SUKABUMIUPDATE.com - Sopyan tak bisa berbuat banyak saat luapan air merendam kamar, tempat kakaknya terbaring lemas di atas tempat tidur. Kamis itu pun menjadi hari yang mencekam bagi keluarga yang sudah 19 tahun tinggal di Kampung Tugu, Kelurahan Jayaraksa, Kecamatan Baros, Kota Sukabumi.
Sopyan Yunus yang sudah berusia 60 tahun, harus kehilangan kakak tercintanya, Nunung Yunus (85 tahun), yang meninggal dunia di kamar rumah adiknya akibat terendam banjir luapan sungai Cisuda pada Kamis, 17 Februari 2022, petang. Bahkan, ini disebut-sebut sebagai salah satu bencana terbesar di Kota Sukabumi.
Ditemui jurnalis sukabumiupdate.com pada Ahad, 20 Februari 2022, Sopyan mengaku pasrah saat air masuk secara tiba-tiba ke dalam rumahnya. Gemetar suara Sopyan secara tersirat mewakili bagaimana kalutnya situasi ketika itu. Sebab kakaknya yang sudah berusia lanjut, tak bisa beranjak dari tempat tidurnya.
"Saat hujan deras, almarhumah saya pakaikan baju hangat supaya tidak kedinginan. Tapi, air terus membesar dan merendam kamar, sampai kasur tempat tidur kakak saya terangkat oleh air. Sedangkan kakak saya jatuh dan terendam," kata Sopyan dalam bahasa Sunda. Situasi ini terjadi sekira pukul 17.15 WIB.
Sopyan yang saat itu tidak punya banyak pilihan, sempat bertanya kepada kakaknya soal siapa di antara mereka yang akan meninggal lebih dulu dalam situasi tersebut. "Saya sempat bilang kepada kakak, siapa yang akan lebih dulu meninggal?," kata Sopyan. "Saya bilang, inginnya saya yang meninggal lebih dulu," imbuh dia.
Melihat kakaknya terendam, Sopyan juga sempat tak yakin bisa selamat dari bencana ini. Namun, segala upaya dilakukannya untuk bisa keluar dari dalam kamar lewat atap plafon, ditarik tetangga sekitar yang sudah bersiaga di atas rumahnya. Di situasi lain, istri Sopyan, Nurtini (47 tahun), berupaya menyelamatkan diri di halaman rumah.
Nurtini yang semula berusaha menahan luapan air masuk ke dalam rumahnya, justru terseret beberapa meter akibat derasnya banjir. Dia pun luka di tangan akibat terpontang-panting di halaman rumah usai mencoba menahan air menggunakan beberapa benda yang ada seperti meja tempat biasa dia berjualan makanan anak-anak.
"Saya kan di luar rumah, di dalam itu ada suami dan almarhumah. Saya coba berpegangan ke tembok pagar rumah, tapi tembok itu ambruk dan saya terseret," ucap Nurtini.
Menurut Nurtini, baru sekira satu jam kemudian, air mulai surut dan kakak iparnya ditemukan meninggal dunia di dalam kamar. Jenazah Nunung Yunus pun langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah R Syamsudin SH. Diketahui, Nunung baru kurang lebih enam bulan tinggal di rumah adiknya di Kampung Tugu.
Jenazah Nunung telah dimakamkan pada Jumat, 18 Februari 2022. Sementara Nurtini dan suaminya Sopyan Yunus, mengungsi ke rumah saudaranya yang masih di Kampung Tugu. Rumah yang sebelumnya ditempati Nurtini, Sopyan, Nunung, dan anak gadis mereka yang saat banjir sedang bekerja, kini rusak parah dan tak bisa ditempati.
Cisuda dan Kompleksitas Banjir
Tak hanya di Kampung Tugu, Kelurahan Jayaraksa, Kecamatan Baros, Badan Penangulangan Bencana Daerah atau BPBD Kota Sukabumi mencatat bencana banjir pada Kamis lalu terjadi merata di tujuh kecamatan, tepatnya di 64 titik. Selain banjir, BPBD pun menyebut ada tanah longsor di enam kecamatan yakni di 14 titik.
Berdasarkan data sementara BPBD Kota Sukabumi hingga Ahad, 20 Februari 2022, pukul 12.00 WIB, ada 12.567 jiwa yang terdampak bencana banjir dan tanah longsor pada Kamis, 17 Februari 2022, satu di antaranya meninggal. Kemudian, 87 rumah rusak berat, 173 rusak sedang, dan 3.493 rumah lainnya rusak ringan.
Tercatat pula, satu tempat ibadah rusak berat, dua rusak sedang, dan dua rusak ringan. Selanjutnya, dua lembaga pendidikan rusak berat, satu rusak sedang, dan satu lainnya rusak ringan. Satu fasilitas kesehatan pun mengalami rusak berat. Dengan adanya korban jiwa, Kampung Tugu, Kelurahan Jayaraksa, dianggap menjadi lokasi terparah.
