SUKABUMIUPDATE.com - Ketimpangan kepemilikan, penguasaan maupun pengelolaan lahan sudah sejak lama menjadi permasalahan di Indonesia, termasuk di Kabupaten Sukabumi. Ketimpangan tersebut tidak hanya menciptakan kesenjangan kesejahteraan, namun menimbulkan konflik berkepanjangan.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat sejak 2016 hingga 2019 telah terjadi 6 kali konflik lahan, salah satunya berujung pengadilan. Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang reforma agraria semestinya menjadi solusi, namun nampaknya ketimpangan dan potensi konflik masih akan terjadi.
Bagaimana sebetulnya implementasi reforma agraria di Kabupaten Sukabumi, berikut wawancara dengan Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Sukabumi Jalil Abdillah dan Ketua DPC SPI Sukabumi Rozak Daud dalam acara Tamu Mang Koko di kantor sukabumiupdate.com, Sabtu (4/7/2020).
Infonya Komisi I DPRD kabupaten Sukabumi sedang melakukan monitoring dan evaluasi lahan HGU dan HGB di Kabupaten Sukabumi, tujuannya?
Di Kabupaten Sukabumi itu ada 52 perkebunan swatsa dan 6 PTPN, totalnya ada 58. Dari 52, 22 perusahaan (perkebunan) izin HGU-nya sudah habis. Dari 22 HGU yang habis ini, itu 8 yang dalam berproses perpanjangan. Di perpanjangan ini pun menimbulkan berbagai masalah.
Tujuan (monitoring dan evaluasi) karena perkebunan di Kabupaten Sukabumi punya hak dan kewajiban. Bayangkan saja dari 52 HGU yang ada di Kabupaten Sukabumi rata-rata tanah ini ditelantarkan dari pusat. Paling bagus itu dari HGU yang diberikan itu, 50 persen yang diolah itu sudah bagus. Itu pun (diolahnya) banyak yang tidak sesuai dengan peruntukan, contoh misalkan begini orang diberi peruntukan untuk tanaman tertentu namun dia malah menanam palawijaya, cabai, tomat.
Orang yang diberikan izinnya karet, menanamnya kelapa dan lain-lain. Itu temuan kita di lapangan. Karena kompleksnya persoalan perkebunan di Kabupaten Sukabumi, sehingga Komisi I ingin memastikan (lahan harus digunakan sesuai aturan) ada Permen (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional) nomor 7 tahun 2017. Ada Perpres (nomor) 86 Tahun 2018. Kita juga punya perda dan perbupnya. Dari payung hukum sudah lengkap semua.
(Dari hasil monitoring dan evaluasi) yang kita temui di areal perkebunan basis-basis kemiskinan ada di sekitar perkebunan. Padahal negara begitu luas memiliki lahan.
Kepada Bung Rojak, konflik panjang petani dengan pemegang hak atas lahan (HGU/HGB), apa sebabnya?
Awal mula itu persoalan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan, poinnya disitu. Di Kabupaten Sukabumi ini mayoritas perkebunan (namun) kawasan perkebunan ini adalah kantong-kantong kemiskinan, muncul konflik itu ketika kepemilikan tanah oleh masyarakat kan minim, sehingga ketika lahan-lahan perkebunan di wilayah masing-masing itu tidak digunakan sesuai dengan yang tadi disebutkan oleh anggota Komisi I (DPRD Kabupaten Sukabumi), disitu lah masyarakat memanfaatkan (lahan), sehingga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakatnya.
Muncul konflik itu ketika petani menggarap lahan (lalu) muncul laporan dari pihak perusahaan penyerobotan lahan oleh petaninya. Makanya selama ini pasal yang digunakan oleh pihak penegak hukum itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 51 Tahun 1960 tentang menduduki lahan tanpa izin kuasa yang sah atas pemiliknya.
Persoalan-persoalan ini muncul ketika pemerintah tidak hadir pada saat petani mengalami masalah. Karena selama ini, aparat penegak hukum itu hanya mengambil pasal pidana penyerobotannya saja. Kan Undang-Undang itu ada penjelasan lebih lanjut dan kewenangan pemda juga harus ada. Ketika ada laporan tentang penyerobotan lahan, pemerintah daerah harus memfasilitasi penjelasan dari Perpu itu. Selama ini tidak hadirnya negara sehingga muncullah konflik. kalau pemerintah hadir menjadi penengah Insya Allah tidak ada proses pidana.
