SUKABUMIUPDATE.com - Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara Arya Sinulingga mengatakan PT Amarta Karya hanya akan menjadi kontraktor dalam pengembangan Bukit Algoritma di kawasan Cibadak dan Cikidang, Kabupaten Sukabumi.
"Menurut informasi dari Amarta Karya mereka hanya jadi kontraktor bukan investor," kata Arya dikutip dari Tempo, Jumat, 16 April 2021.
Kendati begitu Arya tidak menjawab gamblang apakah nantinya pemerintah akan masuk membiayai proyek tersebut atau tidak. "Yang pasti Amarta Karya diminta hanya jadi kontraktor. Saya hanya bicara Amarta Karya, jadi saya tidak tahu yang lain."
Di waktu terpisah, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Esther Sri Astuti mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan Bukit Algoritma adalah sumber daya manusia Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hanya 12 persen tenaga kerja lokal yang berpendidikan tinggi, 80 persen berpendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas.
"Kalau kita membuat Kawasan Ekonomi Khusus dengan teknologi sangat canggih dan SDM Indonesia tidak bisa masuk, ini tantangan bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas tenaga kerjanya agar dapat memenuhi kriteria dari pabrik-pabrik yang ada di Sillicon Valley tersebut," ujar Esther dalam webinar, Kamis, 15 April 2021.
Selain dari tingkat pendidikan, Esther mengatakan kompetensi sumber daya manusia Indonesia juga belum cukup kuat untuk mengisi lokasi yang digadang-gadang sebagai Sillicon Valley ala Indonesia di Sukabumi itu.
"Jangan sampai dengan adanya pembangunan Sillicon Valley Indonesia di Sukabumi malah mendorong tenaga kerja asing lebih banyak dan tenaga kerja indonesia tidak bisa memanfaatkan Sillicon Valley di Sukabumi nanti, ini harus disiapkan," ujarnya.
Esther mengatakan apabila berkaca kepada Sillicon Valley, tenaga ahli di sana justru banyak berasal dari India dan China, bukan mayoritas berasal dari kawasan sekitarnya. Pasalnya, tenaga ahli dari dua negara itu dinilai lebih melek teknologi tinggi ketimbang Indonesia.
Karena itu ia menegaskan permasalahan tersebut harus bisa diantisipasi. Sehingga pembangunan Bukit Algoritma nantinya tidak justru meningkatkan ketimpangan sosial di masyarakat.
"Di mana masyarakat di sekitar KEK itu masih miskin, sementara di sana dibangun teknologi tinggi. Karena itu butuh satu komitmen untuk bisa meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar matching dan memanfaatkan pembangunan KEK di sana," kata Esther.
Sementara Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menambahkan proyek Bukit Algoritma di Sukabumi berpotensi mangkrak. Sebab, ia melihat ada berbagai permasalahan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu ketimbang membangun infrasruktur anyar.
"Berbagai permasalahan mendasar harus diperbaiki terlebih dahulu karena sangat berpotensi sekali Bukit Algoritma mangkrak dan bisa seperti proyek lainnya yang pemanfaatannya tidak maksimal, seperti Bandara Kertajati yang hanya menjadi bengkel pesawat," ungkapnya.
Persoalan pertama, kata Huda, adalah masih sangat rendahnya ekosistem riset dan pengembangan di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) 2021, proporsi dana penelitian dan pengembangan terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB secara total masih berkisar 0,24 persen. Angka itu masih sangat tertinggal dari Singapura yang sudah 2,22 persen.
Di samping itu, Huda mengatakan produk berteknologi tinggi dari Indonesia masih sangat sedikit. Berdasarkan data Bank Dunia, ekspor produk manufaktur Indonesia cenderung turun trennya jika mengukur sejak 2011.
Belum lagi Nailul menyoroti inovasi Indonesia yang masuk peringkat empat terburuk se-ASEAN. Ia menyebut Incremental Capital Output Ratio atau ICOR Indonesia pun berada di angka 6,7. "Modal yang masuk ke Indonesia semakin tidak efisien dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan ongkos inovasi semakin mahal," ujar dia.
Dengan demikian ia mengatakan Indonesia merupakan negara dengan proporsi penelitian dan pengembangan terhadap PDB yang rendah, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang juga rendah.
Masalah berikutnya, sambung Huda, adalah sumber daya manusia yang masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0. Hal tersebut tercitra dari jumlah peneliti Indonesia yang sangat rendah, yakni 216 dari satu juta penduduk. Akibatnya, paten Indonesia juga rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Huda juga menyoroti proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer. "Masih sangat rendah, hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa," katanya. Angka tersebut hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Belum lagi dengan adanya persoalan nilai PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Persoalan ketiga yang disoroti Huda adalah ketimpangan digital yang masih tinggi dalam hal keahlian dan penggunaan produk digital. Termasuk masih banyaknya desa di luar Pulau Jawa yang kesulitan mendapatkan akses sinyal, terutama di Maluku dan Papua. "Ada 70 persen lebih desa yang belum mendapatkan sinyal seluler yang baik," jelasnya.