Berdasarkan keterangan warga, banjir luapan sungai Cisuda yang diperkirakan setinggi 2 meter merendam rumah hingga masjid di Kampung Tugu. Sejumlah rumah yang terendam mengalami rusak parah hingga kerugian meteri karena beberapa fasilitas di dalam rumah yang ikut terendam dan rusak.
Kompleksitas soal bencana banjir memang sudah terjadi lama. Silang pendapat ihwal kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai selalu mengemuka ketika bencana ini terjadi. Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat pun angkat suara terkait peristiwa maut banjir di Kota Sukabumi, khususnya di Kampung Tugu, Kelurahan Jayaraksa, itu.
Kepala Seksi Sungai, Danau, Waduk, dan Pantai pada UPTD Cisadea - Cibareno Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, Ana Purnamasari mengatakan sungai Cisuda merupakan kewenangan pihaknya. Sungai ini memiliki panjang 2,5 kilometer dengan lebar rata-rata 10 hingga 12 meter.
Menurut Ana, meluapnya sungai Cisuda pada Kamis lalu disebabkan curah hujan tinggi dan longsoran yang membawa material pepohonan yang kemudian tersangkut di beberapa jembatan, termasuk Jembatan Merah, Baros. Kondisi tersebut membuat penyumbatan, sehingga aliran air tidak lancar.
"Termasuk adanya penyempitan sungai di beberapa titik jembatan dan sedimentasi ikut menjadi pemicu dangkalnya dasar sungai," kata Ana. Dia pun tak memungkiri masih adanya kebiasaan warga membuang sampah ke sungai. "Perlu juga penertiban bangunan di area sempadan sungai," tambah Ana menjelaskan.
Ana mengatakan kedalaman sungai Cisuda dapat mencapai 4 meter di bagian hulu (wilayah Salabintana, Kecamatan/Kabupaten Sukabumi), dan terus berkurang hingga kurang lebih 2 meter ketika memasuki kawasan permukiman penduduk (hilir). Pelebaran sungai dan normalisasi pun dirasa perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian serupa.
Beberapa hal lainnya yang menurut Ana harus dilakukan adalah pemasangan papan imbauan, pembuatan tembok penahan tanah di area rawan longsor, serta pengerukan sungai (normalisasi) pengerukan sampah dan sedimen. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Perum Perhutani agar dilakukan terasering di sepanjang sungai Cisuda.
"Terasering itu dilakukan supaya tidak terjadi longsor yang menimbulkan banjir di hilir," ucapnya. "Kami juga berkoordinasi dengan Pemerintah Kota dan Kabupaten Sukabumi agar bersama melakukan penertiban bangunan di sepanjang sungai, sehingga bisa sedikit menata dan ada perluasan," kata Ana.
Baca Juga :
Belajar dari Masa Lalu
Banjir bukanlah fenomena baru di Sukabumi. Warga Sunda di Sukabumi sudah mengenal banjir dengan istilah caah. Caah adalah kondisi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan, biasanya disebabkan hujan atau meluapnya sungai. Caah sendiri terbagi menjadi caah cileuncang yaitu banjir yang hanya sementara atau hanya genangan.
Genangan tersebut biasanya terjadi ketika turun hujan, dengan ketinggian semata kaki dan kembali surut ketika hujan reda. Orang tua zaman dulu, mengidentikkan banjir cileuncang dengan penyebaran penyakit, sehingga anak-anak dilarang bermain air cileuncang terlalu lama.
Kemudian, ada pula caah dengdeng atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan banjir bandang. Banjir ini terjadi di wilayah hilir (bawah) secara tiba-tiba tanpa terjadi hujan, biasanya hujan terjadi di wilayah hulu (atas). Banjir semacam ini berlangsung di Sukabumi hingga masuknya para kolonialis dan menjadi perhatian tersendiri.
Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan para kolonialis memahami fenomena banjir sehingga sempat menunda pembangunan rel kereta api di Sukabumi. Terbukti saat proses pembangunan jalur Bogor - Sukabumi, terjadi keterlambatan karena persoalan banjir dan longsor, bahkan proyek rel kereta api itu hampir gagal.
"Saat kereta beroperasi pun seringkali terjadi longsor akibat hujan, salah satunya di daerah Ongkrak Cibadak pada 11 Desember 1899," kata Irman.
Pada masa kolonial, banjir hampir selalu terjadi di wilayah Kota Sukabumi saat datang musim hujan. Misalnya, kata Irman, pada Mei 1930, daerah Tjipellangweg terendam banjir setinggi setengah meter akibat hujan deras di sore hari. Dikabarkan, ibu-ibu menaikkan roknya untuk melewati jalan tersebut sepanjang 100 meter.
Mobil-mobil pun melintas dengan susah payah, rumah-rumah di sudut Krommeweg - Tjipellang dibanjiri air, termasuk perkampungan Cipelang dan rumah-rumah di koridor Cikiray. Sementara dua rumah di Bentengweg terpaksa dikosongkan karena lokasinya yang rendah sehingga air merendam rumah tersebut.
"Konon, ini terjadi akibat sungai yang mengalir dari atas Villa "Berg en Dal" tersumbat, sehingga membanjiri wilayah Cipelang (Gede) dan jalan raya hingga jalan Benteng yang lebih rendah," ucap Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.
