SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet menyayangkan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan dalam negeri masih didominasi impor.
Legislator asal Sukabumi ini pun membeberkan realisasi impor barang konsumsi pada kuartal pertama 2021, di mana impor sejumlah komoditas pangan mengalami peningkatan yang cukup besar.
Tercatat impor garam secara kumulatif di kuartal pertama 2021 sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibandingkan kuartal pertama 2020 yang hanya sebanyak 317.642 ton.
Kemudian impor gula di kuartal pertama 2021 meningkat signifikan menjadi 1,93 juta ton atau naik 42,96 persen dibandingkan periode Januari-Maret 2020 yang tercatat sebanyak 1,34 juta ton.
Impor kedelai secara kumulatif (Januari-Maret) naik hingga 22,43 persen dari 571.539 ton di kuartal pertama 2020 menjadi 699.730 ton di kuartal pertama 2021.
Secara kumulatif, impor jagung pada kuartal pertama 2021 pun tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,6 persen dibandingkan kuartal pertama 2020 yang hanya sebanyak 317.642 ton.
Impor bawang putih pada kuartal pertama 2021 ini terdata ada 53.536,9 ton atau naik 165,23 persen dari kuartal pertama 2020 yang tercatat hanya sebanyak 20.184,98 ton.
"Lalu pada Maret 2021, impor bawang putih juga tercatat 5.825,5 ton atau naik tajam 294,21 persen ketimbang Februari 2021 yang sebanyak 1.477,7 ton," kata Slamet kepada media, Kamis, 20 Mei 2021.
Baca Juga :
Slamet juga menyebut impor garam di Maret 2021 mencapai 299.736 ton. Realisasi tersebut naik 275 persen dari Februari 2021 yang hanya sebanyak 79.929 ton. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, impor garam naik 54,02 persen, di mana pada Maret 2020 komoditas ini hanya 194.608 ton.
"Secara kumulatif di kuartal pertama 2021, impor ini tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2020 yang hanya sebanyak 317.642 ton," kata Slamet.
Menurut Slamet, kondisi ini sangat berbahaya sebab pemenuhan pangan nasional harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, yakni dimensi pertahanan dan keamanan serta kedaulatan suatu negara, bukan hanya menjadi komoditas pangan biasa.
"Dikhawatirkan Indonesia akan terjebak ke dalam food trap atau jebakan pangan sebagai bentuk penjajahan gaya baru saat ini," tegasnya.
Slamet berujar keberadaan Badan Usaha Milik Negara klaster pangan harus menjadi solusi ketergantungan Indonesia dari produk pangan impor.
Meski sebagian besar BUMN klaster pangan core utamanya merupakan bisnis, namun Slamet mengingatkan bahwa pengelolaan BUMN klaster pangan harus menanamkan sikap heroisme atau kepahlawanan bagi masyarakat karena perusahaan tersebut dibentuk oleh negara dan memperoleh penyertaan modal negara (PMN) yang uangnya berasal dari pajak.
"Sehingga tujuan akhirnya adalah juga harus mengangkat harkat dan martabat negara, khususnya petani dan nelayan," ujar dia.
Slamet juga menegaskan BUMN klaster pangan dalam menjalankan core bisnisnya harus menjadi champion dalam bidang tersebut sehingga masyarakat dapat mengambil contoh atau memanfaatkan kondisi itu.
"Misal PT garam harus menjadi leading pemanfaatan inovasi pengolahan garam untuk meningkatkan kualitas garam rakyat menjadi garam industri, lalu membentuk kemitraan bersama masyarakat dalam hal pengelolaan garam. Jika ini berjalan baik, maka ketergantungan impor garam nasional akan dapat dikurangi," katanya mengakhiri.