negara bagian agar mengesahkan serangkaian fakta yang telah dikoreksi, bukan fakta yang curang, yang sebelumnya diminta untuk disertifikasi.
"Amerika Serikat menuntut kebenaran," tulis Trump di akun Facebook miliknya, Donald J. Trump. sekitar 11 jam yang lalu dari artikel ini diterbitkan.
Sikap Donald Trump tersebut lantas memicu kemarahan publik karena dianggap mendukung kerusuhan yang dilakukan massa pendukungnya.
Tak hanya di Facebook, Trump juga menulis beberapa cuitan ihwal kerusuhan itu di akun Twitter-nya. Ia memberi dukungan terkait aksi yang dilakukan di Capitol Hill.
Akibatnya, Twitter memberi pernyataan bahwa pihaknya akan mengunci akun milik Trump selama 12 jam.
Twitter meminta Trump agar menghapus cuitannya tersebut karena telah dianggap memprovokasi para pendukungnya untuk melakukan kekerasan dan ia disebut melanggar kebijakan integritas keamanan Twitter. Bahkan bila cuitan itu masih ada, maka akun tersebut diancam akan diblokir.
Selain Twitter, platform media sosial lainnya seperti Instagram dan Facebook juga melakukan hal yang sama. Facebook menutup halaman akun Donald Trump selama 24 jam agar tidak mengunggah apapun. Akun Instagram presiden yang menjabat dari tahun 2017-2020 ini juga dinonaktifkan setelah diketahui mengunggah kembali cuitannya yang telah ia tulis di Twitter.
Kondisi saat ini seakan meng-amini laporan Freedom House pada tahun 2020 lalu. Lembaga tersebut menyoroti ihwal menurunnya indeks demokrasi di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Berdasarkan laporan Freedom in the World 2020, lembaga ini memberi peringkat terhadap 195 negara. Rinciannya, 83 negara dinyatakan bebas, 63 negara dinyatakan bebas sebagian, dan 49 negara lainnya dinyatakan tidak bebas.
Jumlah negara yang berstatus sebagai negara bebas menurun sekitar 3 persen dalam dekade terakhir. Indeks ini mempertimbangkan sejumlah faktor, antara lain fungsi pemerintah, supremasi hukum, transparansi, pluralisme, serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan.
Dalam laporan ini Amerika Serikat menjadi sorotan karena dianggap sebagai negara demokrasi terbesar dan berpengaruh, namun penyimpangannya dari cita-cita demokrasi telah memunculkan sinyal yang salah.
Freedom House memberikan kritik kepada perubahan peraturan pada tahun 2019 yang dinilai menggerus indeks demokrasi di Amerika Serikat, dari melemahkan hak para pencari suaka, adanya bukti baru dalam intervensi pemilu, hingga meningkatnya bentrok antara eksekutif dan kongres.