SUKABUMIUPDATE.com - Pembangunan tahap 1 double track kereta api dari Bogor - Cigombong ditargetkan selesai pada Maret 2022. Ini menjadi langkah awal progres pembuatan jalur ganda menuju Sukabumi. Jarang diketahui, Sukabumi ternyata menyimpan catatan sejarah seputar dunia perkeretaapian, salah satunya rel di wilayah Ujunggenteng.
Berdasarkan peta tahun 1934 yang diperoleh dari Soekaboemi Heritages, tampak jalur kereta api menuju dermaga Oedjoenggenteng (Ujunggenteng). Ini merupakan jalur kereta api kecil/lori/tramway (smalspoor) yang disebut Decauville, sesuai nama produsennya. Begitu kata Pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah, Kamis, 16 Desember 2021.
Irman yang juga Ketua Yayasan Dapuran Kipahare mengatakan, perusahaan yang didirikan Paul Decauville itu mensuplai keperluan transportasi berjenis kereta api kecil di beberapa tempat di Jawa dan Sumatera. Termasuk pabrik gula dan perkebunan tebu serta perkebunan singkong, kelapa, dan karet, di Ujunggenteng dan sebagian produsen garam.
Produk Decauville sudah dilirik sejak 1881, terutama untuk pembangunan rel di Pamanukan dan Ciasemlanden sepanjang 30 kilometer. Diproyeksikan, ini akan juga digunakan di Cirebon, Belitung, Bangka, dan wilayah lainnya yang berkontur rata. "Ujunggenteng memang mempunyai persoalan transportasi sejak dulu," kata Irman kepada sukabumiupdate.com.
Persoalan yang dimaksud Irman, salah satunya ketika tahun 1906, di mana sudah direncanakan jalur kereta api Bandung - Ciletuh dengan 30 pemberhentian, termasuk di Cikaso dan Citespong. Tetapi, tak kunjung berjalan. Pembangunan jalan juga tersendat, hingga 1924, jalur Ciracap - Ujunggenteng masih belum dibangun secara layak. Sementara Jalur Ciracap - Palabuhanratu baru dibangun pasca selesainya pembangunan jembatan gantung Cimandiri (Bagbagan) yang juga sempat terbengkalai karena banjir.
"Di sisi lain Jalur Cikarang - Ujunggenteng baru selesai dibangun dengan aspal pada bulan November 1930 dengan biaya 74.000 gulden," kata pria yang sudah menulis beberapa buku, salah satunya buku "Soekaboemi the Untold Story".
Baca Juga :
Keberadaan pelabuhan di Ujungjenteng pun tidak lepas dari jasa Charles Edgar du Perron (Edu), sastrawan dan penulis Hindia Belanda, yang mencari lahan perkebunan di sana. Dalam prosesnya, Edu juga menemukan lokasi bagus untuk pendaratan kapal besar yang lebih baik dari Palabuhanratu, mengingat Palabuhanratu harus menggunakan sampang karena pendangkalan.
Pada Agustus 1914, kapal besar De Carpentier dilabuhkan di Ujunggenteng, meski tidak bisa lama karena belum ada infrastruktur dermaga. Kemudian sejak Januari 1925, perusahaan perkebunan sekitar mulai mempergunakan pelabuhan bisnis untuk sebagian pengiriman komoditi. Sebab, pelabuhan sudah berfungsi baik dan dilabuhi kapal besar seperti kapal uap KPM.
"Sebuah perusahaan besar Amerika yang sedang membangun pabrik singkong Tjidjaringao, juga menggunakan pelabuhan ini sebagai transportasi utama," ungkap Irman. Pemerintah lalu mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini dan memutuskan, sejak 1 Januari 1926, pelabuhan Oedjoenggenteng tidak lagi dianggap milik pelabuhan industri.
Budi daya singkong pada saat itu diinisiasi Cultural Society "Stryker" yang bekerja sama dengan pengusaha Amerika Serikat. Irman berujar, perusahaan ini banyak mempekerjakan orang luar, di antaranya pekerja dari Jawa Tengah dan sebagian dari sekitar Sukabumi utara, Cibadak, dan Bogor. Mereka mengolah lahan seluas 6.000 bau, sebagian pekerja bahkan menetap di sekitar perkebunan.
Penanganan sangat serius dilakukan oleh Tuan Vervooren dengan merancang dermaga yang bisa menampung kapal besar yang juga digunakan oleh perkebunan Tipar dan Cikaso (Franco Nederlanden). Selain itu, peralatan pertanian dan peralatan konstruksi yang cukup canggih. Bangunan pabrik, mes karyawan yang lengkap, dan banyak ahli dari Amerika pun didatangkan.
Keberadaan pelabuhan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan rel lori/tram Decauville untuk mengangkut komoditas dari perusahaan Citespong, Cikaso, dan Tipar. Keberadaan kereta lori atau tramway Decauville tidak berbeda dengan kebutuhan kereta lori di perusahaan gula di Jawa. Ini sangat membantu mengingat kondisi jalan darat di sana sangat buruk, bahkan terisolir dengan ibu kota Sukabumi di utara.
"Decauville cukup efektif mengantarkan komoditas dari pengepulan ke pabrik, kemudian dari pabrik ke pelabuhan Ujunggenteng secara massal," kata Irman. Tidak diketahui secara pasti panjang jalur kereta api tersebut, namun yang jelas jalur ini tidak digunakan sebagai moda transportasi manusia secara komersil.
Sayangnya, Irman mengungkapkan, kondisi Malaise (kondisi resesi di zaman Belanda) memaksa perusahaan singkong ini tutup pada 1930 dengan meninggalkan pekerja yang sangat banyak dan teknologi yang sudah canggih. Banyak pekerja terlantar, mereka terutama pekerja Jawa Tengah yang agak sulit berbaur dengan masyarakat, sehingga banyak ditolak di perkebunan-perkebunan sekitar.
Mereka akhirnya terjangkit penyakit dan mengalami kondisi yang menyedihkan. Hingga Mr Kerkhoven, pemilik perkebunan Panoembangan, turun tangan dan membawa mereka ke stasiun Cibadak untuk kemudian dipulangkan. "Di antara mereka banyak pula yang bertahan menjadi petani atau sekedar membantu di perkebunan sekitar."