SUKABUMIUPDATE.com - Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi atau Komnas KIPI menyatakan kelumpuhan yang diderita Susan Antela (31 tahun), guru dari Kampung Pasir Talaga RT 03/06 Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi merupakan guillain-barre syndrome atau GBS.
Ketua Komisi Nasional KIPI Hindra Irawan Satiri menyebut hal itu berdasarkan diagnosis tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. "Disimpulkan tidak cukup bukti untuk mengaitkan KIPI ini dengan vaksinasi Covid-19," kata Hindra dikutip dari Tempo, Senin, 3 Mei 2021.
Hindra mengatakan Komisi Nasional KIPI bersama Komisi Daerah KIPI Jawa Barat telah melakukan audit atas kejadian kelumpuhan Susan sejak pekan lalu. Susan dilaporkan mengalami kelumpuhan pasca-suntik vaksin Covid-19 Sinovac dosis kedua pada 31 Maret 2021.
Koordinator Pelayanan Medik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Zulvayanti sebelumnya menyampaikan, Susan dirawat dengan keluhan lemah keempat anggota gerak. Ia mengatakan Susan datang ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan mendapatkan perawatan sejak 1 hingga 23 April 2021.
Susan ketika menjalani rawat jalan, sempat datang kembali untuk memeriksakan diri ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. "Kontrol ke klinik motorik neurologi RSHS, saat ini pasien dalam masa perbaikan atau penyembuhan," kata Zulvayanti, Jumat, 30 April 2021 lalu.
Sementara Ketua Komisi Daerah KIPI Jawa Barat Kusnandi Rusmil mengatakan telah dilakukan computerized tomography scan atau CT scan toraks dan pemeriksaan darah sesuai prosedur terhadap Susan.
"SA wanita 31 tahun dengan keluhan kedua mata buram dan kelemahan anggota gerak. Keluhan mata buram muncul secara perlahan-lahan 12 jam pasca-imunisasi Covid-19. Telah dilakukan ct scan toraks dan pemeriksaan darah sesuai prosedur. Hasil pemeriksaan dokter spesialis saraf didiagnosa dengan berupa guillain-barre syndrome," katanya dalam konferensi pers virtual, Senin, 3 Mei 2021.
"Saat ini keadaan umum SA sudah membaik, mata sudah baik, minggu depan akan kontrol kembali ke rumah sakit tempat merawat inap," tambah ia.
Dikutip dari laman Alodokter, guillain-barre syndrome adalah penyakit autoimun yang tergolong langka. Pada penyakit ini, sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi justru menyerang sistem saraf perifer yang bertanggung jawab mengendalikan pergerakan tubuh.
Sebagai akibatnya, penderita guillain-barre syndrome bisa mengalami gejala bertahap yang diawali dari kesemutan dan nyeri pada otot kaki serta tangan.
Selanjutnya penderita penyakit ini mengalami pelemahan pada kedua sisi otot tubuh dari kaki dan menjalar ke bagian tubuh atas, bahkan hingga ke otot mata. Dapat pula terjadi gangguan koordinasi. Informasi lebih lengkap soal guillain-barre syndrome dapat dibaca di sini.
Berdasarkan hasil surveillance KIPI dan laporan Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus atau KIPK di website keamanan vaksin Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sambung Kusnandi, hingga 29 April 2021 belum ditemukan gejala klinis serupa yang dilaporkan dari hampir 20 juta dosis vaksinasi yang telah dilakukan. "Termasuk pada uji klinis vaksin proses satu, dua, dan tiga," katanya.
"Kesimpulannya belum cukup bukti adanya hubungan antara kelemahan anggota gerak dan keburaman mata dengan vaksinasi Covid-19," tegas Kusnandi.
Kusnandi mengatakan GBS yang dialami Susan usai menerima vaksinasi dosis kedua terjadi secara kebetulan. Pasalnya dua pekan sebelumnya telah ada masalah infeksi. "Sehingga saat setelah penyuntikkan kebetulan terjadi sindrom guillain-barre," ujarnya.
"Hasil dari audit KIPI terjadi GBS, ini biasanya akan terjadi gak langsung, biasanya itu dua minggu sebelumnya sudah ada masalah, ada infeksi dulu sehingga pada waktu itu terjadi kebetulan. Oleh karena itu GBS tidak mungkin langsung begitu suntik langsung lumpuh. Hal-hal dengan itu dua minggu sebelumnya ada infeksi terus zat-zat tertentu sehingga pada waktu satu hari setelah itu dia akan lumpuh," paparnya menambahkan.
"Jadi sebetulnya dua minggu sebelumnya dia sudah ada tanda-tanda karena infeksi yang tidak bergejala, saat screening sebelum vaksinasi tidak terdeteksi. Itu kan reaksi epidemiologi, jadi tidak terdeteksi," katanya lagi.