SUKABUMIUPDATE.com - Dewan Pengupahan telah menetapkan rekomendasi Upah Minimum Kabupaten Sukabumi tahun 2022 sebesar Rp 3.281.716,956. Angka tersebut naik 5 persen atau Rp 156.272,236 dari UMK 2021 sebesar Rp 3.125.444,72. Informasi ini diperoleh dari Mochamad Popon yang hadir dalam sidang pleno Dewan Pengupahan, Selasa, 23 November 2021.
Popon yang juga Ketua Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau PC FSP TSK-SPSI Kabupaten Sukabumi, mengapresiasi keberanian Bupati Sukabumi yang merekomendasikan kenaikan UMK sebesar 5 persen di tengah tekanan pemerintah pusat melalui surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Dalam Negeri yang kendorong kenaikan sesuai formula Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Alhamdulillah Bupati Sukabumi bisa mengakomodir rekomendasi kenaikan sebesar 5 persen dari usulan yang disampaikan serikat pekerja sebesar 10,5 persen," kata Popon yang kini juga menjabat Sekretaris Umum Pimpinan Pusat FSP TSK-SPSI kepada sukabumiupdate.com, Kamis, 25 November 2021.
Merujuk pada formulasi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, Popon menyebut, UMK 2022 Kabupaten Sukabumi tidak akan mengalami kenaikan. Pemerintah pusat, kata dia, gagal menjawab logika publik, meski sudah berhasil membuat aturan secara cepat yang mengakomodir kepentingan pengusaha.
"Ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi hasilnya harus positif selama tiga tahun berturut-turut. Jelas pemerintah sudah membuat skenario agar UMK tidak naik, karena hampir semua kabupaten/kota pada tahun 2020 lalu, pertumbuhan ekonominya minus," tuturnya.
Baca Juga :
Kegagalan menjawab logika publik yang dimaksud Popon adalah kebijakan tahun sebelumnya, di mana banyak kabupaten/kota yang menaikkan UMK, termasuk Kabupaten Sukabumi sebesar 3,27 persen. Padahal, tahun lalu kondisi ekonomi sedang runtuh akibat hantaman pandemi dan pertumbuhannya minus (Kabupaten Sukabumi minus 1,08 persen). Ditambah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang juga tidak memungkinkan adanya kenaikan UMK.
"Atas dasar apa pemerintah tahun lalu menaikkan UMK 2021, sementara aturannya tidak naik dan secara ekonomi pun minus. Nah, tahun ini juga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menaikkan UMK, sebab presidennya masih sama Pak Jokowi dan Menaker-nya masih Ida Fauziyah," ujar Popon.
Popon berujar, pemerintah telah membangun kesesatan logika dengan melakukan framing ekonomi tahun 2021 masih sulit terkunci pandemi. Sebab faktanya, Popon menyebut, sektor manufaktur di Kabupaten Sukabumi, khususnya sektor sepatu dan garmen, tidak terlalu terpengaruh wabah Covid-19.
Popon mencontohkan, tahun lalu ada sejumlah perusahaan yang mengurangi karyawannya dengan alasan pandemi. Namun tahun ini, sudah kembali melakukan perekrutan, bahkan melebihi jumlah yang sebelumnya dikurangi. "Faktanya sektor manufaktur di Kabupaten Sukabumi khsusnya eksportir sektor garmen dan alas kaki, kondisi ordernya sangat baik bahkan melebihi sebelum pandemi," ucap dia.
Saat rapat Dewan Pengupahan, Popon mengaku menantang perusahaan eksportir yang mengaku terpukul akibat pandemi, menunjukkan perusahaan mana yang dimaksud dan siapa brand atau buyer-nya. "Tapi unsur pengusaha tidak ada yang menjawab dan tidak ada yang berani menunjukkan."
Dewan Pengupahan dari unsur Pemerintah Kabupaten Sukabumi pun disebut Popon menjadi daerah yang berani memberikan usulan kenaikan sebesar 2,5 hingga 3 persen untuk UMK 2022, sedangkan unsur serikat pekerja mengusulkan 10,5 persen, dan unsur pengusaha sudah bisa dipastikan tidak menginginkan adanya kenaikan atau sesuai formulasi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021.
"Pemerintah pusat yang berkolaborasi intim dengan pengusaha gagal membangun manipulasi dan narasi buruh jangan mempermasalahkan formula PP 36/2021 karena upah minimum itu hanya berlaku untuk buruh dengan masa nol tahun atau di bawah 1 tahun," kata dia.
"Tapi pemerintah lupa, faktanya banyak perusahaan yang membayar upah buruhnya dengan masa kerja di atas 1 tahun bahkan belasan atau bahkan puluhan tahun dengan upah minimum, dan tidak ada sanksi apa pun dari pemerintah karena aturannya sendiri lemah atau mungkin disengaja lemah oleh pemerintah," tutupnya.