Kepada Komisi I, temuan dewan apa penyebab konflik lahan tersebut?
Jadi problem yang ada disetiap masyarakat yang ada disekitar perkebunan itu, hubungan masyarakat dengan perusahaan (perkebunan) kurang bagus. Bayangkan saja di Nagrak saja ada luas (lahan) HGU nya 400 hektar, masyarakat jangankan tumpang sari (di lahan tersebut) walaupun seberannya kita punya Perbup ada kewajiban bagi perusahaan (yang memiliki) lahan di atas 200 hektar ke atas, maka perusahaan harus melakukan (membangun) plasma dengan masyarakat sekitar. Jangan plasma, masyarakat ngambil rumput saja tidak boleh.
Itulah terjadinya bibit-bibit konflik. Saya juga ingin menjelaskan pemerintah kan punya Dinas Pertanian dibawahnya itu ada bidang perkebunan. Bidang perkebunan per tiga bulan harus memonitoring, mengevaluasi malah memberikan penilaian terhadap (perusahaan perkebunan) dari mulai aspek manajemannya, sosialnya, tanggungjawabnya, pengelolaanya. Hari ini mohon maaf, makanya saya juga senang kalau dinas ini hadir karena dinas yang akan memberikan penilaian.
Bung Rojak dalam catatan SPI, ada berapa lahan HGU/HGB yang ditelantarkan? Apakah ini sudah menjadi objek Reforma Agraria?
Kalau dalam pandangan kita, kalau secara aturan ini kan persoalannya mau atau tidak melaksanakan aturannya. HGU yang masa berlakunya sudah habis dua tahun belum diperpanjang (Minimal 2 tahun sebelumnya mengajukan perpanjangan) dan dipertegas di Perpres 86 itu, kalau setelah dua tahun pun belum (mengajukan) diperpanjang juga, itu seharusnya otomatis, Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat daerah ini harus mau bekerja jangan sekedar nama. (Gugus Tugas Reforma Agraria) mengajukan ke pusat supaya diproses lahan tersebut menjadi objek reforma agraria.
Ada Gugus Tugas Reforma Agraria di kota dan kabupaten yang diketahui kepala daerah masing-masing, Komisi I tahu hal ini?
Jadi kita itu, komisi I berbeda paham, berbeda pandangan dengan BPN, Dinas Pertanahan dan Dinas Pertanian soal penerapan Perpres 86. Pertama pemerintah daerah dalam persoalan reforma agraria itu belum sepenuhnya clear. Ada beberapa HGU/HGB yang sekarang berproses, mereka (pemerintah daerah) berpatokan pada Permen Agraria nomor 7 tahun 2017, sementara anggota Komisi I ingin Perpres nomor 86 Tahun 2018 ditegakan, kenapa karena (Permen dan Perpres) bedanya jauh.
Di Perpres 86 Tahun 2018 itu, HGU yang berubah peruntukan ke HGB maka ada kewajiban menyerahkan minimal 20 persen (pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit 20 persen dari bidang HGU yang berubah menjadi HGB) atau HGU yang mau habis dan ketika diperpanjang kembali maka ada kewajiban menyediakan lahan 20 persen.
Persoalan ini masih belum satu persepsi baik dengan pemerintah daerah maupun dengan BPN. Oleh karena itu bahwa Gugus Tugas Reforma Agraria turun, kita minta bupati juga serius, jangan asal dilaporkan oleh bawahannya informasi-informasi yang bagus-bagus saja. Sekali-kali bupati main ke perkebunan jadi supaya informasi itu berimbang. Saya juga sering berdebat dengan dinas pertanahan. Dinas pertanahan kadang-kadang seenaknya saja, mereka memberikan kajian teknis, turun satu kali sudah selesai. (Padahal) perkebunan dengan masyarakat banyak masalah.
Tolong lah pemerintah daerah, kehadiran (GTRA) Gugus Tugas Reforma Agraria harus dirasakan manfaatnya.