Huda menyimpulkan proyek Bukit Algoritma itu hanya program pembangunan fisik yang belum mengangkat konteks inovasi. Sebab ekosistem inovasi di Indonesia masih sangat rendah. "Tidak ada linkage dan sebagainya, membuat ini hanya menjual properti," tuturnya.
Selain itu, Bukit Algoritma yang tidak mengedepankan sisi sumber daya manusia bisa menyebabkan ketimpangan digital menjadi lebih lebar. Artinya ketimpangan digital kota desa bisa menjadi lebih besar pelebarannya. "Jangan sampai Bukit Algoritma ini kalau dibangun sekarang dengan permasalahan yang ada hanya akan menjadi gimmick semata," tutur Huda.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah perusahaan swasta akan membangun pusat pengembangan industri dan teknologi 4.0 serta sumber daya manusia di wilayah Cikidang dan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Proyek bernama Bukit Algoritma ini akan dibangun di atas lahan seluas 888 hektare dengan dana awal senilai Rp 18 triliun.
Dua perusahaan swasta yang berencana membangun proyek tersebut adalah PT Kiniku Nusa Kreasi dan PT Bintang Raya Lokalestari. Keduanya telah membuat sebuah perusahaan kerja sama operasional atau KSO bernama PT Kiniku Bintang Raya, yang ketua pelaksananya diisi oleh Budiman Sudjatmiko, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merupakan Komisaris PT Perkebunan Nusantara V.
Bukit Algoritma itu akan disulap bak Silicon Valley di Amerika Serikat, yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan teknologi global. Mereka juga akan menggandeng salah satu Badan Usaha Milik Negara bidang konstruksi sebagai penggarap, PT Amarta Karya dan telah menandatangani kontrak pada 7 April lalu.
Penandatanganan kontrak kerja sama ini dilakukan langsung Direktur Utama PT Amarta Karya Nikolas Agung, Ketua Pelaksana PT Kiniku Bintang Raya KSO Budiman Sudjatmiko, dan Direktur Utama PT Bintang Raya Lokalestari Dani Handoko di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut hadir pula Direktur Keuangan PT Amarta Karya Hidayat Wahyudi, Corporate Secretary Brisben Rasyid, Kepala Divisi Keuangan Pandhit Seno Aji, dan Business Development Advisor PT Amarta Karya Oki Fahreza.
Proyek ini terbagi menjadi tiga tahap dengan masa pengerjaan tiga tahun untuk fase pertama, tiga tahun untuk fase kedua, dan lima tahun untuk fase ketiga. Pembangunan proyek pada fase pertama akan merampungkan kawasan seluas 353 hektare. Rencananya, groundbreaking atau pelatakan batu pertama digelar pada Mei mendatang.
Setelah selesai dibangun pada tahap pertama, Bukit Algoritma akan mulai beroperasi. Di kawasan ini nantinya berdiri pula pusat sains, theme park, pusat kesehatan, pusat pertanian untuk makanan dan gizi, pusat kebugaran, serta plaza inovasi. Ada pula health center atau pusat kesehatan yang dibangun seperti medical city.
Proyek ini disebut menjadi mimpi jangka panjang. Untuk tahap pertama selama tiga tahun, PT Amarta Karya menjadi mitra kepercayaan untuk membangun infrastruktur, termasuk akses jalan raya, fasilitas air bersih, pembangkit listrik, gedung konvensi, dan sejumlah fasilitas lainnya.
Proyek Bukit Alogaritma tidak berdiri di atas lahan kosong. Lahan seluas 888 hektare tersebut adalah milik PT Bintang Raya Lokalestari. Dalam laporan Dewan Nasional KEK tahun 2018, perusahaan itu tercatat mengusulkan tanah tersebut untuk menjadi KEK Sukabumi dengan kegiatan utamanya: pariwisata, fusi sains, dan teknologi.
Pada 2018 lalu PT Bintang Raya Lolalestari juga getol mengajak kerja sama dua perguruan tinggi ternama di Jawa Barat, Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung. Universitas Padjadjaran ditunjuk sebagai mitra Agro Health Ecopark, sedangkan Institut Teknologi Bandung ditunjuk sebagai mitra NBIC (Nanotechnology, Biotechnology, Information Technology dan Cognitive Science) Innovation Park.
Sepanjang 2019, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga beberapa kali mengajukan sejumlah daerah di wilayah otoritasnya untuk dijadikan KEK. Kata dia, yang paling menjanjikan ada di daerah Cikidang -- yang merupakan tanahnya PT Bintang Raya Lokalestari.
Dikutip dari website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat, Emil mengajukan tujuh KEK ke pemerintah pusat yang selanjutnya direvisi oleh lintas kementerian.
Ketujuh kawasan tersebut adalah KEK Cikidang (Sukabumi), KEK Pangandaran, KEK Jatigede (Sumedang), KEK Walini (Bandung Barat), KEK Patimban (Subang), KEK Cirebon, dan KEK Kertajati (Majalengka).