Selanjutnya, pada November 1934, Irman menyebut terjadi banjir yang menggenangi wilayah Bunut dengan aliran deras. Banjir ini menghanyutkan ikan-ikan yang banyak ditanam di beberapa kolam di sekitar Jalan Bunut dan membuat anak-anak kecil sibuk menangkapnya. Genangan cukup tinggi juga terjadi di Ciaul dan menyebabkan perabotan rumah terapung.
Bahkan ketika itu polisi terpaksa mengevakuasi beberapa penghuni rumah karena rumahnya terancam roboh. Di Krommeweg (Jalan Kebon Cau), air mencapai ketinggian orang dewasa. Jalan raya juga ikut tergenang dan menyisakan endapan lumpur tebal di keesokan harinya. Padahal, sudah dilakukan perbaikan gorong-gorong di sudut Wilhelmina dan Jalan Ciwangi.
Masyarakat Sukabumi secara tradisional sebenarnya sudah memiliki upaya penangkal banjir. Selain memelihara saluran air, juga memelihara pohon penampung hujan seperti Ki Waksana dan beringin. Ini juga dilakukan Pemerintah Hindia Belanda dengan menanam pohon-pohon tersebut di wilayah permukiman.
"Sebelum perubahan status kota menjadi Gemeente dan Afdeling menjadi Regentschap, upaya penanganan banjir harus melalui persetujuan pusat yaitu Gubernur Jenderal di Batavia," kata Irman.
Anggaran pemeliharaan fasilitas sangat tergantung kebijakan Gubernur Jenderal, sehingga kontrol sangat lemah. Dengan instruksi pemerintah pusat, pembangunan gorong-gorong (duiker) dan jembatan dilakukan, misalnya gorong-gorong di sekitar Ciaul dibangun pada 1888. Sebagian gorong-gorong di kota juga sudah dibangun pasca pemisahan Afdeling Sukabumi dengan Cianjur pada 1871, meskipun belum maksimal.
Pasca pencabutan larangan membawa istri, Irman mengungkapkan orang-orang Eropa semakin banyak yang tinggal di Sukabumi. Itu kemudian menyebabkan munculnya desakan otonomi atas wilayah-wilayah yang diisi orang Eropa (European Enclaves).
Alhasil, keluarlah kebijakan desentralisasi yang menaikkan status Kota Sukabumi menjadi Gemeente pada 1914 dan disusul pada 1921 perubahan status Afdeling menjadi Regentschap (kabupaten). Perubahan ini memberi wewenang pemerintah lokal untuk melakukan upaya pembangunan.
Terkait penanganan banjir, sekitar 1917, sudah muncul program Soekaboemi Vooruit. Program ini di antaranya membuat dan pemeliharaan gorong-gorong dalam rangka pembenahan infrastruktur kota. Perbaikan besar gorong-gorong drainase kota diajukan sebesar f 25.000. Dalam paket tersebut, dimungkinkan termasuk pembuatan gorong-gorong sungai Cikole, dari Cikiray ke Kebon Kalapa melintasi rel kereta api dekat N.V. Braat.
"Kemudian gorong-gorong sungai Tjiwangi di sekitar Toko Ban Ek Jeng/Kapitol yang saat itu masih berupa lahan milik Patih Bandung yang ditanami dan digunakan sebagai bengkel dan sebuah rumah. Pada 1920, juga dilakukan pembenahan gorong-gorong di sekitar Masjid Agung Sukabumi," ungkap Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story".
Selanjutnya, pada Juni 1938, masyarakat meminta Burgeemester Van Unnen membuat gorong-gorong di Cipelang karena selalu bermasalah ketika hujan deras. Tak hanya itu, saluran pemerintah juga mengontrol potensi banjir dengan memperluas dan membangun irigasi di beberapa tempat. Selain dimaksudkan untuk pengairan lahan pertanian, juga sebagai pengaturan air saat hujan deras.
Sebagai pelengkap, ditetapkan petugas yang bertanggung jawab dalam mengawasi air. Di level atas ditunjuk Hoofd Ingenieur, yaitu seorang insinyur berpengalaman yang menjadi kepala Irigatie-Afdeling (kepala kantor irigasi). Dia dibantu para teknisi menengah (Iopzichters) yang disebut mantri Waterbeheer atau mantri irigasi atau mantri ulu-ulu.
Sedangkan untuk pemeliharaan bangunan irigasi di lapangan, dikerjakan oleh mandor-mandor irigasi (Beambte Waterbeheer) dan sekelompok pekerja (Ploegkoelies). Upaya tersebut cukup meminimalisir potensi banjir, selain penegakkan hukum terutama terkait sampah dan gorong-gorong yang juga dilakukan secara ketat dan tegas.
"Melihat apa yang dilakukan pemerintah kolonial dalam menangani banjir di Sukabumi, mungkin sebagian bisa diterapkan kembali, misal dengan merevitalisasi gorong-gorong yang sempat diduga sebagai terowongan bawah tanah. Upaya-upaya tersebut bisa dikombinasikan dengan mekanisme penanganan banjir yang baru dan lebih baik," tutup Irman.