SUKABUMIUPDATE.com - Metaverse menjadi bahan pembicaraan gara-gara Facebook mengubah nama perusahaannya menjadi Meta dan mengumumkan akan menggelontorkan dana sebanyak 10 miliar USD atau setara dengan Rp 140 Triliun untuk membangun Metaverse.
Metaverse sekarang ini sebenarnya belum ada, Metaverse baru sebatas konsep dalam imajinasi para pengusaha visioner seperti Mark Zuckerberg dan teman-temannya.
Metaverse, jika nanti benar-benar terwujud akan berpotensi mengubah cara manusia menjalani hidup, bersosialisasi, bekerja, berbisnis termasuk bagaimana kapitalisme bekerja.
Bagi perusahaan, Metaverse membuka kemungkinan tanpa batas untuk mengeruk beragam keuntungan dengan cara-cara yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Bagi para pelaku industri kreatif khususnya di bidang digital design dan gaming, Metaverse adalah ‘tanah harapan’ yang terbuka lebar.
Daftar Isi
Apa itu Metaverse?
Matthew Ball seorang penulis buku ‘The Metaverse Primer’ mendefinisikan Metaverse sebagai jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang bekerja secara real-time dan persisten. Serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran dan hak, yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak terbatas.
Penjelasan lain menurut Facebook, Metaverse adalah seperangkat ruang virtual yang Anda dapat diciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan Anda.
Untuk lebih simpelnya, apakah Anda pernah nonton film ‘Ready Player One’ yang dibuat oleh Steven Spielberg? Itu adalah Metaverse. Jika belum nonton film tersebut, Anda tahu game Fortnite yang populer itu? Atau game Roblox yang lagi trend saat ini? Permainan online itu adalah Metaverse.
Game-game tersebut memungkinkan Anda memainkan sebuah Avatar yang Anda ciptakan untuk hidup dan berinteraksi dengan Avatar lain dalam sebuah dunia virtual.
Tapi bedanya, alih-alih Anda memainkannya dengan menggunakan gadget atau melihat layar gadget, Metaverse dapat diakses atau dimainkan dengan menggunakan perangkat VR (Virtual Reality), yang memungkinkan Anda benar-benar merasa ada di dalam dunia virtual tersebut.
Perbedaannya dengan Roblox, jika tampilan dan desain dunia Roblox itu dibuat sangat sederhana, sedangkan Metaverse akan bisa menghadirkan dunia tiga dimensi baik dari segi suasana, visual dan bunyi hingga menyerupai dunia yang sebenarnya.
Analogi dari Metaverse yang mungkin bisa Anda bayangkan adalah seperti berikut, bayangkan seandainya tiba-tiba ditemukan sebuah planet baru yang tidak jauh dari Bumi, keindahan yang bisa ditemukan di planet itu hanya bisa dibatasi oleh daya imajinasi saja dan semua manusia siapapun tinggal di planet itu.
Maka, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Facebook, berlomba-lomba untuk menguasai lahan sebanyak-banyaknya di dunia baru yang baru ditemukan itu.
Di atas lahan tersebut, mereka lalu membangun kota impian dimana siapapun bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Bahkan bisa melakukan hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan di Bumi.
Mereka bermitra dengan banyak perusahaan pengembang, membangun fasilitas umum seperti mall, perkantoran, tempat rekreasi, sekolah dan kemudian menjual lapak-lapak tanah seperti rumah, apartemen dan juga ruang perkantoran.
Mereka hadirkan teknologi termutakhir dan konsep dunia baru yang begitu memukau. Perusahaan-perusahaan itu akan memikat sebanyak mungkin orang untuk mau tinggal di kota impian yang mereka ciptakan.
Metaverse kurang lebih seperti itu, hanya bedanya planet dan kota-kotanya bersifat virtual, berada di alam ‘maya’ yang bisa kita akses melalui perangkat seperti VR.
Meskipun ‘maya’, pengalaman yang Anda alami di dalam dunia virtual itu bersifat ‘real time’ dan permanen. Sama dengan kehidupan saat ini, semua yang biasa dilakukan dalam dunia nyata bisa dilakukan di sana, bahkan bisa untuk berbisnis dan berkarir untuk mencari uang.
Di Metaverse, Anda bisa membeli tanah, rumah, baju, mobil ataupun karya seni digital dan mendapatkan sertifikat kepemilikan yang sah atas aset-aset digital tersebut. Aset digital itu akan selalu ada dan tetap akan jadi milik Anda, selama Anda tidak menjualnya ke orang lain.
Jika barang Anda itu banyak orang lain yang berminat untuk membelinya, maka harga barang Anda itu bisa jadi tinggi nilainya di pasar.
Ekonomi Metaverse
Kenapa Facebook begitu nafsu membangun Metaverse? Sebagian orang melihat karena Metaverse itu sebuah gagasan yang keren. Sebagian lagi, karena Metaverse akan menjadi lahan baru yang tidak terbatas untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
Sam Purifoy, seorang PHD berusia 27 tahun dari Columbia University, meninggalkan pekerjaannya untuk mengejar peruntungan dengan bermain video game bernama ‘Axie Infinity’, sebuah permainan online berbasis Blockchain yang menggunakan uang kripto sebagai alat tukar.
Di game tersebut, Sam Purifoy harus membeli tiga buah monster yang disebut ‘Axies’ seharga 500 USD. Kemudian, Axies milik Sam Purifoy ini akan diadu dengan Axies milik pemain lainnya dengan modal pertarungan seperti permainan Pokemon.
Pemenang akan mendapatkan ‘Smooth Love Potions’ yang bisa digunakan untuk mengembangbiakkan Axies.
Disitulah letak ekonominya, dengan modal 500 USD, Sam Purifoy bisa beternak banyak Axies dan menjual dengan keuntungan yang berlipat ganda.
Orang-orang seperti Sam Purifoy ini pandai melihat peluang, mereka ingin mencetak sebanyak mungkin uang. Disisi lain, mereka tahu batasan dirinya, maka mereka mulai mempekerjakan pemain lain yang tidak punya modal untuk bermain atas nama mereka.
Selain itu, mereka juga memberikan modal kepada pemain lain dengan imbalan bagi hasil atas setiap kemenangan yang mereka dapatkan. Dengan begitu, jumlah kekayaan yang bisa dikumpulkan Sam Purifoy menjadi tidak terbatas.
Itulah ekonomi Metaverse, dalam dunia yang tidak terbatas, kekayaan pun menjadi tidak terbatas.
Di dalam Metaverse, Anda dapat membeli atau menyewa tanah, membangun apapun di atasnya dan mendapatkan uang darinya. Anda bisa membuat museum virtual dan menarik biaya dari setiap pengunjung yang datang atau Anda juga bisa membangun mall dan menarik komisi dari setiap penjualan yang terjadi di dalam mall virtual Anda.
Bahkan, Anda bisa memasang billboard di dinding bangunan Anda dan menyewakannya pada brand yang ingin beriklan.
Pertanyaannya, apakah ada yang berminat? Jawabannya ada, dan itu sekarang sudah terjadi. Bayangkan ketika nanti miliaran manusia sudah memenuhi Metaverse layaknya Facebook yang sekarang sudah berisi hampir tiga miliar orang, maka harga tanah yang Anda miliki di Metaverse pasti akan melambung tinggi.
Billboard yang Anda pasang di dinding mall virtual, itu akan jadi rebutan brand-brand besar.
Anda seorang arsitek? Anda juga bisa menjual layanan mendesain rumah virtual di Metaverse, kemudian melakukan kerjasama dengan seorang programmer untuk membangunkan rumah itu untuk klien Anda.
Atau Anda ingin jadi Elon Musk? Anda bisa bangun pabrik mobil di dalam Metaverse kemudian menjual mobil-mobil digital itu kepada penduduk yang ada di situ.
Kalau Anda misalnya produsen mobil di dunia nyata, Anda bisa membuat versi digital dari mobil Anda itu, kemudian menjualnya di Metaverse.
Teknologi NFT yang dilekatkan pada setiap aset digital di Metaverse memastikan bahwa aset itu unik milik Anda, memiliki nilai dan dapat diperjualbelikan.
Evolusi Kapitalisme
Siapa yang akan mendapatkan keuntungan paling besar di Metaverse ini? Jawabannya para ‘tuan tanah’ dan pengusaha yang masuk paling awal. Seperti mereka yang membeli Bitcoin 10 tahun yang lalu, sekarang menjadi orang yang kaya raya.
Ketika Metaverse sudah semakin berkembang dan pemain-pemain baru semakin banyak, maka ketimpangan ekonomi akan terjadi. Ratusan ribu orang akan berusaha membuka bisnis di sana, para ‘tuan tanah’ pun akan menetapkan harga sewa lapak yang bisa jadi tidak masuk akal.
Jutaan pencari kerja berharap bisa menjadi karyawan di perusahaan milik Sam Purifoy dan teman-temannya, sementara lowongan kerja terbatas.
Demand (kebutuhan) jauh melampaui Supply (barang), para pencari kerja terpaksa menerima tawaran dengan gaji rendah, para partner dipaksa ikhlas menerima bagi hasil yang tidak seberapa.
Siapa yang paling diuntungkan dari semua itu? Dia yang membangun dunia itu, sang ‘Alfa’ yang memungkinkan semua itu terjadi, adalah Facebook atau kini Meta.
Seperti ungkapan yang sering diucapkan di sebuah casino, “The house always win”.
Metaverse memungkinkan kapitalisme bekerja dengan sempurna. Dalam sebuah komunitas yang dikelola oleh pemimpin yang adil, maka aturan main akan dibuat untuk membangun kemaslahatan bersama yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua anggota komunitasnya.
Namun, Facebook seperti perusahaan-perusahaan teknologi lainnya adalah mesin kapitalisme. Tujuannya cuma satu, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk para pemegang saham, maka aturan main akan selalu berpihak pada ‘tuan tanah’ bukan pada warga.
Tentu saja mereka cerdas memainkannya, aturan dibuat dan disajikan sedemikian rupa sehingga terlihat memihak warga. Para pemain bisnis semakin jago melakukan itu, mereka pandai memainkan ego Anda, memancing hasrat menawarkan kesenangan yang sulit Anda dapatkan dalam dunia nyata.
Tanpa sadar, Anda pun menyerahkan uang Anda, tidak sekali, tapi berkali-kali. Bahkan Anda titipkan dompet Anda pada mereka, mempersilahkan mereka untuk mengambil isinya secara rutin agar mereka terus memuaskan Anda.
Bagi sebagian orang, Metaverse merupakan sebuah ‘Libertarian Utopia’ (Kondisi dimana dunia bebas yang semu atau maya. red). Metaverse memungkinkan setiap orang dapat bertindak dan melakukan aktivitas ekonomi tanpa adanya intervensi dan manipulasi dari pemerintah.
Dilihat dari perkembangannya, Metaverse kemungkinan besar akan berjalan di atas teknologi Blockchain dan mata uang kripto, yang pada akhirnya akan bisa menghadirkan pasar bebas atau free market yang sebenar-benarnya.
Semuanya kembali pada mekanisme pasar yang murni, hal itu mereka yakini akan memberikan keadilan yang sejati untuk semua pelaku ekonomi.
David Cameron, mantan Perdana Menteri Inggris pernah berkata, “Saya percaya bahwa pasar terbuka dan perusahaan bebas adalah kekuatan terbaik yang dapat dibayangkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Mereka adalah mesin kemajuan, menghasilkan usaha dan inovasi yang mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan memberi orang kesempatan. Ketika bekerja dengan baik, pasar terbuka dan perusahaan bebas benar-benar dapat mempromosikan moralitas”.
Dalam perspektif Libertarian, Metaverse akan mendorong perdagangan bebas, dimana persaingan yang adil akan tercipta. Semua orang diperlakukan sama dan hanya produk berkualitas tinggi yang bisa menang di sana.
Tanah Harapan untuk (hampir) Semua Manusia
Siapapun termasuk perusahaan-perusahaan kecil bisa menjadi ‘tuan tanah’ di dunia baru ini juga mereka yang masuk lebih awal dan memposisikan dirinya dengan baik.
Sama seperti dulu ketika para pengusaha dari negara-negara maju berlayar mengeksplorasi lautan hingga menemukan benua baru.
Mereka kemudian menguasai lahan-lahan yang ada di sana, mereka pun menjadi kaya raya padahal di negara aslinya mereka bisa jadi bukan siapa-siapa.
Maka, perusahaan-perusahaan yang punya visi besar seperti Facebook pastinya akan mencoba masuk lebih dulu agar bisa menguasai lahan yang paling besar dan menjadi penguasa di dunia baru itu.
Itulah yang membuat Facebook berani investasi besar-besaran ke dalam pembangunan Metaverse ini. Karena disitulah masa depan dari kapitalisme.
Kapan Metaverse akan Terwujud?
Metaverse perlu waktu yang tidak sebentar sebelum benar-benar menjadi kenyataan, namun tidak sedikit sejumlah perusahaan sudah mulai ‘curi start’ agar nantinya bisa mendulang keuntungan di dunia baru tersebut.
Salah satunya adalah Wir Group, perusahaan asli Indonesia yang dikomandoi oleh Michael Budi. Saat ini, Wir Group bekerjasama dengan perusahaan Singapura bernama MyRepublic, untuk menciptakan berbagai ruang virtual dari pasar hingga museum beserta Avatar untuk digunakan para user dalam berinteraksi dan bertransaksi di Metaverse.
Sebetulnya, Anda tidak perlu menunggu hingga Metaverse mewujud jadi kenyataan. Saat ini pun, Anda bisa melihat ketika anak-anak di zaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bermain di dunia virtual dengan teman-temannya dari berbagai negara dibandingkan bermain dengan anak tetangga di komplek rumah.
Bahkan, sebagian orang merasa lebih senang hidup di linimasa media sosial daripada di dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Melihat fenomena tersebut, sejumlah orang memprediksi Metaverse akan datang lebih cepat daripada yang diduga.
Ironisnya, selagi dunia bergerak cepat menuju masa depan, masih banyak perusahaan yang ‘hidup di masa lalu’.
Mereka terus meyakinkan diri mereka sendiri bahwa bisnis mereka akan baik-baik saja dan di akhir tahun seperti ini, mereka sedang sibuk menyusun rencana masa depan berdasarkan data historis masa lalu.
Mereka ngotot menyelenggarakan rakernas nya secara offline, karena setelah hampir dua tahun, mereka masih tidak merasa nyaman menggunakan zoom.
Dan topik diskusi yang paling futuristik dalam pertemuan itu adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk kita.